[7] Pertemuan Antar Kematian
Dua kematian bertemu,
apa yang datang?
-----------------
Sepulang sekolah Tamara langsung pulang ke rumah dan membuka kamar ayahnya. Ia duduk bersila di kasur. Membuka dokumen-dokumen lama serta buku tabungan yang sekiranya cukup menghidupinya sampai lulus universitas.
ia mengambil secarik kertas kosong dan mencoretnya, menetapkan biaya super irit untuk kebutuhannya dalam satu bulan. Bahkan menetapkan uang sekolahnya dan uang masuk kuliahnya nanti.
Dua jam Tamara berkutat dengan itu. Berusaha mengatur pengeluarannya untuk hidup hingga jatuh tertidur.
Ketika matanya terbuka , mentari telah jatuh tertidur. Ia merenggangkan tubuhnya sesaaat dan tersenyum lebar.
"Kakak. Aku datang."
--------------
Ruangan 4 x 5 meter itu lenggang. Sepuluh polisi terbaik di kota terdiam. Mereka adalah otak yang luat biasa dalam urusan keamanan kota kecil yang maju ini.
"Bagaimana ini? Apakah kita akan berpatroli sepanjang malam untuk pembunuh tidak jelas ini?" Komandan angkat suara. Bertanya pada sembilan tangan terbaiknya.
"Tidak." Henz memotong. Otaknya yang cemerlang itu membuatnya sangat amat dipercaya sebagai senjata kepolisian kota. Tangannya bergerak melepaskan lensa biru yang dikenakan.
"Apa?! Lalu kalau begitu nanti dia beraksi lagi bagimana?!" jerit salah seorang polisi muda yang baru saja selesai dari pelatihan. Semangatnya membara sekali.
"Aku yang akan berjalan-jalan." Henz memasukan satu buah pistol ke ke dalam saku celana khusus untuk penyamaran. "Yang penting sekarang, aku bisa melihat rupanya."
Polisi di ruangan itu mengangguk kompak. Tak terkecuali
Vandy yang berada di sisi Henz. Tangan kanannya menepuk bahu Henz dengan senyuman yakin. "Hati-hati, Henz."
Henz---yang kini berpenampilan Reynand---mengangguk. Tangannya mencopot wig biru yang dikenakan. "Sampai bertemu semuanya!"
Pintu tertutup. Henz menghilang.
"Dia mirip sekali dengan ayahnya." Komandan yang rambutnya telah memutih itu menggeleng pelan.
"Yap. Tidak salah percaya padanya," sahut polisi yang lainnya.
Vandy mendudukan diri diatas kursinya. Matanya menatap lurus pigura foto yang ada di dinding, salah seorang mantan atasan terbaiknya dua tahun lalu. "Mungkin, dia hanya ingin membuat ayahnya bangga."
-----------
"Kakaaak!" Tamara menubruk bayangan yang baru saja memainkan melodi untuk salah seorang bayi di rumah kumuh.
"Kamu ngapain?" Laura melenyapkan serulingnya.
"Ketemu kakaklah!" Tamara tersenyum lebar. "Aku merasakan aura kakak tadi. Jadi aku samperin deh kakaknya."
Lengannya dengan usil menyibak tudung Laura. "Mara kangen kakak."
"Kamu mau bunuh orang lagi malem ini?" Laura memandang Tamara lurus.
Tamara menggeleng. "'Kan Mara udah ketemu kakak. Jadi Mara nggak perlu mancing kakak buat samperin Mara pakai mayat orang ya 'kan?"
Tamara memeluk lengan kakaknya yang dingin. "Mara kangen kakak. Mara nggak mau sendirian."
Laura menyentuh puncak kepala Tamara. Mengembalikan wujudnya seperti semula.
"APA YANG KAKAK LAKUIN?!" Tamara beteriak kesal. "Aku udah ngabisin banyak uang buat itu." Tamara malah mengeratkan pelukannya. "Kakak nggak ilangin gitu aja 'kan?"
"Nggak." Laura merubah wujudnya menjadi manusia. "Kau bisa memunculkannnya lagi jika ingin."
Kening Tamara beekerut tidak mengerti. Tamara refleks memejamkan matanya dan berkata lirih, "Angel."
Plop!
Tampilan Tamara kembali berubah. Tamara tersenyum lebar dan melakuka hal serupa untuk mengembalikan dirinya ke dalam wujud Tamara.
Tamara tertawa senang. "Makasih, Kak!"
Laura diam, namun perlahan senyumannya mengembang. "Kau tahu? Bermain dengan kematian itu tidak ada baiknya."
Tamara merinding ketika menatap wajah kakaknya yang tersenyum ganjil itu. Namun, ia mengabaikannya.
"Kak. Aku laper." Tamara merajuk pada kakaknya. "Beliin makanan."
Tanpa suara lagi, mereka berdua segera berjalan meninggalkan kawasan kumuh itu dan berhenti tepat di salah satu minimarket yang menjual makanan siap saji.
Tamara segera menarik kakaknya dengan tergesa. Mengambil dua porsi nasi dengan daging ayam diatasnya dan membayarnya di kasir dengan uang dari kakaknya.
"Yeay makan malem sama kakak." Tamara menarik kakaknya lagi ke salah satu meja di pojok ruangan dan makan di sana.
"Kakak nggak marah aku lakuin ini 'kan?" Tamara bertanya takut-takut.
"Sebegitu inginnya kamu ketemu Kakak?"
Tamara mengangguk. "Mara 'kan sayang Kak Ara!"
Laura meletakan sendoknya. "Hentikan saja, Mara. Kita tidak mungkin bersama seperti dulu."
Pergerakan Tamara berhenti. Matanya berkaca menatap Laura tidak mengerti. "Aku melakukan ini buat ketemu kakak ... kenapa tidak mungkin?"
"Karena aku bukan manusia, Mara." Laura memasukan kembali makanan ke dalam mulutnya.
Tamara menunduk. Nafsu makannya hilang.
"Jadi jangan membuat tugasku bertambah banyak dengan aksimu itu." Laura mendekat kepada Tamara. "Karena kakak tidak bisa membelamu dihadapan kematian."
Detik berikutnya, Laura menghilang.
Tamara memukul meja dengan kasar. Ia pikir kakaknya akan berada bersamanya sedikit lebih lama.
"Temen kamu kemana, Dik? Kok saya nggak lihat dia keluar?" tanya petugas kasir kebingungan.
"Ah, dia buru-buru pulang tadi." Tamara menjawab sekenanya.
Petugas kasir tanpa ambil pusing lagi kembali berkutat dengan ponselnya. Shift malam memang banyak bosannya.
Tamara meletakan kepalanya diatas meja. Air matanya kembali merintik keluar. Jika kakaknya tak mengizinkannya melakukan ini, kenapa ia memberikan Tamara kemampuan khusus mengubah penampilannya?
Tamara bangun. "Apa kakak tsundere?!" Raut wajahnya berubah senang begitu saja. "Lihat saja kak, aku tidak akan menyerah dengan mudah!!"
Tamara berdiri, melangkah pulang dengan ringan. Suasana hatinya membaik begitu saja, hiraukan bekas air mata yang tampak dipipinya.
Sementara itu Reynand menyipitkan mata saat matanya menangkap postur tubuh yang dikenalinya saat berpatroli. Tamara? Kenapa dia ada diluar selarut ini?
"Tam?" Reynand menyapanya tanpa sadar.
"Eh? Lo ngapain malem-malem diluar gini?" Kening Tamara berkerut.
"Gue cari angin aja," Reyand memasukan tangannya ke dalam saku. Berjaga. "Lo?"
"Ah, gue abis makan di minimarket dua puluh empat jam di depan sana." Tamara tersenyum lebar. "Laper hehehe."
Reynand tertawa. "Apa? Lo makan jam segini? Mau tambah gendut, Tam?"
Bibir Tamara sukses mengerucut. Ia menghentakan kakinya kesal dan berjalan melewati Reynand tak acuh.
Reynand berbalik, memandang teman sebangkunya yang kenakan. Matanya menyipit menyelidik.
Reynand menggeleng. "Gimana bisa mahluk kekanakan itu membunuh orang? Tidak mungkin." Kakinya kembali melangkah melintasi trotoar jalan. Memaksa kakinya berpatroli sedikit lagi.
"Aneh. Kenapa tidak ada orang lagi yang kutemui selain Tamara?" gumamnya penuh tanya. "Ah di sana ada karyawan kasir minimarket."
Reynand kembali menyelidik. Mencari tahu. Berjaga agar tidak ada kasus pembunuhan malam ini.
-------------
"Kenapa Nona memberikan kemampuan berubah penampilan itu padanya?"
"Aku hanya ingin." Laura meletakan kepalanya diatas meja kerjanya di dunia gelap. Berkas-berkas gulungan manusia yang habis waktunya berserakan diatasnya.
"Nona nggak mau Nona Tamara cepat tertangkap ... ?" tanya Ana--pelayan Laura--takut-takut.
Laura menatap Ana datar. Ia menjentikan jari, mengubah wujud Ana menjadi gagak dan melemparnya keluar dari dunia gelap.
"Ma-maafkan aku, Nona!" Ana menjerit saat mendapati dirinya terbuang ke dunia manusia.
17/03/3018
Next saturday >>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top