Prologue
Deathless
Fantasy/Friendship
Rated : T+
.
.
Someday, Life asked the death.
"Why people love me and hate you?"
And death replied.
"Because you're a beautiful lie, and I'm a painful truth."
.
.
Suara tangisan hampir selalu mengawali sebuah kematian. Dan sebuah senyuman hampir selalu mengawali kelahiran. Tubuh itu berbaring kaku di peristirahatan terakhir mereka, dan keluarga serta sahabat yang ditinggalkan tampak mengiringi dengan tangisan.
Kematian sama sekali tidak memandang usia dan jenis kelamin. Anak yang baru berusia belasan tahun, yang bahkan kemarin masih bisa berlari dan tertawa sekarang sudah meninggalkan dunia ini dengan tenang. Semuanya mengasihani keluarga yang ditinggalkan, mengucapkan bela sungkawa.
Namun hanya satu.
Pemuda itu tidak bergeming, menatap pada ranjang putih didepannya yang dikelilingi oleh para dokter dan juga kerabat yang mendatanginya untuk mengucapkan perpisahan. Tudung itu menutupi wajahnya, hanya iris ungu mengkilap yang terlihat dengan sekelibat rambut hitam keunguan yang sedikit menampakkan diri dari tudung itu.
"Apakah Oliver tidak akan bermain denganku lagi?"
Suara itu terdengar dari gumaman gadis kecil yang berbaring di ranjang putih di sudut ruangan itu. Hanya pemuda itu yang menyadari eksistensi si kecil yang menatap anak yang terbaring lemah tidak bernyawa disana dan menatapnya. Sepertinya gumaman itu ditujukan untuk dirinya sendiri, berpikir jika teman satu kamarnya yang bahkan kemarin masih bermain dengannya sekarang sudah pergi.
Ia maupun anak yang sudah meninggal itu masih sangat kecil. Usia mereka bahkan belum menginjak dua dijit angka. Terlalu dini untuk menghampiri sang kematian.
Anak itu sendiri tampak kurus, dengan helai rambut yang semakin tipis dibalik topi rajutan lucu yang menutupi kondisinya saat itu. Dilihat bagaimanapun, anak itu sama tidak baik-baik sajanya dengan anak laki-laki yang kini tertidur tenang selamanya di dekat sana. Namun ia masih beruntung, kematian belum mendekatinya.
"Sayangnya begitu," pemuda itu menjawab dengan gumaman saja. Anak perempuan itu tampak menatap kearah pemuda yang menjawab gumamannya itu. Eksistensi yang disadari oleh anak itu membuktikan jika ia adalah manusia biasa. Bukan dewa kematian, ataupun kematian itu sendiri, "ia sudah pergi dari dunia ini. Ketempat yang lebih baik."
"Apakah nanti aku akan pergi kesana juga? Mama dan papa selalu berbicara dengan ayah dan ibu Oliver bagaimana aku dan Oliver memiliki nasib yang sama. Mereka selalu menangis bersama," suara itu semakin kecil, tangan itu melingkar pada boneka beruang yang tampak berbulu lebat tersebut.
"Kau akan pergi ke tempat yang lebih baik. Dan kau akan bertemu kembali dengan Oliver," pemuda itu mendekat dan duduk di pinggir ranjang kosong yang ada di samping anak perempuan tersebut, "kau tidak mau?"
"Nana tidak ingin meninggalkan papa dan mama. Mereka akan sedih seperti bagaimana papa dan mama Oliver sekarang menangis," gadis itu tidak mengalihkan pandangannya dari sepasang suami istri yang tampak menangisi kematian anaknya itu.
"Nana tidak ingin papa dan mama bersedih..."
...
Pemuda yang awalnya tidak berekspresi tampak menarik sudut bibirnya, tersenyum mendengar perkataan polos dari gadis kecil itu. Tangannya yang penuh dengan perban bergerak, mengusap pelan rambut tipis yang tertutupi oleh topi rajutan itu.
"Kau mau sembuh?"
"Ya," gadis itu mengangguk pelan dan tampak sedih, "tetapi, aku tahu kalau itu tidak akan bisa. Paman dokter selalu membuat papa dan mama sedih setiap menanyakan keadaanku. Pasti aku belum sembuh..."
Dari posisi duduk, pemuda itu bergerak dan berjongkok di samping ranjang gadis kecil itu untuk menyamakan posisinya.
"Kau mau ikut dengan kakak? Kakak akan menyembuhkanmu..."
"Tetapi papa dan mama bilang aku tidak boleh ikut dengan orang asing tidak dikenal," jawaban anak itu polos dan cukup membuatnya tersenyum dibalik jubah itu.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita berkenalan?" Pemuda itu mengulurkan tangannya, "siapa namamu?"
"Namaku Nanami Yukimura," anak itu tampak tersenyum ramah dan manis, menatap pada iris ungu yang ikut menatapnya, "siapa nama kakak?"
...
"Sei. Kau bisa memanggilku Sei..."
.
.
"Sudah 1 bulan lamanya semenjak penculikan yang terjadi di Rumah Sakit yang ada di daerah Okinawa. Korban, bernama Nanami Yukimura berusia 8 tahun dibawa kabur ketika para dokter dan juga keluarganya disibukkan dengan kematian salah satu pasien yang berada di kamar yang sama dengan korban."
"CCTV ataupun para petugas keamanan tidak melihat sosok yang mengambil korban. Kepolisian menemukan jalan buntu dalam kasus ini."
"Keluarga korban tidak berhenti meminta bantuan dari semua pihak dalam menyelesaikan kasus ini."
Suara TV tampak terdengar jelas menggema di ruangan serba putih tersebut. Seorang pemuda memegang remote yang ada di dekatnya, mematikan saluran TV yang menyiarkan berita tentang kasus penculikan yang marak di media saat ini.
"Sei," suara itu terdengar saat seseorang membuka pintu ruangan itu, "sudah saatnya..."
"Ah, baiklah," pemuda itu mengangguk, tampak berdiri dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan tempat itu.
.
.
"Nana, kau dimana nak..."
Isakan itu terdengar saat dua orang pasangan suami isteri tampak duduk di depan ranjang yang seharusnya ditempati oleh anak kecil itu. Isakan kecil terdengar dari sang isteri, sang suami tampak menenangkannya bersama dengan beberapa orang yang datang untuk menghiburnya.
"Mama? Papa?"
Suara itu seolah tidak pernah terbayangkan akan terdengar saat itu. Ketika dua pasang mata tampak mengedar melihat bagaimana anak perempuan manis itu yang menghilang satu bulan yang lalu tampak muncul dan tersenyum pada mereka.
"Nana!"
Tentu reaksi normal dari keduanya tampak segera menghampiri anak itu dan melihat keadaannya. Tidak ada yang memburuk, tidak ada luka atau tanda kekerasan. Bahkan, tubuh kurus nan pucat serta rambut yang tipis kini tampak berubah menjadi tubuh yang terlihat sehat. Sangat sehat.
"Kau darimana saja nak?"
"Uh, aku tidak boleh memberitahunya," anak itu dengan polos tampak menggeleng pelan dan menatap keduanya, "tetapi dengar mama! Kak Sei menyembuhkanku! Sekarang Nana sudah sembuh!"
"Apa?"
Kedua orang tua itu tampak saling bertatapan dan bingung. Namun, faktanya menunjukkan bagaimana anak itu tampak sangat sehat saat ini.
.
.
Pemuda berambut hitam itu tampak menyender pada sebuah mobil sport hitam berkaca gelap. Jas putih yang dikenakannya ia biarkan berkibar karena angin saat itu, dan ia hanya menatap kearah bangunan rumah sakit yang tampak berdiri kokoh didepannya.
"Kak Sei!" anak kecil itu, Nana tampak berlari keluar bangunan itu dan menghampiri pemuda itu dan memeluk erat kakinya, "terima kasih sudah menyembuhkan Nana! Paman dokter bilang Nana harus diperiksa dulu di Rumah Sakit. Tapi, mama dan papa senang karena kata paman dokter Nana sudah sembuh!"
"Baguslah," pemuda itu tampak tersenyum dan mengusap pelan kepala anak itu, "sudah kakak bilang bukan? Kau akan sembuh, dan kakak yang akan menyembuhkanmu."
"Ya! Tetapi, kenapa mama, papa, dan yang lain tidak boleh tahu? Paman dokter juga," Nana memiringkan kepalanya dan tampak menatap bingung pada Sei.
"Karena ini adalah rahasia Nana dan kakak," pemuda itu tersenyum dan menaruh telunjuknya didepan bibir. Melihat Nana yang tampak bingung, pemuda itu tampak merogoh sesuatu di dalam saku jasnya. Sebuah permen berwarna merah yang dibungkus oleh pembungkus berwarna putih tanpa merek, "kita akan berpisah sampai sini. Nah, ini adalah hadiah perpisahan kita."
Nana melihat permen itu dan mengambilnya sambil mengangguk dan menatap kearah wajah pemuda itu.
"Kapan Nana bisa bermain dengan kakak lagi?"
...
"Setelah kau habiskan permen itu," Sei hanya tertawa dan menepuk kembali kepala anak itu beberapa kali. Nana tampak percaya begitu saja, dan memakan permen itu dengan senang.
"Manis!" Ia tampak bersenandung dan memainkan kakinya saat pemuda itu membuka pintu mobil di belakangnya dan membiarkan anak itu duduk di jok depan mobil itu. Beberapa obrolan ringan terjadi, sebelum mendadak anak itu terdiam seperti seorang yang bengong. Ia tampak beberapa kali mengerjapkan matanya, menatap kearah kiri dan kanan sebelum turun dari tempatnya duduk.
"Ada apa?"
Suara pemuda itu membuat gadis itu tersentak dan menoleh dengan tatapan kaget pada pemuda itu.
"Kakak... siapa?"
Mendengar jawaban itu, Sei hanya tersenyum dan menghela napas.
"Hanya orang yang lewat," ia menggerakkan tangannya dan menunjuk pada dua orang yang berlari menuju kearahnya, "orang tuamu mencarimu..."
"Ah!" Anak itu tampak kaget dan menatap kearah ayah dan ibunya. Tanpa ragu, ia berlari menghampiri dan kedua orang tuanya memeluknya khawatir. Tentu karena anak itu sempat menghilang selama 1 bulan, mereka tidak ingin itu terjadi lagi.
Melihat ketiganya berkumpul, Sei hanya menghela napas dan berbalik akan memasuki mobil yang terparkir di belakangnya.
"Siapa orang yang bersama denganmu tadi Nana?"
Ayahnya melihat mobil yang tampak menjauh dari tempat mereka berada. Dan anak itu...
...
"Tidak tahu papa."
...menjawab seolah ia tidak pernah mengenal pemuda itu.
To be Continue
New Character!!
Sei
"Blood Deathless"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top