Kelopak 9: Giftige Levensbloem
Ignicia tidak akan percaya aku sungguhan bertemu dengan naga. Tidak ada warna pink seperti di buku dongengnya. Atau kumis keriting dengan hiasan pita menawan dan kuku-kuku tumpul yang dipoles cat beralkohol. Mungkin yang di bukunya itu naga betina, yang kutemui ini naga jantan.
"Apa yang kau lakukan?!" jeritku turun ke rerumputan sambil mendongak. "Kembali kemari!"
Percuma, Ebbehout tidak mendengarku. Suara dentuman yang dia ciptakan dengan sihirnya lebih kuat dari teriakan seorang anak gadis berumur 11 tahun.
Kepalaku bekerja keras sejenak, kemudian memutuskan kembali ke gubuk, lebih tepatnya pada meja dengan buku berserakan. Aku tidak bisa melawan seekor naga yang besarnya seratus kali lebih besar dari tubuhku tanpa strategi. Salah satu dari buku ini pasti punya informasi, atau setidaknya tahu cara melawan naga.
Tanganku tak mau berhenti bergerak, sambil menelaah satu persatu halaman yang memuat kata naga di dalamnya. Namun, yang kutemukan jutsru hal lain yang tak kalah penting;
Giftige Levensbloem mekar saat tanah Hutan Ajaib disiram darah biru bangsawan.
Yang benar saja?! Jadi selama ini bunga itu ada di dalam bangunan kastil tua itu?! Kenapa Ebbehout tidak mengatakannya dari awal kalau dia punya informasi ini?!
Baru saja aku hendak merutuk Ebbehout lebih banyak lagi, suara geraman dari luar menjadi pertanda bahwa waktuku semakin sedikit. Kulanjutkan sisa halaman buku yang belum kujamah.
"Debora!"
Hawa di sekitarku semakin panas. Ketemu! Cara mengalahkan naga, dengan menusuk jantungnya menggunakan panah raksasa.
Kututup buku-buku tebal itu, beranjak keluar gubuk Ebbehout dan duduk bersila di rumputnya. Begitu aku keluar, Hutan Ajaib sudah tampak seperti lautan api. Berkat pelindung di sekitar gubuk, aku benar-benar aman dari api yang mulai menyembur dan menghitamkan pepohonan.
Kufokuskan pikiranku pada bayang-bayang panah raksasa. Aku sudah pernah belajar sihir menciptakan suatu benda mati, meski itu hanya ketel, sendok, dan bola besi berduri abad pertengahan, meski hanya bertahan lima belas menit sebelum wujudnya meletup dan atomnya kembali ke tempat semula. Materialnya sama, mungkin besi atau alumunium. Kali ini ukurannya jauh lebih besar.
Angin mulai bersemilir panas di sekitar. Kurasakan helai rambutku yang mulai kering bergelung sedikit di antara bahu dan ceruk leherku. Juga aroma gosong dan asap yang menghinggapi hidungku.
Mataku terpejam, membayangkan bentuk anak panah yang akan kubentuk. Sedikit lagi! Terasa sentakan kecil menghantam tubuhku pelan, sesaat sebelum angin berhenti dan cahaya tipis menyala di tengah-tengah lingkaran yang melindungi gubuk Ebbehout.
Setengah mengintip, kupastikan bentuknya benar-benar nyata. Anak panah raksasa berhasil kuciptakan meski memakan waktu 10 menit. Panjangnya tiga kali tinggi tubuh dan selebar pahaku.
Aku mendongak, melihat Ebbehout terpental di udara untuk yang kesekian kalinya.
"Keluar!" serunya kala menyadari mata kami bertemu. "Dia mengincarmu!" Sayapnya kembali mengepak, terbang menjauh dari kobaran api sesaat kemudian balas menyerang dengan sihirnya lagi.
Mana mungkin aku berhenti sekarang. Sudah sedekat ini ... sedikit lagi aku mendapatkan Giftige Levensbloem. Tungkaiku berdiri, dengan bantuan mantra kuangkat panah raksasa itu menggunakan satu tangan. "Akan kubunuh naga itu, minggir!"
Ebbehout menoleh tak percaya, kemudian menyadari panah yang kupegang. "Kau takkan mengenainya!" Dia berkelit lagi, menghindar dari semburan api sang naga. "Pulanglah, Debora!"
Tidak mau! "Kumohon," kataku dengan suara bergetar, "aku harus mendapatkan bunga itu malam ini juga."
Anak itu tidak menoleh, terus mengerahkan sihirnya menghalangi naga agar tidak mendekat. Namun, kusadari ada yang berbeda dari Ebbehout sebelumnya. Kini dia lebih sering menyerang dengan jarak yang sangat dekat dengan naga. Anak itu ... seperti sedang mencari sesuatu.
"Sekarang!" serunya. Jarak kami tak sejauh sebelumnya karena sang naga mulai merayap mendekat. "Tusuk jantungnya!"
"Minggir!" seruku tak mau kalah. "Kau hanya menghalangiku di sana!"
Satu tangannya terangkat mengarah padaku. "Hanya satu kali kesempatan," lirihnya nyaris tak kudengar. Panah di tanganku direbut paksa oleh tangan tak kasat mata. Anak itu menggunakan sihir untuk merampasnya, karena dia tahu aku takkan pernah mau melakukannya.
Jangan. "Ebbehout!" Aku melompat, berusaha meraih panah yang mulai terbang ke arahnya.
Dari kejauhan, aku bahkan mampu melihat senyum anak itu. "Jangan khawatirkan aku."
Setelahnya, raungan sang naga menggema keras hingga tanah yang kupijak bergetar kencang. Burung-burung beterbangan dari pepohonan, pun hewan-hewan di sekitar berlari menjauh. Sempoyongan aku berusaha berdiri dan mendongak lagi.
Langit malam ditutupi kabut tipis sisa kebakaran yang tak sengaja merambati pepohonan di sekitar lubang besar yang kubuat. Pada sela-selanya, bisa kulihat siluet besar mulai bergerak limbung bersama dengan cahaya api yang mulai redup dari mulut naga.
Ebbehout! Segera aku bangkit setelah bunyi berdebum kencang tanda naga sungguhan tumbang. Dengan mantra pelindung seperti gelembung transparan, kuterabas panasnya api tanpa takut terbakar, membelah lebatnya kabut asap mengikuti cahaya remang yang mulai lenyap di tengah lahan tak berumput.
Napasku terengah-engah di tengah gelembung yang menjagaku tetap memiliki pasokan udara bersih. Saat aku tinggal beberapa langkah menuju Ebbehout, anak panah raksasa buatanku meletup dan buyar ke segala arah, menyebabkan angin deras yang mampus mengempaskan kabut asap.
Detik itu juga aku ingin percaya bahwa kelelawar juga memiliki sembilan nyawa kayaknya kucing. Mataku membulat sempurna di antara gelapnya tanah di sekitar Ebbehout dan naga.
"Ebbe!" Aku berlari menghampiri tubuhnya yang layu terduduk kuyu. Darahnya tak mau berhenti mengalir. Aku ingin tetap rasional mengingat bagian kanan perutnya benar-benar sudah lenyap, tetapi aku masih ingin percaya bahwa Ebbehout akan hidup lagi setelah ini.
Air mataku diam-diam mengalir sambil memangku tubuhnya yang mulai pucat kehilangan banyak darah. Aku terisak, membasahi pipinya dengan deraiku sendiri.
Aku menyerah, Ebbehout takkan hidup lagi.
Saat aku menunduk sambil memejamkan mata dalam-dalam, sebuah cahaya membuatku mendongak singkat. Kupikir, itu berasal dari hidung naga, tetapi aku salah besar. Hal yang tidak pernah kusangka tiba-tiba terjadi begitu saja di depanku secara langsung.
Giftige Levensbloem tumbuh di antara genangan darah Ebbehout. Semburat emas keunguannya berkilauan di mataku. Jantungku hendak meletus begitu kepalaku memikirkan kemungkinan lain untuk menghidupkan kembali Ebbehout.
Tanpa basa-basi, lekas kubaca mantra khusus dan memetik bunga beracun yang dapat menyembuhkan itu. Dengan kelopaknya yang banyak, Vader tidak akan keberatan kalau aku hanya mengambilnya satu untuk Ebbehout, 'kan?
"Genees en geef alles terug wat ooit van mij was," lirihku pelan sambil menggenggam sehelai kelopak Giftige Levensbloem.
*Sembuhkan dan kembalilah semua yang pernah menjadi milikku.
Kubiarkan cahaya emas sekali lagi menyelimuti kami di tengah heningnya subuh yang kelam. Tubuh Ebbehout terasa sedikit lebih ringan, seolah terangkat. Rajutan-rajutan cahaya perlahan-lahan menutup luka yang menganga di perut kanannya. Begitu tubuhnya kembali seperti semula, tanpa sadar aku menahan napas.
Jantungku tidak mau memelankan debarannya. Tiap detik yang berlalu terasa begitu panjang saat menunggu matanya terbuka lagi.
Aku masih menunggu, lima belas menit, setengah jam, dan aku bahkan lupa orientasi waktu hingga semburat pertama mentari menyapa horizon timur bumi Hindia-Belanda. Sampai kapan kau akan terus tertidur, Ebbehout?
Hingga eksistensinya memudar bersama seluruh Hutan Ajaib siklus malam. Segalanya berubah menjadi kunang-kunang dan terbang mengudara, digantikan siklus siang Hutan Ajaib dengan pepohonannya yang khas. Tidak ada lagi sisa kebakaran atau lubang setengah bola di tanah yang menganga.
Matahari semakin tinggi saat aku berusaha menguatkan hatiku sendiri. Sudah waktunya kembali ke Mansion. Sejak awal, bertemu dengan Ebbehout adalah sebuah kesalahan.
Tidak seharusnya aku mencampurkan urusan misi dengan perasaan.
Baiklah, Vader. Aku pulang.
Hiya melenceng dari outline INI IMPRUP KARNA TERNYATA NEMU YANG LEBIH SREG. Oke jangan hujat saia.
Jangan lupa mampir ke seri Leanders bersaudara lainnya! Mari bertemu dengan si sulung Asmosius … pengendali tikus disertai otak jenius, Wulfer sang werewolf, Eberulf sang cacat yang mengawasi segala langkah maju dunia, Debora dengan tangan leburnya dan Ignicia si bungsu yang dijuluki sebagai gadis dari neraka.
Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azzafrei
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee
Ayo segera lanjutkan petualangan imajinasi liarmu bersama lima bersaudara gila! Sudah siap?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top