[32] Wawancara Fiaz

X membawa Tamara dan Elysia ke restoran di pusat kota. X kembali menyamar menjadi Theo dan Tamara menjadi Ara. Sedangkan Elysia tidak menyamar. Anggap saja dia kerabatnya jauhnya Ara. Itu sudah cukup menjelaskan kedekatan mereka dan canda tawa yang terlontar sepanjang acara makan.

"Kakak kangen sekali padaku ya?" Elysia menggoda Tamara jahil.

"Apa sih kamu ini, buat malu saja." Tamara memasuskan pecahan pancake ke dalam mulutnya.

"Kalian ini tidak bisa diam barang sebentar ya? Makan saja berisik," gerutu X menahan malu. Ia menyesal membawa dua anak kecil dalam misinya.

Tamara malah tertawa ringan. "Maaf."

X meletakan garpu dan pisaunya. Ia sudah selesai makan, berbanding terbalik dengan Tamara dan Elysia yang bahkan belum menghabiskan setengahnya karena banyak bicara. X meneguk minumannya.

"Ngomong-ngomong Theo. Aku tidak mengira kamu setampan ini lho," celetuk Elysia yang membuat X tersedak.

"Apa sih kamu ini?" X membersihkan mulutnya.

Elysia tertawa. "Maaf."

"Ck. Kalian sama saja." X menggerutu sebal.

Tamara dan Elysia menyelesaikan makan mereka dalam sunyi. Sementara benak X mulai menyusun rangkain latihan untuk Elysia hari ini. Fisiknya oke, jadi seharusnya dia tidak perlu latihan yang lama seperti Angel, batinnya.

"Kami sudah selesai," kata mereka bersamaan yang membuat lamunan X buyar.

"Ah, baiklah, mari kita pulang." X bangkit dari kursinya dan beranjak membayar sarapan mereka.

Tamara dan Elysia mendahului berjalan ke mobil X dan bercanda lagi beberapa kali.

"Kau tahu, Kak? Ulangan matematika kemarin sulit sekali," keluh Elysia kesal.

"Aku juga tidak bisa matematika, apalagi ekonomi." Tamara melempar memorinya. "Aku kerjaannya hanya menyontek temanku saja kalau ada tugas hehe."

"Ah, sayangnya aku tidak punya teman, Kak." Raut wajah Elysia mendadak lesu.

Tamara segera merangkul Elysia hangat. "Kau 'kan sekarang punya aku."

"Kakak benar." Senyum Elysia kembali mengembang.

"Ehm." X menyela pembicaraan mereka. "Kita harus segera pulang. Elysia kau latihan denganku hari ini."

---

Kaylie kembali setelah sarapan beberapa menit dengan wajah riang. "Sebentar lagi terduga akan datang, jadi mari bersiap."

Henz mengangguk dan bangkit berdiri. "Baiklah. Aku akan melempar pertanyaan dan kau fokus memperhatikan dan memaparkan keanehan gerak-geriknya."

"Baik." Kaylie tersenyum simpul. "Kau detektif yang hebat, Henz. Pola pikirmu mencari celah keren sekali."

"Aku tidak keren. Angel saja belum tertangkap sampai sekarang," balas Henz dingin.

Kaylie mengangkat suaranya lagi, "Aku jadi penasaran sebenarnya berapa umurmu, Henz. Kenapa dirahasikan sih?"

"Kau tipe gadis yang penasaran ya?" Vandy menyela pembicaraan.

"Ah, maaf." Kaylie tertawa kecil. "Aku kadang tidak sadar apa yang aku katakan ketika aku bersemangat."

"Fokus saja dengan pekerjaan kita, Kaylie." Henz menaikan maskernya. Memantapkan niat dan kepercayaan ini. Kasus ini untuk diriku, bukan untuk siapapun bahkan Ayah. Aku akan menyelesaikannya demi diriku.

"Baik, mari kita pergi sekarang." Kaylie berjalan mendahului Henz dan Vandy ke ruang wawancara. Mereka menyusuri lorong-lorong dan sel tahanan sementara, sebelum akhirnya tiba di depan sebuah pintu hitam diujung lorong. "Ruang wawancara diletakan di sini agar menekan psikologis terduga sampai ke titik dasar. Tentu saja ini tidak akan berpengaruh besar pada mereka yang tidak bersalah, tapi tersangka pasti akan terbayangi rasa takut dan cemas berlebihan."

"Kau yang menyarankan hal ini, Kaylie?" Henz mengikuti langkah Kaylie masuk ke dalam ruangan. Ia disuguhi penampilan yang serupa seperti di markasnya. Tiga buah kursi yang diantaranya terdapat sebuah meja kecil yang tepat berada dibawah lampu gantung yang remang.

"Iya." Kaylie menjawab dengan penuh percaya diri. Ia mempersilakan Henz dan Vandy duduk.

Henz mendudukan diri, sementara Vandy menolaknya. "Aku tidak perlu duduk. Toh tugasku hanya mengawasi Henz. Kau saja."

"Tapi 'kan--" Kaylie merasa tidak enak. Bagaimana pun mereka adalah tamunya Kaylie.

"Kau dan Henz yang bekerja. Fokus saja degan pekerjaanmu, Detektif Kaylie." Vandy melampirkan senyum meyakinkan.

"Baiklah." Kaylie mengambil posisinya dan memejamkan matanya sekilas. Memfokuskan diri pada apa yang kan terlihat di depan matanya.

"Tuan Fiaz sudah datang, Detektif Kaylie." Seorang petugas membuka pintu ruang wawancara.

"Persilakan dia masuk." Kaylie membuka matanya. Ia melihat Fiaz mengenakan jas kebesarannya memasuki ruangan wawancara dengan sedikit gemetar.

"Kenapa aku dipanggil ke sini, Detektif Kaylie?" tanya Tuan Fiaz dengan kening berkerut.

"Duduk," perintah Kaylie. "Jangan takut, jika kau tidak bersalah."

Fiaz duduk dan menatap dua orang dihadapannya bergantian. Menunggu penjelasan.

"Kau tahu kenapa dirimu dipanggil ke sini, Tuan Fiaz?" tanya Henz mulai melempar dadu.

"Tentu saja tidak." Tuan Fiaz berkata pelan. "Aku tidak akan bertanya, jika aku tahu."

"Kau menonton berita atau membaca koran, Tuan Fiaz?" Henz menatap kedua mata itu dingin. Berusaha menjaga kontak mata dan membaca kekhawatiran di dalamnya.

"Aku sibuk menghadiri rapat sepanjang pagi." Fiaz memalingkan wajahnya, kemudian kembali menatap Henz. "Aku ini orang sibuk, Pak Detektif."

"Bukankah kau mengetahuinya?" Henz bertanya sekali lagi.

Kali ini, Fiaz bergeming sejenak. "Kau tidak percaya dengan jawabanku?" Kali ini ekspresi wajahnya berubah sendu.

"Kau mengetahuinya bukan? Kematian seorang pebisnis pendatang baru bernama Jonath." Henz mendesaknya. "Jangan berbohong pada kami. Kami tahu semua gerak-gerikmu."

"Aku tidak tahu kalau Jonath mati, dan apa maksudnya ini, kau menuduhku membunuhnya?" Fiaz terlihat menahan amarahnya.

"Aku hanya bilang, kami tahu semua gerak-gerikmu, jadi jangan coba-coba berbohong." Henz merenggangkan tubuhnya santai. "Kira-kira apa yang dilakukan pria tua sepertimu di cafe sendirian kemarin sore?"

"A-apa katamu?" Detak jantung Fiaz berhenti seketika. "Hanya karena itu kau memanggilku? Bukankah itu bukan alasan yang kuat?"

"Memang bukan." Henz bangkit dan berjalan mundur beberapa langkah. Ia mengeluarkan pistol dari sakunya dan membidik kepala Fiaz. "Aku hanya bermain judi dan mencari peluang terbesarnya."

Fiaz membeku.

"Aku bertanya padamu, Tuan Fiaz. Apa ada hutang yang belum dilunasi Jonath padamu?" Henz menatap dingin laki-laki dihadapannya.

"Ada."

Henz menarik pelatuknya. "Apa kau dendam padanya?"

"Hey bukannya i-ini tidak boleh dilakukan? Sta-statusku belum jadi tersangka." Fiaz gelagapan memandang Henz yang membidik kepalanya.

"Belum?" Henz mendekat. "Apa kau yang membunuh Jonath?"

"Bukan aku!" suara Fiaz meninggi. Napasnya mulai tersenggal.

"Kenapa bukan kau?" Kali ini Kaylie yang bersuara. Ia sudah merekam semua gerak-gerik Fiaz yang berbicara pelan, tergagap dan menghindari kotak mata barang sejenak.

"Ka-karena aku ada di rumah semalam, kalian tanya saja istriku," tuturnya.

Henz menurunkan bidikannya. "Tuan Fiaz."

"Ya?" Fiaz menghembuskan napas lega saat moncong pistol itu tidak mengarah pada kepalanya.

"Aku tidak pernah bilang padamu bahwa Jonath meninggal pagi ini dan kau sendiri tahu itu. Padahal diawal kau mengaku tidak menonton berita pagi," Henz kembali duduk. "dan diawal aku hanya bertanya padamu 'Kau menonton berita atau membaca koran, Tuan Fiaz?' jawabanmu 'Aku sibuk menghadiri rapat sepanjang pagi' itu sudah lebih dari cukup.'" Henz tersenyum dibalik maskernya. Ia menang.

"Tuan Fiaz. Anda adalah tersangka pembunuhan Jonath." Kaylie angkat bicara "dan kau akan ditahan sekarang juga."

"Tidak tunggu. Aku akan panggil pengacaraku. Kau tidak bisa menahanku! Belum ada sidang resmi yang mengatakan akulah pembunuhnya!" Fiaz berusaha membela dirinya.

Vandy segera mendekat ke arah Fiaz dan memasangkan borgol di tangannya. "Statusmu adalah tersangka setelah mereka berdua menyatakan demikian, Tuan Fiaz. Sidang hanya akan menandai waktumu dimulai dan bagaimana pengaramu buang-buang waktu membela penjahat setengah mati."

"Tidak tunggu bagaimana bisa begitu!" Fiaz masih tidak menyerah. "Tanganku bersih! Aku tidak pernah menusuknya dengan tanganku! Itu bukan aku."

"Lalu siapa?" Henz kembali bertanya.

"Khh ... " Fiaz hampir menangis frustasi. "Dia menyebut dirinya, X dan aku sudah membayarnya mahal! Kenapa malah aku yang tertangkap?"

Kaylie tertawa. "Kau yang menyuruhnya, tentu saja kau ditangkap." Kaylie bangkit dan memanggil rekan-rekannya yang lain untuk memasukan Fiaz ke dalam sel. "Ah ya, sidangmu akan berlangsung nanti malam, jadi kau boleh menggunakan telepon untuk memanggil pengacaramu."

Sementara itu, Henz dan Vandy bergeming.

"Dia menyuruh X, sedangkan tanda itu--"

"Berarti mereka bersekutu, Henz." Amarah Vandy naik ke kepala. "X adalah penjahat licik, Henz. Wajar saja jika dia mencari bawahan untuk dijadikan tumbal. Dahulu, saat Ayahmu menanganinya, hal semacam ini juga terjadi."

23/06/2018
A/N : Pst ini scene terkerennya Henz a.k.a Reynand yang bisa Icha tulis
Mwehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top