Kelopak 6: Hipotesis Bunga

Aku tahu ini masih terlalu awal, dan Ebbehout masih hilang entah ke mana bersama gubuk dan monster lainnya. Namun, memang itulah tujuanku datang ke Hutan Ajaib setelah keluar dari ruangan Vader. 

Sisa waktu untuk mencari bunga itu tak lagi banyak. Ini sudah hampir seminggu, dan saudaraku yang lain mungkin sudah menemukan benda pusaka mereka. Fisikku mungkin yang paling lemah di antara anak-anak Vader, sebab tiga lainnya laki-laki dan Ignicia mampu mengeluarkan serangan jarak jauh dan jarak dekat.

Menjadi perempuan bukan berarti aku harus pasrah dengan kodrat lemah. Kusambar ranselku, menjejalkan beberapa bekal dan buku sihir milik Vader, kemudian memasang jubah dan sepatu sampai betis. Kalau dipukul rendah karena kekuatan fisik, setidaknya menanglah dalam pertarungan berpikir.

Kutinggalkan mansion dengan cepat, melesat dari hutan belakang, menuju perpustakaan kota. Sejak sering keluar masuk Hutan Ajaib, melafal mantra bukan lagi hal yang sulit. "Open de sluier van de wereld van flora en fauna," lirihku sambil menerjang dedaunan nan lebat.

Masih ada tujuh jam sampai matahai tenggelam dan Hutan Ajaib berubah dipenuhi makhluk mengerikan. Aku harus cepat memasang jebakan dan beberapa senjata yang bisa membantuku kedepannya. Di manapun bunga itu berada nantinya, salah satu dari enam titik yang sudah pernah kutandai sebelumnya pasti akan dilewati.

Mantra yang perlu kulafal kali ini lebih banyak dari biasanya, memakan banyak waktu untuk menyelesaikan persiapan ini. Baiklah, akan kumulai dari batu melengkung terdekat. Di sana tempat yang strategis untuk membuat perangkap. Saat para monster mengejar dan melewati celah di antara dua sisi batu, akan kuledakkan tempat itu. Setidaknya jumlah mereka pasti akan berkurang.

Rumput-rumput tinggi terhempas sayup-sayup saat aku melangkah mendekat. Kuulurkan tanganku, menyentuh batu melengkung sambil memejamkan mata dan melafal mantra. Perlu kosentrasi tinggi saat melakukan dan meletakkan perangkapnya, tetapi itu bukanlah hal yang sulit karena kondisi hutan yang mendukung.

Sejauh ini, yang kudengar hanyalah suara kicau burung, dedaunan bergerak liar, dan angin yang sesekali menyapa. Benar-benar suasana yang tentram dan damai.

Saat aku membuka mata, seekor kelinci bertelinga pendek sudah menyandarkan kepalanya pada kakiku. Bulu kelabunya yang lembut terasa memelukku saat surainya dibelai. Sayang sekali aku harus memakai sarung tangan sialan ini, padahal aku ingin sekali menyentuhnya dengan tangan telanjangku.

Dari pada itu, aku masih harus memasang beberapa anak panah dan perangkap lain yang searah dengan lokasi kedua, menara tinggi dengan lonceng di atasnya. Sepanjang perjalanan ke sana, kuselipkan beberapa mantra di batang-batang pohoh yang bisa mengeluarkan duri dan gas beracun dari buah sejenis anggur di tangkainya.

Pemberhentian kali ini, aku memutuskan menjadikannya sebagai tempat perlindungan. Dari yang Ebbehout lakukan kemarin, mengantarku pulang dari udara, sepertinya hanya sedikit monster yang mampu menyerang pada ketinggian ini. Untuk mencegah makhluk-makhluk itu memanjati dinding, kulapisi batu-batunya dengan mantra yang mampu membuat benda apapun kehilangan gaya geseknya. Dengan kata lain, dinding-dinding ini akan super licin. Kupu-kupu bahkan tak mampu hinggap di sana.

Pintunya sengaja kututup dengan mantra penangkal. Fungsinya hampir mirip dengan pelapis yang membungkus Hutan Ajaib. Sebelum mantranya kuhilangkan, apa saja yang masuk lewat pintu itu aku hubungkan dengan jurang di sisi lain Hutan Ajaib. Aku tak perlu takut akan hal itu, karena ada Ebbehout yang mampu membawaku terbang nantinya.

Matahari semakin tinggi saat aku selesai memasang beberapa senjata jarak jauh di menara. Jarak dari sini ke air terjun lebih jauh dari yang tadi, dan karena itu pula aku menempatkan lebih banyak peledak di sepanjang jalan. Beberapa ranjau juga kusebar tidak merata di sisi-sisinya untuk pertahanan lebih.

Ini menyenangkan. Aku menikmati jalan-jalan sendirian di hutan yang tenang. Kulepas jubahku, membiarkan angin dan dedaunan kering menyentuh kulit. Berbeda dengan hutan di belakang mansion, Hutan Ajaib seolah memiliki aura tersendiri yang membuatku merasa nyaman dan betah berlama-lama di sana.

Tak perlu waktu lebih lama untukku mendengar gemericik air dari kejauhan. Tujuanku sudah dekat, dan mungkin ini tempat yang bagus untuk memakai sihir lebih banyak. Ikan koi terbang seakan menyambutku saat kuletakkan ransel di atas batu besar. Kukeluarkan bekalku dan memakannya cepat.

Muara di sini lumayan besar, berbentuk lingkaran dengan diameter kira-kira empat belas meter. Aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya saat malam menyapa, jadi kuputuskan untuk membentangkan tabir sihir yang membuat situasi di dalam air tidak berubah meski bulan sudah bertahta di langit malam. Jika sewaktu-waktu aku tercebur, yang kutemui hanyalah ikan koi terbang itu.

Semakin lama aku merenung, semakin gelap pula suasana di dadaku. Pokoknya, malam ini juga aku harus mendapatkan Giftige Levensbloem, bagaimanapun caranya.

:.:.:

Aku menyelesaikan semuanya tepat saat matahari hampir lenyap sepenuhnya di ujung langit. Tenagaku terkuras banyak sekali karena terlalu banyak menggunakan mantra, tetapi itu tidak sebanding dengan keamanan saat kami mencari bunga itu nanti malam.

Giftige Levensbloem akan muncul saat bulan muncul, masih ada waktu buatku sampai tengah malam untuk memulihkan tenaga. Namun, sebelum kembali ke mansion, aku harus menyusun rencana dengan Ebbehout. Hanya dia satu-satunya orang yang kutahu yang pernah mendapatkan bunga itu.

Dari tempatku menyelonjorkan kaki, langit mulai jingga. Samar-samar mataku mendapati garis putih dari bebatuan melingkar. Rerumputan rendah menutupinya, kalau bukan jarakku yang dekat dengan tempatnya muncul, aku juga tidak akan menyadarinya.

Hanya sepersekian detik, cahaya keluar dari tengah-tengah lingkaran, mengeluarkan sebuah bangunan tua dari kayu. Bertepatan dengan munculnya beberapa monster berkuku panjang.

Tubuhku refleks berguling masuk ke arah lingkaran dari batu, sesaat sebelum sebuah cakar menancap di tanah tempat pantatku duduk sebelumnya. Astaga itu hampir sekali!

"Ebbe!" panggilku, berdiri tertatih mendekati gubuk tuanya, sementara seekor makhluk bertubuh panjang nan gelap mengamuk di belakang.

Pintunya terbuka, dan wajahnya masih setengah sadar di sana. Ada garis-garis tipis yang melintang di pipinya. "Cepat sekali kau datang?" Ebbehout menguap lebar, sebelum melangkah gontai masuk lagi dan merebahkan diri di sofa.

Sejenak aku melupakan dirinya adalah kelelawar yang aktif saat malam hari. "Bulan sudah muncul, Ebbe. Buka matamu!" Kuhampiri dia setelah menutup pintu.

Sayapnya menekuk sedemikian rupa di punggungnya. Mengkilap ditimpa cahaya redup dari lentera. Ujung-ujung sayap itu memiliki sesuatu yang runcing, mungkin itu tulangnya? Sedikit menyeramkan, tetapi seharusnya tidak apa-apa asal aku tidak macam-macam dengannya.

"Dibanding aku," katanya, melirik dari celah rambutnya yang turun di dahi. "Kau tampak lebih lelah. Apa yang kau lakukan?"

Oh, dia melihat raut wajahku. "Persiapan berburu—"

"Nah, pulanglah, Debo." Ebbe memalingkan wajahnya, tenggelam di antara lekukan lengan dalamnya. "Datanglah tengah malam nanti, baru kita mulai pencariannya."

"Aku buru-buru!" Kalau tidak begini, saudara-saudaraku akan mendapatkan bahan mereka lebih dulu.

Ebbehout berdecak, mengangkat kepalanya dengan mata menyipit dan alis bertaut. "Kita sama-sama dalam kondisi kelelahan. Kalau kau mau dibunuh monster, silakan saja. Aku tidak ikut."

Kuusap wajahku frustrasi, menggeram pelan sebelum mengambil napas dalam. Dia benar, apa yang kupikirkan?! Logikaku hilang sejenak karena kelelahan.

"Baiklah, tapi antarkan aku pulang—kau tahu sendiri aku tidak bisa keluar dari hutan ini dengan mudah saat malam."

Pada akhirnya, aku dan Ebbehout sama-sama menurut. Ebbe mengantarku pulang seperti biasa, sampai batas hutan belakang mansion. Kali ini lebih jauh, agar tidak ada lagi kejadian menyebalkan seperti tadi pagi.

Kami berpisah, dan Ebbe melesat cepat sekali tanpa terlihat dari tempatku berdiri—mungkin itu sebabnya tidak ada desas-desus tentang makhluk bersayap aneh yang melintas di langit kota.

"Debora?"

Kuteruskan langkahku sambil menoleh ke sumber suara. Apa yang anak itu lakukan di sini? Aku ingin bertanya padanya, tetapi yang keluar dari mulutku justru berbeda. "Telingamu mengerikan."

Sial, apa yang kukatakan?!

"Sedang apa kau?" tanyanya curiga. Kedua alisnya mengernyit di belakang helai rambutnya yang basah. Untunglah dia bertanya balik. Tapi apa anak itu barusan mandi? Diguyur hujan?

Suasana mendadak canggung untukku yang tidak terbiasa bicara dengannya. Entahlah, kuperbaiki sarung tanganku dan berusaha menjawab dengan tenang. "Melakukan tugasku."

"Di hutan?"

"Memangnya hutan ini milikmu atau apa?" Kuendarkan pandanganku pada posisi duduknya. "Lagipula, sejak jam malam itu diberlakukan, pergerakan semakin terbatas. Jadi harus cari rute alternatif."

Wulfer benar-benar kacau. Sekujur tubuhnya basah, dia tertawa sendiri tadi, dan kakinya tak beralaskan apapun. Apa dia berubah di tengah hutan terbuka ini?

"Jam malam?" tanyanya lagi.

Astaga, apa anak ini tidak pernah membaca surat?! "Beredar sedikit, dong. Ada rumor iblis pemburu mata berkeliaran di kota, jadi diberlakukan larangan keluar rumah setelah petang."

Kakakku itu terdiam sejenak. "Mau bagaimana lagi. Belakangan terlalu sibuk dikerangkeng," gerutunya.

Tunggu. Wulfer bisa membuat ekspresi sedih dan memelas seperti anak anjing?! Astaga aku ingin meremas wajahnya—

Tahan, Debora! Aku tidak pernah begitu dekat dengannya. Apa kata yang lain kalau kami mendadak akrab, hanya karena aku baru menyadari Wulfer tidak ada bedanya dengan anak anjing—yang ini lebih besar, bisa bicara, penurut, dan ... dia kakakku.

"Dan setelah bebas, kau hanya akan keluyuran sambil tidur-tiduran tanpa alas kaki di mana-mana?" Tudingku.

Anak itu menggeram lagi. "Sepatuku robek—"

"Carilah motivasi," kataku, membuang muka sebab tak sanggup melihat ekspresinya. "Vader tidak akan menjadikanmu anak emas hanya karena kau sudah bisa berubah seenaknya-enaknya."

Aku harus pulang!

Jangan lupa mampir ke seri Leanders bersaudara lainnya! Mari bertemu dengan si sulung Asmosius … pengendali tikus disertai otak jenius, Wulfer sang werewolf, Eberulf sang cacat yang mengawasi segala langkah maju dunia, Debora dengan tangan leburnya dan Ignicia si bungsu yang dijuluki sebagai gadis dari neraka.

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azzafrei
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

Ayo segera lanjutkan petualangan imajinasi liarmu bersama lima bersaudara gila! Sudah siap?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top