Kelopak 5: Darah Ebbehout
Malam itu, sebagai tanda terima kasih telah menyelamatkan nyawanya, monster anak-anak sepantaranku menawarkan acara minum teh malam di gubuk ajaib. Kami memperkenalkan diri, dan kuketahui namanya Ebbehout. Seperti artinya, dia didominasi hitam (rambut beserta sayap) dan keras (kepalanya).
Pun kami membuat perjanjian singkat: kelopak Giftige Levensbloem dibagi rata setelah kami mendapatkannya. Ebbehout juga mencari bunga itu, sebab seperti yang dia katakan sebelumnya, serbuk terakhir bunga penyembuh itu sudah dia gunakan untuk melawan racun dari darahku.
Begitu kedua pihak setuju, sebagai tanda terima kasih lainnya, Ebbehout memberiku tumpangan pulang lewat jalur udara yang sedikit lebih aman. Awalnya, aku tidak percaya apakah dia bisa membawaku keluar dari Hutan Ajaib.
"Aku juga tahu mantranya."
Jadilah malam itu, Ebbehout benar-benar mengantarku pulang. Aku naik ke punggungnya, dan sedetik kemudian kakiku tak lagi menyentuh tanah. Ini menjadi pengalaman pertamaku mengudara tanpa mesin. Rasanya lebih ringan dan sejuk. Perutku terasa diaduk-aduk dengan cara yang menyenangkan.
Kami melintasi perpustakaan kota, taman, sekolahku, hingga Ebbe berkata, "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini." Kepakan sayapnya berangsur-angsur pelan, menurunkanku di hutan belakang mansion.
"Terima kasih," ucapku, dan itulah pertama kalinya aku percaya pada makhluk selain diriku sendiri.
Jantungku melecus senang. Ini awal yang bagus untuk memulai pencarian Giftige Levensbloem. Sangking senangnya, malam itu aku sama sekali tidak menyadari ada mata lain yang mengawasiku dari atas pohon.
:.:.:
Tidurku nyenyak, dan hari ini, entah bagaimana tidak ada salah satu dari saudaraku yang mengacau pagi. Aku sungguh bangun sendiri—yang mana sebuah keajaiban sebab biasanya Eberulf atau Ignicia terlalu bersemangat mengetuk pintu kamarku, atau lebih parahnya lagi, Eber melompat ke atasku sambil mengucapkan salam selamat pagi.
Aku mandi, berpakaian, dan keluar saat sarapan sudah siap. Dan saat itulah, pagiku yang tenang lenyap.
"Pagi, Debo!" sapa Eber di meja makan. Senyumnya tidak tampak seperti biasa—kali ini lebih aneh—dan dari sanalah aku tahu ada yang tidak beres. "Omong-omong, apakah ada anak laki-laki di kelasmu yang membuat adikku ini berbunga-bunga?"
Hah? "Kenapa?" tanyaku curiga, sebelum mendapati Ignicia datang dari koridor dan menyusup masuk dalam percakapan kami.
"Padahal kupikir kau sama sekali tidak tertarik pada lawan jenis," komentarnya, menggeret kursi dan duduk manis menunggu sarapan.
Mereka ini bicara apa, sih? Kupilih tak mengindahkan mereka dan duduk tenang menunggu yang lain datang.
"Ayolah. Siapa, sih, anak itu?" desak Eberulf tak sabar, matanya berbinar-binar mencondongkan badannya yang ramping ke arahku.
Ignicia mengangkat bahu sambil membuat raut wajah menyebalkan. "Perempuan memang seperti itu kalau sudah jatuh cinta." Matanya menatapku, menyipit sedemikian rupa bersama seringai jahil. "Jangan pikir kami tidak tahu—" Saat anak itu hendak terkikik geli, matanya lepas.
Tanganku refleks mendorong bahu Eber, dan lekas enyah dari tempat dudukku kala bola mata Ignicia menggelinding di meja sebelum jauh di kursi yang tadi kuduki. "Igni! Itu menjijikkan!" Tanganku terkepal kesal, ingin rasanya kuleburkan bola mata itu, tetapi di sisi lain aku terlalu jijik untuk sekadar menyentuhnya di ujung jari. "Cepat bersihkan! Ih, itu mata bisa bikin iritasi di kepalamu!"
Yang kuteriaki malah terpingkal-pingkal geli, mengambil matanya sendiri dan menatap jahil padaku. "Ini cuma mata, lho. Biasanya kau juga mengumpulkan organ yang lebih menjijikkan di kamarmu."
"Tapi organ itu tidak untuk dipakai—sekarang cepat bersihkan dan kenakan kembali!"
Bibirnya mencebik. "Cerewet."
"Jorok," balasku.
"Dari pada itu," sebuah suara mengagetkan kami bertiga yang masih saling pelototan di sebelah meja makan. "Kenapa tidak kau jelaskan pada kami siapa laki-laki itu?" Asmosius mendekat dengan raut wajahnya yang dingin seperti biasa.
Belakangan ini kuketahui anak itu sering berkeliaran ke kota lain, pulang-pergi entah kapan, aku tak tahu. Hadirnya seperti bayangan akhir-akhir ini. Kutelaah dirinya dari atas sampai bawah, hingga tak sadar sulung kami itu sudah benar-benar berhadapan denganku.
"Laki-laki siapa, sih, yang kalian bicarakan?!" Aku memang merasa tidak pernah dekat dengan laki-laki. Di sekolah, atau di rumah—kecuali tiga spesies di dalam mansion.
"Yang mengantarmu pulang semalam—"
"Kak Asmos tidak bilang kalau Debo diantar pulang semalam—" ucapan Igni dipotong bekapan tangan Eber.
"Biarkan saudara kita ini menyelesaikan penjelasannya," bisiknya senang dengan postur menunduk.
Keningku mengernyit lagi. "Hah? Yang mengantarku pulang semalam itu teman baruku." Memang, 'kan? Apa yang sebenarnya mereka harapkan?
Sudut bibir Asmosius terangkat. "Kalau memang benar hanya teman," dia mendekat lagi sampai ujung alas kaki kami bertemu, "kenapa ekspresimu cerah sekali waktu itu—bulan pun kalah dari senyummu?"
Kudapati Wulfer sudah duduk di kursinya, tak berminat bergabung dalam ocehan tak bermutu kami. Melihatnya sekilas, aku jadi mendapat alasan untuk membantah. "Karena dia bukan manusia." Kutatap Asmosius tajam. "Sebagai saudaraku, seharusnya kalian tahu aku tidak suka dekat-dekat manusia dan menghadiri acara-acara sosial."
Aku tidak berbohong. Ebbehout bukan manusia, dia monster kelelawar, dan bisa digolongkan sebagai hewan.
"Tapi kenapa kau menghindari Wulfer?" Igni berkelit dari dekapan Wulfer. "Sudah berapa tahun sejak kita hidup bersama, tapi melihatmu bicara, bahkan berinteraksi dengan Wulfer tetap menjadi suatu yang langka hingga sekarang. Kenapa?"
Semua mata langsung tertuju pada sosok yang malah mematung di tempatnya. Wulfer segara membuang muka tak acuh.
"Karena bagiku dia masih manusia," desisku pelan, dan kuharap dia mendengarnya. Kuendarkan pandanganku lagi, menatap kosong pada ruang hampa. "Apa lagi yang kalian mau, hah?"
"Duduk rapi dan bersiaplah sarapan!"
Kami semua serempak menegakkan punggung, lantas kembali ke kursi masing-masing tanpa perlu menoleh pada siapa yang bicara lantang tadi. Sudah jelas Vader.
Itulah akhir perdebatan dari ketiga saudaraku yang masih curiga padaku hari ini. Ignicia masih melirikku sesekali sambil menyuap makanan, pun Eberulf. Hanya Asmosius dan Wulfer yang mampu mengendalikan raut wajahnya di depan Vader.
Pelayan-pelayan tengkorak berdatangan, mengambil piring-piring kami yang sudah habis. Satu dua mematikan api-api pada obor dan lentera setelah fajar menyingsing tinggi.
Kami tak butuh pelayan sungguhan—sebab kami bisa saja menjadikan mereka bahan eksperimen. Dengan kekuatan Vader, menciptakan makhluk hidup aneh untuk dipekerjakan sebagai pelayan bukanlah hal yang sulit.
"Vader," panggilku setelah kami selesai sarapan. Yang lain sudah kembali ke lorong mereka, sementara aku masih mengejar Vader yang hampir melangkah lebih jauh lagi di lorong lain. "Ada yang ingin kutanyakan."
"Bicara." Raut wajah dingin menyapaku seperti biasa—mirip Asmos, tetapi Vader sungguhan punya muka.
"Tentang darahku. Apa Vader menyembunyikan sesuatu?" tanyaku waspada, sebab setelah berkata demikian, air mukanya jadi tidak sedap dipandang.
Vader mengetukkan tongkatnya, memijat pelipis pelan. "Kita bicarakan di ruanganku."
:.:.:
Kubuntuti Vader hingga ruangannya. Di lantai atas mansion, dengan pemandangan yang bisa kuakui lebih indah dari jendelaku. Interiornya pun jauh berbeda—mungkin, Vader mencintai apapun yang terbuat dari kayu, termasuk tongkat kesayangannya.
"Duduklah."
"Aku ingin ini cepat selesai," titahku sembari menyeret kursi yang berhadapan dengan meja kebesaran Vader.
Pria tua itu menyandarkan tongkatnya, duduk menghadapku dengan postur setengah tegaknya. "Apa yang ingin kau dengar?"
"Darahku. Kenapa Vader tidak pernah bilang kalau itu beracun?"
"Siapa bilang?"
Tanganku mengepal. "Aku ke Hutan Ajaib kemarin, kemudian seorang kelelawar menggigit leherku." Kusingkap rambutku yang menjuntai, memperlihatkan bekas dua bolongan kecil di sana. "Katanya darahku manis, tetapi setelahnya dia terbatuk-batuk hingga napasnya sesak. Jelas beracun."
Mendengarku bercerita, Vader mengulum senyum. "Bukan darahmu yang beracun." Vader berdiri, meraih tongkatnya dan berjalan ke arah papan kapur di antara rak-rak bukunya. "Sejak awal, kau diciptakan dari bunga, dan sebagaimana yang semua orang tahu, nektar adalah makanan utama bagi kelelawar." Tangannya meraih buku bersampul merah pekat, melemparnya ke pangkuanku. "Kalau kelelawar itu alergi pada darahmu, artinya dia berasal dari dunia malam. Benar, bukan?"
Aku mengangguk sembari membalik-balik halaman buku cepat. "Itulah mengapa monster tidak muncul pada pagi hingga siang hari? Karena mereka alergi pada flora yang tumbuh saat matahari naik?"
Vader menarik sudut bibirnya terkesan. "Kini kau tahu apa yang mempengaruhi siklus itu bukan? Apalagi yang ingin kau tanyakan?"
"Satu lagi," kataku menatapnya tajam. "Bangunan apa yang ada di tengah Hutan Ajaib? Kastil bekas perang? Dengan siapa?"
"Ada legenda zaman dulu yang mengutipnya dalam sebuah buku. Aku tidak benar-benar tahu apakah kastil itu ada atau tidak. Tapi, seandainya kau benar-benar penasaran, mampirlah ke perpustakaan pribadiku, dan cari buku dengan judul 'Ebbehout'."
Nama itu! Nama monster kelelawar itu, kenapa ada di perpustakaan pribadi Vader?! Siapa anak itu sebenarnya?
Kukulum bibirku sendiri. "Baik, Vader. Terima kasih," ucapku pada akhirnya, bangkit dan bersiap keluar ruangannya.
"Berhati-hatilah," kata Vader. Kedua tangannya bertumpu pada tongkat kayu, memandang kosong pada deretan buku-buku yang rapi. "Kelelawar itu sudah kebal dengan darahmu pada gigitan kedua dan seterusnya."
Aku mematung tepat di depan kenop pintu. Selanjutnya, aku memang harus berhati-hati, tetapi aku tetap membutuhkan bantuan anak itu untuk mencari Giftige Levensbloem. "Akan kujaga leherku baik-baik, Vader. Terima kasih."
Jangan lupa mampir ke seri Leanders bersaudara lainnya! Mari bertemu dengan si sulung Asmosius … pengendali tikus disertai otak jenius, Wulfer sang werewolf, Eberulf sang cacat yang mengawasi segala langkah maju dunia, Debora dengan tangan leburnya dan Ignicia si bungsu yang dijuluki sebagai gadis dari neraka.
Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azzafrei
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee
Ayo segera lanjutkan petualangan imajinasi liarmu bersama lima bersaudara gila! Sudah siap?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top