[9] Pria Berdasi Biru

Clik.

Tamara meletakan payungnya disamping pintu. Melempar jaket Reynand ke dalam tumpukan baju kotor dan merebahkan diri sebentar diatas sofa.

Matanya melirik jam, pukul 3 sore.

Sepinyaa. Andai kakak di sini, pasti nggak sesepi ini.

Tamara membuka mata, mengeyahkan pikirannya dan pergi ke dapur. Tangannya meraih satu bungkus mie rebus, memasaknya dengen cepat.

"Uuh. Hujannya nggak reda-reda. Ah gimana mau cuci baju coba?" Tamara membawa semangkuk mie rebus panas ke ruang tengah. Menyalakan berita seraya menyantap makan siangnya.

Dihimbau kepada masyakarat yang pulang malam hari untuk tidak sendirian, dikarenakan tersangka pembunuhan di hultan Dealno belum juga tertangkap.

"Pffftt." Tamara melepas tawa. "Tentu saja himbauan itu tidak akan berpengaruh."

Tamara menghabiskan mienya. Kemudian mencuci piring dan masuk ke kamarnya.

--------

Reynand baru saja selesai mengguyur badannya dengan air hangat. Ia keluar dari kamar mandi dengan wajah bahagia ketika melihat tempat tidur.

"Fuah. Akhirnya tidur!" Ia merebahkan dirinya ke atas tempat tidur dan terlelap.

"Anak satu ini benar-benar." Vandi menggelengkan kepala melihat kelakukan anak rekan kerjanya di masa lalu itu. "Mirip sekali dengan ayahnya dulu."

Vandi menatap pigura kaca yang menampilkan wajah manis Reynand kecil dengan sosok ayah yang hangat mengenakan seragam kepolisian. Senyum tipisnya terbentuk.

"Darren. Aku rindu sekali dengan caramu bekerja yang elegan itu." Vandi menutup pintu kamar dengan pelan.

"Mmm. Ayah." Reynand memeluk gulingnya erat dengan setetes air mata di sana.

Pukul lima sore, Reynand bangun dari tidurnya dengan mata yang basah. "Apa sih," umpatnya kesal.

Ia keluar dari kamarnya seraya mengacak rambut. Vandi yang tengah meninum secangkir teh hangat seraya memangku laptop di ruang tengah langsung menyapanya, "Eh, selamat pagi Reynand sayang."

Reynand melotot dibuatnya. "Apa sih hahaha. Menjijikan, kak!" Ia duduk disamping Vandi yang asik menonton film.

"Siapa yang nyangka coba tenaga kepolisaan muda yang keren ini suka nonton drama." Reynand tertawa meledek.

"Biarin aja. Lagian ini bagus tahu jalan ceritanya," sahutnya.

"Hari ini ada rapat lagi?" Reynand bertanya dengan mata berbinar.

"Tentu saja. Jam 7 seperti biasa," jawab Vandi tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.

Reynand mengangguk dan segera melesat mencari makanan di dapur.

---------

Tamara membuka mata ketika langit gelap. Ia dengan setengah sadar beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dan mengerjakan pekerjaan rumah secepatnya.

"Ah, lupa nyapu sama ngepel. Besok aja deh." Tamara berjalan ke dapur. Membuka kulkas, kosong.

"Udah harus belanja yah ...." Ia menghela napas. Mata cokelatnya melirik jam yang menunjukan pukul enam kurang limabelas menit.

Ia segera mengambil jaket dengan cekatan dan dompet belanja. "Cukup," gumamnya saat mengecek dompet.

Kakinya segera melangkah keluar dari rumah. Berjalan pelan diantara genangan air dengan perlahan. Berbelok di depan komplek, masuk ke salah satu minimarket dan berbelanja sayuran dan makanan beku seadanya, kemudian kembali ke rumahnya.

Tamara membuka tasnya, mengeluarkan buku tugasnya dan mengerjakan tugas untuk besok hari.

"Aarrggh nggak tahan." Tamara mengacak rambutnya. Melirik jam yang menampilkan pukul sembilan malam dan segera mengganti wujudnya. Melompat keluar melalui pintu belakang dan berjalan diantara kegelapan.

"Angel," gumamnya.

Dalam sejekap, penampilannya segera berubah, seorang remaja berambut hitam dengan iris senada, serta gaun hitam polos selutut.

Sepatu pantofelnya menghentak dalam gelap. Menyusuri trotoar jalan dan berbelok masuk ke salah satu lorong sepi mengikuti satu pria berdasi yang berjalan dengan raut wajah suram.

Kali ini, targetnya tidak akan serandom kemarin. Kali ini, targetnya ialah mereka yang pantas dibunuh.

Pria itu masuk ke dalam ruangan dengan pintu besi berkarat yang tampak tidak terawat. Tamara mengikuti. Ketika kakinya masuk, lampu warna-warni diskotik segera menyambutnya. Bau alkohol--yang sebenarnya dilarang dikota--memenuhi semua sudut ruangan.

'Kan sudah kubilang himbauan berita itu tidak akan berpengaruh.

Tamara duduk di salah satu meja bundar hitam di sudut ruangan. Ia tidak punya ide sama sekali untuk memesan. Lagipula, ia tidak ingin mengotori diri dengan minuman pemabuk itu.

Salah satu pria berdasi biru melepas jasnya tiba-tiba duduk disampingnya, merangkul bahu Tamara dengan akrab.

"Kamu baru pertama kali ke sini cantik?" sapanya dengan senyuman lebar.

Tamara membalas dengan senyum kecil. Mengangguk.

"Ah, aku Vanz. Kamu?" Pria itu memanggil pelayan, memesan dua minuman dengan nama asing bagi Tamara.

"Angel." Tamara meletakan tangan kirinya diatas bahu pria itu. "Kamu tampan sekali."

Pria itu tampak tersanjung. Pelayan datang dan segera meletakan dua minuman di atas meja bundar. Pria itu meneguk cawan kecil itu dalam sekali teguk.

"Seleramu bagus sekali, Cantik," katanya tanpa melepas pandangannya dari Tamara.

Tamara tertawa kecil. Mendekatnya diri mereka berdua. Bibirnya berbisik pelan, "Aku mau berdua saja denganmu tampan."

Pria itu dengan raut wajah bahagia bangkit tergesa. Ia mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh Tamara dengan malu-malu.

Seberkas cahaya hitam melesat diantara banyaknya orang. Membuat lengkungan senyum Tamara semakin lebar.

Pria itu sebenarnya memang berperawakan tampan. Kulitnya putih, dipadukan dengan mata bulat berwarna biru terang, garis wajahnya tegas dengan perawakan yang gagah. Senyumnya manis sekali.

Pria itu membawa Tamara ke salah satu hotel diujung jalan. Memesan sebuah kamar dan langsung masuk tanpa membawa tas apapun.

Dia mendudukan Tamara di kasur putih yang empuk. Pria itu membuka kemeja dan dasinya cepat. Tamara memejamkan mata ketika pria itu tanpa malu membuka celananya.

"Mmmm. Berapa umurmu, Tampan?"

Tamara menidurkan diri diatas kasur. Tepat saat pria itu selesai melepas seluruh benang yang menutupi tubuhnya. Tamara bangkit berdiri. Seringainya segera terbentuk. Ia dengan cekatan memgambil pisau di pantofelnya dan menusuk perut pria yang super terkejut itu.

Pria tampan dengan refleks yang payah. Padahal badannya kekar, namun matanya tidak dapat mengikuti pergerakan tangan Tamara yang mengeluarkan pisau dan menusuknya. Tamara menahan tawa. Payah sekali, batinnya.

"Selamat tinggal, Tampan." Pria itu jatuh terduduk mencengkram perutnya yang mengeluarkan darah. Ia mencengkram kaki Tamara dengan tenaga terakhir dan membantingnya ke kanan. Tamara terhempas jatuh ke lantai.

"Pfftt." Tamara bangkit dengan wajah bahagia. Melompat satu langkah lebar hingga mendarat tepat diatas punggung tubuh pria itu. "Padahal jelas sekali kau akan mati hari ini."

Kedua tangannya ia rentangkan seperti menjaga keseimbangan diatas tali.

Pria itu kesakitan, namun saat teriakannya ingin keluar pisau Tamara lebih dahulu melesat menancap tenggorokannya.

Tamara melompat turun. Memandangi Kakaknya yang baru saja selesai memainkan melodi kematian.

Ia menubruk tubuh kakaknya dengam bahagia. "Kakaaaaak!!!"

Namun, detik berikutnya Laura menghilang. Tamara memeluk udara kosong di lantai. Matanya terasa panas.

"Kenapa kak? Kenapa kakak menghindari aku?"

Ia segera bangkit, memasukan pisaunya ke dalam sepatu, menghapus air matanya dan keluar dari hotel dengan santai.

Tuk. Tuk. Tuk. Tuk.

31/03/2018
NEXT >>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top