[6] Reynand x Henz

Rahasia benar-benar sebuah rahasia jika teman yang ada dihadapanmu pun tak menahu soal itu.

----------------

Tamara berlari kecil melintasi lorong sekolahnya seraya mengutuk diri yang bangun kesiangan karena aksinya kemarin malam.

Ditambah pekerjaan rumah yang belum ia sentuh sama sekali. Tamara mendudukan diri di kelas. Matanya melirik jam. Kurang dari lima menit lagi bel akan berdering dan habis sudah riwayatnya.

"Ai! Pinjem pr lu dong." Tamara menatap Aila dengan tatapan memohon. "Kemarin gua ketiduran sampe pagi kesiangan gini coba."

Aila menggeleng kesal. Namun, tetap diberikannya buku tugasnya pada Tamara. "Besok-besok kerjain sendiri, Tam."

"Siap Mami!" Jemari Tamara segera bergerak gesit diatas buku tugasnya. Tak butuh waktu lama, lima menit cukup untuk jari mungil Tamara menyalin kilat pekerjaan rumah matematika itu.

"Makasih, Ai!" Tamara menyerahkan buku tugas Aila dengan wajah lega.

"Sama-sama." Aila meraih buku tugasnya dan menghadap kembali ke papan tulis karena bel berdering detik itu juga.

Tamara melirik kursi sebelahnya yang kosong. "Mahluk nyebelin itu kemana?" gumamnya.

--------

Hutan Dealno pagi ini begitu ramai dengan masyarakat yang penasaran akann apa yang terjadi, sedangkan beberapa polisi berusaha mengamankan tempat kejadian perkara.

"Pembunuhan kali ini aneh ya? Bukan merampok, tapi murni membunuh?" gumam salah seorang polisi seraya menatap jasad laki-laki yang terkapar ditanah dengan genangan darah yang mengering.

"Angel of death, hah?" Kedua alis Henz beratut. Kebingungan. "Pembunuhan norak macam apa pula?"

Ia berjongkok. Mengamati setiap lekuk tubuh jasad yang belum dipindahkan. "Tertusuk dibagian punggung dengan dalam. Pisau dapur 10 cm kah?" asumsinya.

Henz menggeleng. "Bersihkan lokasi," katanya. Segera polisi-polisi bergerak memasukan jasad itu ke dalam bag dan membawanya pergi untuk diotopsi.

Henz sendiri mematung. Mencoba menjernihkan benaknya. Menunggu pekerjaaan rekan-rekan polisi yang mencari bukti.

"Tidak ada sidik jari yang tertinggal, Henz." Salah seorang polisi dengan peluh berkeringat menghampirinya dengan raut pasrah.

Henz mengeluarkan buku kecil berwarna biru. Mencoret-coret sesuatu untuk menjernihkan pikirannya.

"Ayo Henz. Biarkan petugas otopsi yang bekerja." Polisi itu berkacak pinggang. "Sekolah."

Henz mengendus sebal. "Apa pentingnya sekolah kalau dibandingkan dengan ini, Kak?" keluhnya.

"Tentu sama pentingnya," sahut Vandy, rekan Henz yang terpaut lima tahun lebih tua.

Henz berjalan dengan tergersa ke mobil, Vandy mengikuti dan segera melajukan mobil membelah jalan raya dengan cepat.

"Dasar pembunuh aneh," gumam Henz sebal. "Apa coba motivasimu membunuh?"

Mobil itu berhenti disebuah rumah kecil yang jauh dari keramaian kota. Henz turun dari mobil. Kakinya melangkah masuk dengan cepat. Lima menit, ia sudah berdiri diambang pintu dengan seragam sekolah lengkap dan tas ransel dipunggungnya.

Sementara itu Vandy begerak memasukan mobil ke garasi dan menggantikan mobil kepolisian dengan mobil samarannya.

Rambut dan mata birunya berganti mata hitam segaris yang cocok dengan kulitnya yang putih. Ia berlari kecil dan segera masuk ke dalam mobil di garasi. Mobil hitam mengkilat itu melesat dan memutar arah untuk pergi ke sekolah.

"He--ah. Reynand. Udah ngerjain pr?" Vandy melirik Reynand yang asik membuka buku pelajaran.

"Nggak ngerjain. Lagipula jam pelajaran yang ada prnya udah selesai," katanya ringan.

"Kamu tuh harus rajin juga," nasihat Vandy bak kakak yang perhatian pada adik nakalnya.

"Pasti ngumpulin kok," Reynand tersenyum lebar. "Pinjem sama sebelah gue juga bisa."

"Dasar kamu ini." Vandy menggeleng. Menyerah menasehati bocah ajaib satu itu.

"Hanya pekerjaan yang menarik perhatianku. Rumus-rumus ini membosankan." Reynand menguap satu kali. Menahan kantuk karena ia bangun subuh sekali hari ini.

Mobil mereka melewati pos keamanan sekolah tanpa omelan satpam. Mengapa? Karena pemilik sekolah ini satu mantan atasan mereka. Jadi ia sudah amat tahu pekerjaan Henz alias Reynand.

Reynand turun dengan tergesa. Berlari ke kelas dan membuka pintu begitu saja.

"Kamu itu," Guru matematikanya itu memandangnya garang. "NIAT SEKOLAH NGGAK SIH? tangan lentiknya segera menarik telinga Reynand dengan keras.

Reynand meringis. "A-ampunn, Bu!"

Teman-temannya sekelasnya tertawa tak terkecuali Tamara yang senang sekali menyaksikan 'mahluk menyebalkan' itu diomeli guru galak.

Reynand berjalan ke tempatnya setelah guru itu pergi keluar kelas. "Perasaan harusnya udah istirahat eh," gumamnya.

"Lah iya emang udah. Lo kayak nggak tau Bu Fani aja. Dia 'kan suka ngambil jam istirahat kita buat belajar." Bibir Tamara mengerucut sebal. Ia segera menutup buku matenatika dan memasukannya ke tas dengan kasar.

Reynand menarik kursinya. Meraih buku tugas Tamara yang sudah dikoreksi dan menyalinnya.

"EEEH?!!"

Reynand meletakan telunjuknya di bibir Tamara kilat.

"Diem lo tam. Gue lebih butuh ini daripada lo," cerocos Reynand cepat.

Tamara mengigit jari Reynand dan memalingkan wajah. Kesal.

"Aw!" Reynand meringis. "Sebentar aja kok gue pinjemnya." Kemudian ia melanjutkan aksi menyalinnya lagi.

"Selesai!" Reynand menggeser buku tugas Tamara kembali ke asalnya.

Matanya melirik Tamara yang enggan menatapnya. Ia merajuk. Lucunya. Seperti anak kecil.

Reynand bangkit dan keluar untuk menyerahkan tugasnya pada Bu Fani. Tamara menatap buku tugasnya dan memasukannya ke tas.

Diliriknya kursi Aila yang kosong karena ia sedang ke kantin bersama temanya yang lain. Tamara menghela napas. Sepi juga, batinnya.

Tamara melipat kedua tangannya diatas meja dan meletakan kepalanya. Kantuk menyerangnya, yah mau bagaimana lagi sepertinya Tamara harus terbiasa dengan kantuk seperti ini.

Ketika matanya terpejam. Terlintas sosok Kak Ara bermain dengannya. Gadis berambut panjang hitam itu menatapnya kedua kedua mata bundar hitam yang kelam namun hangat.

"Mmmm ... Kak Ara."

Sosok kakak dalam angannya itu memeluknya erat. "Kakak juga."

Dingin tiba-tiba dirasa Tamara. Perlahan sosok kakaknya hilang lenyap begitu saja. "KAKAK!" Tamara segera membuka matanya lebar.

Napasnya tersenggal. Tangannya gemetar. Tidak. Ia tidak mau kakaknya menghilang dari hidupnya. Tidak boleh.

Reynand mengangkat satu alisnya. Ia segera menyodorkan eskrim cokelat pada Tamara. "Nih makan. Makasih bantuan tugasnya tadi."

Tamara tanpa berpikir panjang mengambilnya dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Namun, ketika makanan itu menyentuh mulutnya dan memberi sensasi dingin. Paniknya seketika menguap begitu saja.

"Oke," jawab Tamara pada penyataan Reynand.

Reynand sendiri tengah menjilat eskrim yang sama disampingnya dengan acuh. Baguslah sudah nggak merajuk lagi, batinnya. Reynand terkekeh. Asik sekali membuat marah dan kemudian melihatnya tenang begitu saja ketika diberi eskrim.

"Kenapa lo ketawa-ketawa? Gila ya?!" Tamara melirik takut Reynand.

"Ngetawain mahluk kayak lo yang lumer banget sama eskrim." Reynand mejulurkan lidahnya.

"IH!" Tamara kembali berteriak. Tidak memperdulikan tatapan risih dari anak-anak kelas yang tidak pergi ke kantin.

Sejenak Reynand lupa akan tugasnya sebagai Henz, Si Pencari Data Kepolisian Kota. Sedangkan, Tamara sejenak lupa akan kerinduannya pada kakaknya yang membuatnya gila.

10/03/2018
N

EXT SATURDAY >>>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top