[22] Rekaman
Tamara bergeming. Ia mematap nanar tubuh sahabatnya yang terkulai tanpa tenaga didekapannya. "Selamat jalan, Aila." Ia menahan air matanya mati-matian.
Tangannya mengelus wajah Aila yang kaku. "Cantik."
Ia mengangkat wajahnya, berpaling pada kakaknya yang menatap datar didepannya. "Aku 'kan sudah bilang, jangan bermain dengan kematian."
Tamara tersenyum simpul. "Aku senang kok ketemu kakak."
Ia meletakan tubuh Aila yang mendingin. Mendekat pada kakaknya dan berhenti ketika wajah mereka hampir bersentuhan. Angin dingin memenuhi ruangan. Melenyapkan suara sayup-sayup pembicaraan ramai orang-orang diluar sana.
Tamara mematung. Mata cokelatnya menatap bola hitam Laura lamat-lamat.
Ia jatuh dalam rasa rindu.
Bola mata hitam yang senada dengan ayah membuatnya makin jatuh berkali-kali.
"Kakak."
Laura bergeming. Membiarkan adiknya larut dalam khayal. Menyisakan hening diantara mereka.
"Darren kamu di mana sayang?"
Suara itu membuat Tamara tersentak. Derap langkah kaki yang kian mendekat terdengar. Tamara segera berlari secepat mungkin berusaha meninggalkan lokasi.
Pintu terbuka.
Tamara masih di sana, hampit melompat turun dari jendela.
"AAAAA!! SIAPA KAMU!?" Wanita sosialita yang memiliki periasan disekujur tubuh itu berteriak panik. Perlahan air matanya jatuh menghapus setiap riasan tebal yang dipadankan ke wajah.
Laura melesat cepat. Meraih tangan adiknya dan menghilang.
----
Mobil kepolisian segera merapat ke salah satu rumah pengusaha kaya yang sedang mengadakan pesta. Suara sirene bersaut-satuan membelah keramaian yg ada.
Seseorang dengan pakaian paling mencolok keluar pertama kali. Ia menjadi pusat perhatian karena dandanan yang begitu wah dengan warna biru yang senada.
"Henz." Vandy melepaskan topi, diikutin petugas polisi yang lain sebagai rasa bela sungkawa.
Seorang ibu meraung-raung menatap jasad anaknya yang tergeletak dengan leher berlubang dalam posisi tengkurap.
Henz menatap jasad itu dingin. Namun, jantungnya berhenti berdetak saat melihat jasad yang tergeletak kaku disebelahnya.
Henz kehabisan kata-kata. "A-aila?" gumammya dibalik topeng biru miliknya.
Vandy yang menyadari hal itu merangkul Henz. Mengingatkannya bahwa sandiwara harus berjalan. Henz segera bergerak cepat, menyisir lokasi dan diikuti segenap petugas lain.
Cara korbannya mati sangat familiar bagi Henz. "Angel of death lagi?"
Semua polisi bergeming.
Henz kembali mengedarkan pandangannya. Para pertugas mulai memberi kode satu sama lain bahwa tidak ada satu pun jejak yang tertinggal (lagi) cukup membuat Henz frustasi.
Par petugas medis yang baru tiba segera mengangkut kedua mayat itu ke dalam mobil putih dan membawanya pergi untuk otopsi.
Henz melirik sosok laki-laki yang sering ia lihat disekolah. Ayah Aila yang hanya bergeming melihat jasad putrinya dibawa pergi. Tatapannya kosong. Ia menyesal. Henz dapat melihat itu dari tatapan matanya.
Henz mati-matian menahan emosinya. Kenangannya dan obrolan ringan bersama Aila mendesak memorinya. Membuat Reynand menatapnya seperti melihat televisi yang menayangkan sederet adegan manis.
Henz menggeleng pelan. Berusaha mengembalikan kesadarannya yang sejenak hilang dan saat itu juga, ia melihat satu titik jejak yang semoga tidak ia hapus kali ini.
---
Laura membawa Tamara berteleportasi tepat ke depan kediaman X diluar kota.
"Kakak ... menyelamatkan aku?" Tamara memeluk Laura erat. Perasaan haru membanjiri dadanya.
"Tidak." Kemudian Laura menghilang terbawa angin dingin.
"Persis seperti masa lalu ya, Kak." Tamara melangkah masuk ke dalam rumah besar dengan halaman belakang luas tempat X tinggal dan melatihnya.
Ia masih membawa haru dalam dadanya. Senyumannya terukir lebar saat membuka pintu rumah. X berdiri di sana menunggunya sambil membaca buku novel romansa yang sama sekali tidak cocok dengan aura misteriusnya.
"Kau menungguku, X?" tanya Tamara yabg membuat X langsung mengngkat kepala.
"Iya." X mendekat pada Tamara dan memincingkan mata dengan penuh kecurigaan.
"Ada apa ya, X?" Tamara refleks melangkah mundur.
X berhenti mendekat dan tersenyum. Ia meraih laptop putihnya dari atas meja dan menampilkan video berdurai lima menit yang membuatnya tercekat. "Kamu bicara dengan siapa?"
Tamara mengigit bibirnya. "Dengan seseorang yang tidak terlihat."
"Siapa?" X menatap Tamara dengan curiga. Ia tidak mau memperkerjakan orang dengan gangguan jiwa atau semacamnya.
Tamara bergeming sejenak. Membiarkan sel-sel otaknya bekerja. Tamara berasumsi, karena X bertanya, maka tidak ada penyadap suara di sana. "Hanya orang asing."
X menghela napas. Tubuhnya rileks dan senyumanya kembali mengembang. "Oke."
Tamara mengangguk pelan. Sepertinya keputusanku baik, batin Tamara.
Tamara berlalu pergi meninggalkan X yang tertawa kecil memandangnya. "Lihat anak kecil itu. Sok pintar sekali."
----
Henz menatap layar televisi itu tanpa berkedip. CCTV itu menampilkan semuanya. Bagaimana Aila diseret paksa oleh laki-laki bejat itu dan hampir diperkosa.
Henz menatap napas setiap kali melihat bahu mungil itu ketakutan. Sialan, geramnya. Setidaknya Henz bersyukur laki-laki bejat itu sudah mati.
Emosinya naik ke ubun-ubun saat laki-laki itu mencekik Aila sampai tubuhnta terangkat. Aila sekarat kehabisan napas, tubuhnta kejang beberapa saat sebelum akhirny kehabisan tenaga.
Selang beberapa detik matanya terbalak. Seorang gadis berpakaian gaun pesta berwarna hitam dengan mata dan rambut senada melompat masuk dari jendela.
Gadis itu melotot marah, dan segera melempar pisau dari sepatunya yang mendapat tepat dileher laki-laki itu. Gadis berambut bergelombang itu menangkap tubuh Aila dan megelus rambutnya.
Aila memandangnya dengan senyuman lebar dan membincangkan sesuatu, sebelum matanya tertutup sempurna.
"Khhh ...." Henz mengangkat wajahnya. Mempertahankan topengnya agar tidak basah.
Vandy dengan cepat berusaha mengubah fokus Henz. Ia memperbesar sosok gadis dengan gaun hitam itu dan mengcopy rekaman CCTV ini ke dalam flashdisk kepolisian.
Henz kembali meluruskan kepalanya. Menatap gadis bergaun hitam itu lamat-lamat.
"Ternyata begini rupamu, Angel."
Vandy merangkul Henz erat. Berusaha menghibur seseorang yang sudah seperti adik kandungnya sendiri dan Henz menerima sentuhan itu dalam diam.
"Aila. Kau pasti sudah bahagia ya di sana?" gumamnya tanpa suara. Setidaknya, hal terakhir yang Henz lihat direkaman itu adalah senyuman bahagia Aila jadi Henz akan mengikhlaskannya.
Baru saja merasa lega, Henz kembali dihantam badai. Bagaimana menjelaskan ini pada Tamara? Apa dia akan menerimanya?
10/06/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top