13

"Flira!!!"

"Lira!!!"

"Lira!!! Ini Bibi, Nak. Buka pintunya!"

Tidurku terganggu saat mendengar suara dan gedoran dari pintu rumah kosku, duh, siapa sih?

Dengan lunglai, dan masih setengah sadar aku bangkit dari kasur berjalan keluar membuka pintu.

"Astagfirullah! Bibi dari tadi gedor pintu kamu gak denger?" cecar Bibi Arum langsung.

Aku cuma nyengir sambil garuk-garuk leher, "Kenapa, Bi? Tumben kesini gak bilang, pagi-pagi banget lagi," Kataku yang langsung menyalimi Bibi Arum dan Paman Adi.

"Ayah kamu, masuk rumah sakit."

Blank.

Jari yang tadi sudah bersiap ingin melanjutkan garuk-garuk di leher terhenti.

Ayah?

Ayah, masuk rumah sakit?

Kenapa bisa?

"Lira, kok bengong sih, ayo kita pulang ke Wonogiri! Kamu siap-siap sekarang."

Aku tersentak kaget, kenapa tiba-tiba begini sih?

Aku langsung mengangguk dengan kaku.

Astaga! Lira, ini Ayah lo sakit! Jangan bego sekarang.

Aku berulang kali menepuk pipi, menyadarkanku dari kelinglungan yang menghampiri, langsung mengambil koper dan membukanya, memasukkan baju dengan asal, tak lupa perlengkapkan penting lainnya aku taruh di tas kecil. Setelahnya aku langsung cuci muka dan gosok gigi, berganti pakaian dan mengikat rambut, berjalan ke arah ruang tamu, dimana Bibi dan Paman menunggu.

"Paman udah pesan tiket, kita naik pesawat aja, kasian Doni disana panik sendirian, keluarga disana udah bawa Ayah ke rs," kata Paman mengambil alih koper yang ku bawa.

Sepanjang jalan menuju bandara pikiranku buyar, berkali-kali di tegur Bibi Arum agar aku tetap fokus, ponselku habis baterai sedang di charger dengan power bank. Gelisah yang aku rasakan membuatku muak karena tidak bisa tahu kabar dari Doni, aku tidak bisa bertanya langsung tentang keadaan Ayah sekarang.

"Semua pasti baik-baik aja, Nak. Berdoa terus ya, Doni bilang Ayah lagi ditangani dokter sekarang," itu kata Bibi Arum mengelus punggung tanganku dengan lembut.

Aku tersenyum tipis, kenapa sekarang aku merasa tidak berguna sekali sebagai anak?

Aku menghembuskan napas, menghapus jejak air mata yang tanpa ku sadari ternyata sudah bergantian untuk turun.

Empat puluh lima menit kemudian kami sudah sampai di bandara, langsung berjalan untuk melakukan pengecekan tas dan sebagainya, sekarang kami sedang menunggu di boarding room.

"Lira mau makan, atau minun dulu?" Tawar Bibi Arum.

Aku menggeleng pelan, "Gak usah, Bi. Gak laper," kataku singkat.

Tiga puluh menit kemudian terdengar dari pengeras suara, pesawata yang akan aku naiki akan segera berangkat.

Kami langsung bergegas. Sudah duduk di kursi penumpang, pikiranku masih tetap tidak tenang, bayang-bayang akan kehilangan kembali menyergapku.

Ku mohon, lindungi Ayah.

****

Satu setengah jam kemudian kami sudah tiba di bandara Adi Sumarmo, kami di jemput oleh keluargaku-Paman Eko-adik kedua dari Ayah, kami langsung bergegas menuju RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

Satu setengah jam perjalanan diisi oleh pembicaraan singkat antara mereka-Bibi Arum, Paman Adi, dan Paman Eko-yang berulang kali mengajakku ngobrol tapi berkali-kali pula aku tidak dapat merespon ucapan mereka dengan benar.

"Lira, Ayah kamu tidak apa-apa, tenang aja," kata Paman Eko membuatku tersenyum tipis.

Akhirnya sampai di rumah sakit, kami langsung berjalan ke ruangan Ayah, Doni sedang duduk sambil menundukan kepalanya dalam-dalam.

"Doni ... " gumamku

Bibi Arum langsung bergegas menghampiri Doni, membuatnya sadar kalau orang yang sedari ditunggunya sudah datang. "Ayah pripun kabare, Don? (Ayah, gimana keadaanya, Don?)" tanya Bibi Arum  dengan suara yang sarat akan kekhawatiran.

"Sampun di tangani dokter dereng, Bi, (Sudah di tangani dokter, Bi,)" kata Doni yang langsung mengalihkan pandangannya padaku.

Aku tertegun, tatapan matanya sarat akan kerinduan.

Aku langsung menghampirinya, air mata yang sedari tadi ku tahan langsung jatuh, "Kakak ... " gumam Doni yang langsung memelukku.

Aku membalas pelukannya dengan erat, "Kenapa bisa begini, Don?" tanyaku di sela tangisan.

"Jantunge kumat, sampun seminggu mboten enten istirahate, nyambut dhamel terus, (Jantungnya kumat, seminggu ini gak ada istirahat, kerja terus,)" kata Doni melonggarkan pelukan.

Tak lama dokter keluar dari ruangan, "Gimana keadaan ayah saya, Dok?" cecarku langsung.

Dokter tersenyum tipis, "Tidak apa-apa, pasien hanya kelelahan. Untung cepat di bawa kerumah sakit, jadi kami bisa langsung melakukan tindakan. Pasien sedang istirahat, kalau mau menjenguk bergantian, ya." pesan si dokter yang mendapat anggukan dari kami semua.

Aku dan yang lain bernapas lega. Syukurlah, ketakutanku menghilang.

"Doni sama Flira makan aja dulu, Ayah kalian biar kami yang menjaga," kata Paman Adi.

Doni pun mengangguk, aku menurut saja, Doni mengarahkan ku keluar rumah sakit, ada penjual bubur di seberang jalan, aku sontak menghentikan langkah. Doni yang menyadarinya pun ikut berhenti.

"Kenapa, Kak?"

Bayang-bayang yang sama hadir di otakku, di mana kejadian yang sudah dua belas tahun berlalu kembali datang, aku langsung meraih tangan Doni menggenggamnya dengan erat, menuntunnya untuk menyebrang jalan.

Doni terkekeh, aku meliriknya kesal. Aku menyebrang saja menahan napas, dia malah asik tertawa.

"Jam sepuluh pagi di sini, enggak kayak di Jakarta, Kak," kata Doni saat kami duduk di kursi, Doni langsung memesan dua porsi bubur.

Aku diam saja, memperhatikan sekeliling ruas jalan rumah sakit, sepi sekali, udaranya pun terasa sangat sejuk. Aku merindukan hal ini, lima tahun di Jakarta membuatku bertahan kuat akan polusi yang ada.

Tunggu sebentar, kruk yang di gunakan Doni kemana? Dia sudah bisa berjalan?

Saat Doni duduk di hadapanku, dia langsung tertawa, "Kenapa, Kak? Ada yang mau ditanyain?" Ledeknya.

Astaga!

"Banyak! Seko kapan iso mlaku, dan Kok koe dadi ora sopan karo, Kakak? (Banyak! Sejak kapan kamu bisa berjalan, dan kenapa sekarang jadi gak sopan sama, Kakak?)" tanyaku menatapnya tajam.

Doni menjeda untuk menjawab pertanyaanku, karena pesanan kami datang. Setelah mengucap terima kasih, kembali ku tatap wajah Doni, "Ampun, Kak. Gur guyon tek ngono we nesu, (Ampun, Kak. Bercanda aja lho, baperan banget sih,)" sahut Doni terkikik geli.

Aku masih menunggu responnya, "Aku udah bisa jalan seminggu yang lalu, semenjak Ayah tiba-tiba sibuk kerja belakangan ini," Kata Doni sambil menuang sambal dan juga kecap ke mangkuk buburnya.

Aku mengikuti gerakan Doni, menuang sambal dan juga kecap ke mangkuk buburku. Kami menikmati sarapan yang sudah terlewat ini dengan keheningan.

Masih tidak habis pikir, kenapa hari cutiku bertepatan sekali dengan Ayah yang tiba-tiba sakit begini, entah harus bersyukur atau tidak yang pasti aku cukup senang bisa kembali ke kampung halaman, dua belas tahun lebih aku pergi banyak sekali perubahan yang terjadi di Wonogiri mulai dari bandara sampai rumah sakit yang aku kunjungi hari ini, "Ayah sempet manggil nama kakak tadi," kata Doni di sela kunyahan pada buburnya.

Aku terdiam. Suapan yang harusnya masuk kedalam mulutku tertahan.

Ayah, menyebut namaku?

"A-ayah ..., bagaimana bisa?"

Doni menandaskan minumnya sebelum menjelaskan padaku, "Banyak yang terjadi seminggu ini, Kak. Ayah yang tiba-tiba sibuk kerja, pulang selalu di atas jam dua belas malam, aku yang akhirnya bisa berjalan kembali, sampai akhirnya sebelum kami bawa Ayah ke rumah sakit Ayah nyebut nama Kakak."

Aku merasakan detak jantungku bertalu dengan keras, senyum tipis muncul di wajahku, astaga, aku rindu sekali pada Ayah!

Doni mengangkat panggilan dari ponselnya, tidak lama setelah itu ia memberitahu kalau Ayah sudah sadar, kami segera kembali ke rumah sakit setelah membayar bubur, "Kenapa gak bisa di hubungin, sih? Bibi dari tadi nelponin Kakak, tapi gak aktif," Kata Doni saat kami berjalan di koridor rumah sakit.

Ya ampun! Kenapa bisa lupa begini.

Ponselku masih ada di tas kecil, aku sama sekali tidak sempat untuk mengeceknya.

Duh, nanti saja deh, aku harus ketemu Ayah dulu sekarang.

Akhirnya kami sampai di ruangan Ayah, Doni menyuruhku untuk masuk terlebih dahulu, seolah paham kalau aku membutuhkan waktu untuk mengobrol banyak dengan Ayah, keluargaku yang lain ikut memberikan senyum semangat, menambah rasa percaya diriku.

Jujur, ini sangatlah gugup, setelah dua belas tahun tidak bertemu, ini pertemuan kami pertama kalinya.

Dengan langkah pelan, aku membuka pintu, Ayah masih berbaring di ranjang menutup matanya, mungkin tertidur. Aku perlahan menghampiri, sekarang terlihat jelas wujud utuh dari Ayah.

Dua belas tahun aku pergi, Ayah sudah banyak berubah, kerutan di samping mata, dan juga pipi tidak berbohong bahwa Ayah memang sudah berumur, ada timbunan lain di bawah matanya itu sungguh mengganggu penglihatanku. Ayah juga bukan orang yang gila kerja, ia tahu porsi yang dibutuhkan tubuhnya. Melihatnya seperti ini aku jadi berpikir, sekejam apa ia memaksakan tubuhnya untuk terus bekerja keras.

Rambut putih mulai bermunculan, tapi wajahnya tetap menunjukan ketegasan dan juga kelembutan di waktu bersamaan, walaupun tertidur aku tak menampik Ayah masih tetap tampan, lengannya masih gagah terlihat kuat, badannya apalagi, Ayah termasuk orang yang rajin berolahraga. Senyum pun muncul diwajahku, perlahan jariku naik menggenggam kelima jari Ayah, merasakan kulit yang kasar tapi juga lembut saat kulit kami bersentuhan.

Air mataku menetes, ingin sekali aku memeluknya dengan erat, menumpahkan segala rindu yang telah lama aku pendam, menangis dengan keras di dada Ayah, dielus punggung dan rambutku olehnya dengan penuh kasih sayang, astaga! Aku rindu sekali.

"Ayah ... Ini Lira," Gumamku dengan mata yang tidak lepas menatap wajah Ayah.

Aku menghapus jejak air mataku saat merasakan pergerakan dari Ayah.

Mata itu terbuka perlahan, aku langsung mengembangkan senyum yang ku miliki, menatap Ayah dengan penuh kerinduan.

Bola mata itu bergerak menatapku, tajam, sangat tajam. Tapi aku menyukai tatapan itu, aku rindu tatapan itu.

"Ayah ... Maaf, Lira meng-"

"Mau apa kamu disini?" Perkataanku terpotong oleh ucapan Ayah yang begitu dingin, sapaan yang sama sekali tidak aku harapkan.

"Lira ... Kangen sama Ay-"

"Siapa yang menyuruhmu kemari?" Potong Ayah lagi, bahkan tangan yang tadi ku genggam dilepaskannya dengan kasar.

Aku tersentak kaget, penolakan kembali aku dapatkan. "Ayah, Lira dapat kabar kalo Ayah masuk rumah sakit, jadi Lira lang-"

"Saya tidak butuh kehadiranmu disini, pembunuh."

Air mataku langsung jatuh, sesak, sakit sekali. Kenapa Ayah masih saja mengungkit hal itu?

"Kamu lupa dengan ucapan saya dulu? Saya tidak pernah mau melihatmu lagi, kamu membawa kesialan dalam keluarga saya," ucap Ayah dengan kejam.

Aku terisak, sakit, ini penolakan yang paling sakit.

Jadi, penantianku selama dua belas tahun berujung dengan kesakitan kembali?

"Ayah, Lira ini anak Ay-"

"Keluar kamu dari sini."

Aku tergagap, bahkan Ayah tidak mau mendengarkan aku berbicara.

"Tapi Ayah, Lira mas-"

"Keluar." ujarnya lebih dingin.

Aku perlahan mundur, menatap wajah Ayah yang bahkan sejak tadi enggan menatapku. Aku langsung berbalik menuju pintu, aku tidak sanggup, Ayah kenapa semakin kejam terhadapku?!

Doni dan yang lain langsung menghampiriku saat aku keluar dengan beruraian air mata, Bibi Arum langsung memelukku dengan erat. "Sabar ya, Nak, tunggu sebentar lagi," bisik Bibi Arum.

Aku masih menangis dengan air mata yang tiada hentinya keluar, Doni menggenggam tanganku, menyalurkan kekuatan yang sangat aku butuhkan saat ini.

"Maafin Ayah ya, Kak. Sabar sedikit lagi," Kata Doni sambil menghapus jejak air mataku.

Aku mengangguk kaku, menatap seluruh keluargaku yang datang dengan senyum yang ku paksakan.

"Biar nanti Paman bicara ke Ayah kamu, otaknya semakin tidak waras, dia harus segera disadarkan." itu kata Paman Adi, aku hanya menatapnya penuh harap.

Percayalah, dua belas tahun bukan waktu yang sebentar. Ku pikir dengan menerima keputusan Ayah yang mengusirku dan pergi untuk beberapa waktu bisa menyadarkannya dan menerima atas semua yang terjadi, tetapi justru hasilnya sama saja.

Bahkan ini terlalu sakit.

"Paman antar pulang ya, biar kamu bisa istirahat," sahut Paman Eko yang diangguki oleh yang lain, aku menurut, percuma aku disini, besok akan aku coba kembali.

****

Pukul 19.26

"Kamu mau makan apa, Don?" Tanyaku saat melihat Doni sedang asik bermain game diponselnya.

"Udah pesen pake ojol, Kakak gak usah masak," tutur Doni yang masih asik bermain game.

Aku jadi ingat Andra, mirip sekali mereka kalau sudah bermain game.

Andra?

Eh! Astaga, aku belum mengabarinya hari ini.


Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top