[3] Sebuah Cara untuk Pertemuan
Mentari bersinar, awan-awan berjalan sudah sepatutnya terjadi. Terbangun di pagi hari juga sepatutnya terjadi, tapi gejolak ini, tidak sepatutnya terjadi.
---------------------------------------
Tamara membuka matanya. Tangannya menabrak tubuh seorang gadis cantik yang masih terjebak dalam mimpi. Ekor matanya melirik jam, pukul 5 pagi.
Ia bangkit. Matanya memandangi sahabatnya yang baik hati menemaninya sampai menginap. Senyumnya terbentuk. Tamara merenggangkan tubuhnya sesaat dan berhenti saat memandangi lukanya yang dibalut perban.
"Tamara bodoh ya kak?"
Tamara berjalan, beranjak membersihkan diri. Membiarkan air shower dingin mebasuh tubuhnya.
"Tam? Lo udah bangun?" Aila mengucek-ngucek matanya. Ia menguap satu kali. Masih mengantuk.
Tamara mematikan keran. Mengenakan seragam sekolah dengan atribut lengkap dan melangkah keluar.
"Sana mandi!" Ia melemparkan handuk ke muka Aila.
Aila yang ngantuk langsung melotot dibuatnya. Tangannya segera meraih handuk itu dari wajahnya dan berteriak. "TAAMMM!!!!"
Tamara tertawa, kemudian meninggalkan Aila bersiap di kamarnya. Kakinya melangkah menuju dapur. Tangannya mulai meraih sereal yang masih tersisa satu box kosong.
Ia segera mengambil dua mangkuk dan sekotak susu. Kemudian menyiapkan bahan-bahan itu menjadi dua porsi sarapan untuk memulai hari.
Kegiatan itu berlangsung baik. Hingga akhirnya sinar matahari yang terpantul dari benda tajam yang tergantung mengalihkan pandangannya.
"Tam!" teriak Aila saat keluar dari kamar dengan atribut seragam lengkap.
Tamara menunduk. "Maaf."
Aila mendekat. "Lo yakin nggak apa-apa masuk sekolah?"
Tamara menggeleng. "Gue nggak tau." Ia mendudukan diri di meja makan dan mulai melahap sarapannya.
Aila mengikuti. "Kalau lo nggak mau masuk dulu nggak apa-apa. Gue temenin," tawar Aila dengan senyuman hangat seperti mentari.
Tamara menggeleng. Senyumnya terbentuk. "Nggak apa, Ai. Gue sekolah deh."
Aila duduk, memulai sarapannya. "Gue selalu bersama lu kok, Tam. Kita 'kan sahabat selamanya, ingat?" Aila memamerkan gelang yang Tamara beli empat tahun lalu saat SMP.
"Kita sahabat selamanya ya!" jerit Tamara dengan wajah riang seraya memakaikan gelang tali warna-wani itu pada pergelangan kiri Aila.
Aila tertawa. "Iya!" Tangannya meninju udara bebas.
----------------------
Suara jeritan tangis itu memecah hening. Teriak minta tolong segera berlomba-lomba memenuhi atmosfer.
Tak lama berselang, sirine mobil polisi dan ambulans datang bersamaan.
Jalan raya yang senggang itu segera memadat. Orang-orang terhambat, beberapa malah berhenti melihat. Sesosok pria dewasa dengan kendaraan roda dua tertabrak oleh mobil yang ugal-ugalan.
Pengemudi itu keluar dengan tawa ringan.
"Ahahaha. Ada apa ya? Kenapa semua orang ramai? Saya ganteng ya?"
Ia mabuk berat. Kemeja yang ia kenakan acak-acakan dan bau alkohol tercium. Wajahnya yang tertawa itu tampak dipenuhi masalah.
Namun, kondisi korban lebih kacau. Ia terhempas seratus ratus meter dari motor. Kepalanya sempurna membentur trotoar jalan dan mengeluarkan darah segar yang berbau amis. Ia tampak sekuat tenaga menahan kesadarannya yang hampir lenyap.
Tim medis segera datang dan membawanya dengan ambulans, sedangkan pelaku berkemeja mabuk itu dibawa oleh pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan aksinya.
"Hanya kecelakaan karena pengemudi yang tidak benar, Henz." Seseorang polisi menatap lurus tempat kejadian perkara dari dalam mobilnya.
"Benar. Tidak ada yang bisa aku kerjakan sekarang." Pemuda berambut biru itu menghela napas kecewa.
"Kau ini ada-ada aja Henz. Bukannya bersyukur nganggur malah cari kerjaan. Nggak capek kamu mikir terus?" Polisi itu menggeleng. Aneh sekali.
Henz tersenyum. "Kalau tidak ada pekerjaan, tidak seru, Pak." Ia mengenakan masker penutup wajahnya dan keluar dari mobil dengan santai. Mencari pekerjaan. Siapa tahu ada jejak lain seperti pengerusakan mesin atau tindakan rekayasa oknum lain yang ingin lolos dari kejaran polisi.
"Kau tidak akan tahu. Sebelum kau melihatnya dan mengalisanya sendiri." Henz mendekat ke tempat kejadian perkara yang sudah dibelikan garis polisi tentunya.
Matanya bergerak, tangannya bekerja, logikanya berputar. Inilah pekerjaannya.
"Sepuluh menit, Henz. Kau lupa ya?" Polisi itu melipat tangannya di depan dada. "sekolah."
Henz mengangguk sebagai jawaban. Sepuluh menit berlalu. Ia tidak mendapatkan keanehan apa-apa. Ia menghela napas.
"Selesai. Area bersih," katanya setiap selesai memeriksa dan tidak ada kejanggalan.
Henz berjalan kembali ke mobil. Polisi itu mengikuti. Setelah siap, mobil itu segera membelah kerumunan massa yang masih penasaran.
"Tam! Lo ngelamunin apa sih?" Aila menggoyangkan tubuh Tamara yang daritadi mematung memandangi kecelakaan yang secara kebetulan terjadi di depan mata mereka.
Tamara tertawa. "Itu caranya." Matanya menangkap bayangan hitam yang melesat cepat mengikuti mobil ambulans. Bayangan hitam yang sangat familiar. Kakaknya.
"Tam!" Aila mencubit lengan Tamara.
"Aw. Apaan, Ai?" Tamara mengelus lenganya yang perih.
"Lo mikirin apa?" Aila memandangnya dengan khawatir. Takut-takut sahabatnya berpikir pendek dan menabrakan diri ke mobil seperti itu.
Tamara melebarkan senyum. "Bukan apa-apa kok, Ai."
Mobil Aila pun segera membelah kerumunan massa. Berangkat ke sekolah.
Ada debaran didada Tamara. Ia senang sekali. Ia memiliki cara untuk menemui kakaknya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Senyumannya mengembang. Aila bergindik ngeri memandang sahabatanya.
"Tam?"
"Ya?" Tamara tersenyum bahagia memandang Aila.
"Tidak apa." Aila tersenyum. Setidaknya sahabatnya bahagia. Pikirkan saat ini. Yah. Saat ini.
Mobil Aila berhenti. Mereka segera turun. Bangunan bernama Xeane Senior High School megah berdiri. Para murid dengan seragam putih yang terbalut jas hitam kebesaran sekolah dipadukan dengan rok selutut atau celana panjang cokelat.
Hembusan angin memainkan rambut cokelat sebahu Tamara. Senyumannya mengembang. Ada gelora bersemangat membara di dadanya. Hari ini, dia harus bisa.
Sekolah adalah tempat di mana banyak orang berkumpul dan tidak mungkin tidak ada satupun dari mereka yang mati hari ini.
Kesempatan. Tamara perlu kesempatan itu untuk bertemu dengan kakaknya. Ia tidak mau sendirian di dunia ini. Dia mau keluarganya. Dia mau kakaknya.
Itu saja.
Tamara melangkah ringan masuk ke sekolah.
"Aila! Ayo jangan lama-lama nanti telaatt!" serunya tanpa menoleh kebelakang.
Aila segera berlari kecil mensesajajarkan langkah dengan Tamara. "Iya-iya bawel. Sabar dong, Tam."
Mereka melangkah cepat melintasi lorong. Berbelok masuk ke dalam salah satu ruang kelas tingkat akhir dan menduduki kursi di sana. Tamara dan Aila hanya terpaut beda satu kursi pada denah.
Menyenangkan.
"Kemana lo kemaren?" Suara laki-laki sipit yang menyebalkan masuk ke indra pendengaran Tamara. Teman semejanya yang jahil setengah mati padanya. "Gue 'kan jadi nggak punya bahan percobaan."
Tangannya merogoh saku, mengeluarkan serangga yang mengamuk di dalam toples. Serangga kecil gendut berbulu yang senang merayap di pohon-pohon dan memakan daunnya. Ulat.
Tamara menatap Renyand lurus. Dasar menyebalkan, batin Tamara.
"Ah? Lo udah nggak takut pada dia?" Reynand dengan sengaja mendekatkan toples itu pada Tamara yang bahkan masih beridiri di dekat meja mereka.
"IIIH REYNAND AWASIN NGGAK!" jeritan Tamara segera terlempar saat mata kedua ulat itu menatap Tamara dengan seram (hanya untuk tamara sih) dan mendekat seolah ingin menggapainya. Seluruh anak kelas menggelengkan kepala, mereka sudah hapal keributan akibat dua teman sebangku itu.
Reynand tertawa. Malahan lidahnya menjulur bahagia.
"Sialan." Tamara menepis toples ulat itu dengan segenap keberanian dan duduk acuh di kursinya.
Hiburan yang cukup menyenangkan, batin Reynand. Senyumnya mengembang. Namun surut saat melihat raut wajah Tamara yang mulai meredup.
Lo kenapa? batinnya. Reynand meletakan pipi kanannya di meja demi melihat wajah Tamara lebih jelas.
Tamara menggeleng. "Apa sih? Mau isengin gue lagi?"
Reynand diam. Namun, tak ada maaf yang keluar dari mulutnya. Ia termenung. Menyadari sesuatu yang ia lupakan.
Beberapa saat berselang lenggang.
"Nggak kok. Kenapa? Kangen gue ya? Gue emang ngagenin, Tam." Reynand menatap Tamara dengan kedua mata membulat.
Tamara tertawa. "Kiamat, Nand. Kalau gue kangen sama lu."
Iya. Lebih baik seperti ini. Anggep aja lo nggak tahu kalau bokap Tamara meninggal tertabrak truk kemarin, batin Reynand.
10/02/2018
Next Saturday
>>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top