[30] Kota Gradenia
Selang perjalanan satu jam, mereka tiba di kota Gradenia. Vandy segera menggunakan peta digital untuk menuju lokasi kejadian. Reynand kembali mengenakan maskernya. Ia harus menyamar dengan sempurna sebagai Henz. Vandy menyalakan sirene karena lalu lintas mulai padat. Lima belas menit, mereka tiba di lokasi dan Henz segera turun dari mobil.
"Hallo Detektif Henz," sapa seorang wanita yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam panjang. "Aku Kaylie, pekerjaanku sama sepertimu."
"Kau membutuhkan data dariku bukan?" Henz menyerahkan catatan berisi data dan asumsi, serta foto-foto tanda pada korban sebelumnya.
Kaylie tampak senangg mengambil catatan Henz, ia segera menyusuri setiap data dengan cepat. "Ah, kami juga perlu asumsimu. Silakan masuk ke dalam, Henz." Kedua mata biru itu memandang Henz yang lebih pendek darinya.
Tanpa menjawab, Henz segera masuk ke dalam rumah yang cukup besar. Ia mendekat pada jasad korban yang belum dipindah. Darahnya dibiarkan menggenang diatas marmer mahal. "Ditusuk tepat di jantung agar cepat dan lolos dari petugas keamanan ya?" gumamnya saat melihat lubang di dada kiri.
"Ada sidik jari yang tertinggal?" tanya Henz pada Kaylie yang baru masuk ke dalam ruangan.
Kaylie menggeleng. "Kami tidak menemukan apapun. Dia memang handal ya?"
Henz mengangguk. "Siapa dia?"
"Ah, dia Jonath. Seorang pengusaha muda yang usahanya baru saja melejit." Kaylie membuka catatannya. Ia membaliknya sekali lagi. "Diketahui dia adalah orang yang menjaga hubungan antar sanak saudara dengan baik. Jadi sudah kupastikan tidak ada keluarga yang membencinya."
"Baru saja sukses? Pasti banyak yang tidak suka padanya." Henz menggumam. "Apa dia berasal dari keluarga kaya?"
"Tidak. Dialah yang membuat keluarganya kaya." Kaylie menghela napas. "Tapi aku tidak dapat menemukan siapa perusahaan rivalnya. Karena kekayaannya yang baru saja naik tidak sampai menandingi perusahaan senior kelas atas."
"Kau tidak bisa menemukan satu nama ya?" Henz mulai memutar otaknya. Memaksa setiap sel otaknya bekerja dengan baik, karena ia akan terus mencari celah dari penjahat satu ini.
Kaylie segera mengangguk. "Benar. Jika kita harus mewawancara semua perusahaan di Kota Gradenia itu akan sangat memakan waktu dan sulit." Kaylie menutup catatannya. Kedua mata biru itu menatap Henz. "Apa mungkin ada kerabat yang membencinya? Aku belum menelusurinya."
"Kau tahu di mana dia meminjam modal untuk usaha?" tanya Henz yang membuat Kaylie bergeming sesaat.
"Ah iya! Bagaimana bisa aku tidak terpikir ke sana?" Kaylie segera bergerak meninggalkan ruangan. Mencari semua data dari teman-teman Jonath dan tetangganya atau siapapun yang pernah berinteraksi dengannya.
Henz berdiri bersandar pada dinding. Menunggu detektif itu selesai mencari data. Lagipula dia tidak tahu apapun tentang kota ini. Dia hanya membantu berbagi data yang ia punya itu saja. Kaylie kembali satu jam berikutnya. Henz hampir saja tidur berdiri jika Vandy tidak mengajaknya berbicara basa-basi.
"Aku menemukannya, dan tidak ada transaksi pembayaran hutangnya di dalam data bank." Kaylie berkata dengan wajah cerah. "Aku akan menghubunginya segera untuk wawancara di markas."
"Tidak tunggu," cegah Henz yang membuat Kaylie heran.
"Kenapa tunggu? Bukannya lebih cepat lebih baik?" Wanita berusia dua puluh dua tahun itu menggerutu kesal.
"Cari tahu jadwalnya seminggu terakhir. Apakah dia pergi ke tempat ganjil pada waktu senggang atau bahkan saat jam kerja." Henz berkata mantap. Ia harus mencari fakta untuk dilemparkan pada terduga agar tidak dapat mengelak.
Kaylie mengangguk setuju dan segera bersiap meninggalkan lokasi untuk mencari data ke perusahaan tersangka.
"Ah ya, Henz kau lebih baik menunggu di kantor. Area bersih 'kan?" Kaylie menoleh pada Henz sesaat ketika hampir keluar.
----
Tamara baru saja terbangun dari tidurnya saat mendengar suara televisi dari ruang tengah. Ia mengucek matanya dan menguap beberapa kali. "Pagi, X."
X yang sedang duduk di sofa tersenyum. "Bayarannya sudaha masuk lho. Mau makan enak hari ini?"
"Makan enak?" Tamara merenggangkan tubuhnya seklias dan mendudukan diri sebelah X.
"Ah, kau mau uang fisiknya saja ya?" X agak kecewa dengan respon anak didiknya yang tidak bersemangat.
"Aku suka apa saja kok." Tamara menguap lagi.
"Capek ya kerja malam-malam?" X bertanya seraya menyenderkan kepala Tamara ke bahunya.
"Biasanya tidak secapek ini kok. Sebenarnya Tamara sangat kurang tidur semalam karena terlalu senang berbincang hangat dengan kakaknya. Pikirannya dipenuhi kakaknya dan rasa bahagia melonjak dalam dadanya.
"Ayolah, aku 'kan baru saja tiba. Masa nggak mau makan enak, Kak?"
Suara tak asing itu memasukin indra pendengaran Tamara. Membuat kedua matanya melotot sempurna. Kepalanya refleks menoleh ke asal suara.
"Artur!" Kakinya segera berlari menubruk adik kelas yang memiliki tubuh lebih besar darinya. "Kenapa kau bisa di sini?"
"Tentu saja X menjemputku, Kak." Elysia tertawa lepas. "Panggil Elysia saja, Kak. Aku sudah memberi tahu X namaku."
"Kenapa kau beri tahu?" Tamara mengecilkan suaranya.
"Kenapa ya?" Elysia membalas pelukan kakak kelasnya itu.
"Aku agak terkejut saat melihat Artur tidak dalam mode penyamarannya secara jelas, dan karena rasanya aneh jadi dia memberiku namanya." X menyela pembicaraan. Ia mendengar jelas semuanya.
Tamara melepas pelukannya. Kedua mata cokelat itu memandang X kesal. "Curang. Kau saja tidak memberi tahu nama aslimu pada kami."
X tertawa. "Kau juga tidak, Angel."
"Aku akan beritahu, jika kau beritahu." Tamara mengerucutkan bibir.
X menghentikan tawanya. "Tak apa, aku suka memanggilmu Angel."
"Ehm." Kali ini Elysia menyela pembicaraan. "Kak, kau tega sekali membiarkanku ulangan akhir sendirian," keluhnya.
Tamara sontak tertawa. "Maaf ya, itu saran dari X."
"Aku hampir mati karena belajar tahu, Kak."
Tamara menghentikan tawanya. "Yang penting sudah lewat. Kau punya kamar?"
"Tentu saja, di samping kamar Kakak." Elysia melebarkan senyumnya. "Kakak tidurnya pulas sekali sampai tidak sadar aku datang."
"Itu salah, X yang terlalu mahir bersembunyi jadi aku tidak bisa mendengarnya," katanya sambil melirik X.
"Hey-Hey! Itu 'kan karena kamu yang tidur seperti beruang. Kenapa jadi salahku?" X menyahut tidak terima.
Dada Tamara terasa hangat lagi. Suasanya seperti di sekolah, seperti Aila dan Reynand. Ah, Aku kangen Reynand yang menyebalkan itu 'kan jadinya. Sial. Dia baik-baik saja 'kan ya? batin Tamara.
22/06/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top