[21] Hal yang Didambakan Aila
"Kenapa harus dibunuh?" Tamara melontarkan pertanyaan yang menganggu benaknya. Memangnya Aila segitunya menganggu?
"Bukan menganggu." X menjawan pertanyaan dalam benak Tamara. "Kau tidak lihat dia menderita?"
"Dari mana kau tahu dia menderita?" Tamara memincingkan mata.
"Tentu saja aku tahu. Dia dapat tekanan dari ayahnya dan selalu lari ke kamu bukan?" papar X yang membuat Tamara memutar memorinya.
"Iya. Lalu?"
"Jika sekarang dia ditekan lagi dan kamu tidak ada di sisinya. Bukankah itu penderitaan yang luar biasa?"
Tamara terdiam. Itu benar Aila pasti sangat menderita kehilangan Tamara.
"Dan Angel. Kau tidak bisa ada disisinya terus kedepannya. Kau akan kupindahkan kota. Membunuh orang-orang yang bersembunyi dengan kemunafikannya. Itu pasti akan sangat berat bagi Aila."
Tamara megangguk.
Ia tahu apa yang paling didambakan Aila dalam hidup. Ia tahu. Tamara mengangkat kepalanya. Menahan air matanya mati-matian.
X menarik Tamara dalam pelukan. Membiarkan air mata Tamara membanjiri bajunya.
"Ini demi kebaikannya," bisik X lembut.
Kebaikannya? tanya Tamara pada hatinya dan dia tidak menemukan sedikitpun jawaban.
---------
Aila memandang dirinya dicermin. Ia berpakaian dress selutut berwarna abu-abu dan didandani oleh Ibu dengan sangat hati-hati.
Ayahnya masuk ke dalam kamarnya dan tersenyum melihat penampilan putrinya. "Kau cantik sekali, Ai."
Aila membalasnya dengan senyuman. Tangan besar itu mengapit tangan Aila dan membawanya keluar dari rumah. Berpamitan sebentar dengan istrinya dan membawa Aila ke neraka bersamanya.
Mobil mereka melaju cepat sebelum berhenti disebuah rumah besar yang sudah ditata seperti pesta kecil yang cukup mewah.
Aila tidak tertarik dengan itu semua. Namun, ia harus mati-matian melebarkan senyum hangat untuk mereka satu persatu.
"Waah, putrimu cantik sekali," seorang wanita dewasa dengan dandanan meriah mengelus pipi Aila lembut. "Mungkin akan cocok dengan anakku."
Kening Aila berkerut. Apalagi ini?
W
anita itu melambai pada laki-laki tinggi tegap yang sedang mengambil minuman. Laki-laki itu segera menuju tempat mereka. Memberikan Ibunya segelas minuman soda dan memandang Aila dari atas kebawah.
"Kamu cantik," pujinya.
"Makasih." Aila menampilkan senyum seadanya dan membuang pandangan.
"Aku, Darren. Kamu?" Darren mengulurkan tangan.
"Aila." Aila menyambut uluran tangan itu.
Ayah dan wanita itu segera pergi bersamaan. Mereka seperti penjahatan yang saling lempar kode komunikasi dimata Aila.
"Kau sudah punya pacar ya?" Darren bertanya seenaknya.
"Bukan urusanmu." Aila berkata dingin dan mulai berjalan menjauh.
"Oh berarti belum ada ya?" Darren mengikuti langkah Aila bahkan mengapit tangannya.
Aila melepas tangannya. "Apa sih?"
"Sikap manis tadi pura-pura aja ya?" Darren tertawa. "Kau harus terbiasa dengan hidup seperti ini, sayangku. Demi bisnis. Jangan tunjukan kalau kau sedang berpura-pura pada siapapun."
"Oh?" Aila menatap pria itu lamat-lamat. Sekitar umur dua puluh tahunan. Mungkin sudah sangat berpengalaman bersandiwara di acara seperti ini.
"Kau tahu berapa kali ibuku mengenalkanku pada anak pada klien bisnisnya?" Darren berkata ringan seolah tanpa beban. "Dua puluh kali. Termasuk kamu."
"Kau pacaran dengan dua puluh orang itu?" Aila bertanya penasaran.
"Tentu saja. Tapi putus begitu saja." Darren terkekeh. "Mau coba jadi mantanku berikutnya?"
Aila tertawa. "Tidak mau."
"Kenapa? Wajahku 'kan tampan." Darren membusungkan dadanya.
Tawa Aila berhenti. "Dasar gila."
"Setidaknya aku kaya." Darren menepis jarak diantara mereka. Membuat langkah Aila terhenti. "Kau cantik. Aku suka."
Aila merinding. Ia mendorong Darren menjauh. Raut wajah Darren berubah. Matanya membulat sempurna. Aila mundur secara refleks. Darren menarik tangan Aila dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Aila berontak, tapi tak ada yang melihatnya, bahkan ayahnya pun tidak. Mereka semua tak acuh, sibuk dengan sandiwara masing-masing.
Darren menghempaskan tubuh mungil Aila ke lantai. Kemudian mengunci pintu rapat-rapat. Menamparnya dan menyeretnya masuk ke dalam kamar.
"Kau tidak percaya ketampananku?" Darren membuka kancing kemejanya satupersatu. Membuat Aila meneteskan air matanya. "Aku tidak mau membuatmu jadi mantanku sekarang."
Aila ingin lari, namun tenaganya hilang begitu saja. Mulutnya terbuka hendak berteriak, namun Darren segera menyumpalnya dengan kain. Aila berontak. Ia berusaha menendang pria gila yang telanjang dada.
"Masa gadis cantik sepertimu tidak menyukai ini?" Darren menunjuk tubuhnya yang bidang. "Aku ini calon pemiliki perusahaan ternama lho."
Aila tidak peduli. Ia ingin bebas.
Darren mengcengkram kedua tangan Aila. Menahannya agar tetap berada diatas kasur. Tendangan-tendangan Aila tidak membuatnya kesakitan sedikitpun. Aila putus asa.
Darren membuka celananya tanpa malu, membuat Aila refleks menutup mata dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya bergetar takut.
Dia mau melakukan apa?
"Masih tidak suka?" katanya dengan nada sedih. "Aku akan membuatmu menjadi milikku. Suka atau tidak."
Ia menghapus air mata Aila yang mengalir deras. "Jangan menangis dong sayang. Setelah ini kita akan jadi pasangan."
Aila menendang anunya Darren tepat waktu. Membuat pria itu kesakitasn setengah mati. Aila membuka sumpalan kain dimulutnya. "TOLOONGG AKUU!!" teriaknya dengan sekuat tenaga.
Kaki mungilnya berlari cepat meninggalkan ruangan, membuka pintu-pintu yang dikunci dan hampir berhasil keluar. Darren muncul lagi, dengan amarah yang sampai pada ubun-ubun ia mencekik Aila dan menariknya ke atas.
"Brengsek! Itu aset berhargaku tahu!" katanya sambil mempererat cengkraman tangannya.
"A-a-a-ya-h," gumamnya lemah.
Aila merasa dadanya seperti akan meledak. Paru-paru dan jantungnya berontak saat tidak mendapat oksigen yang cukup. Aila hanya bisa menangis dan membiarjan tubuhnya terkulai lemah ditangan orang gila.
Aila akan segera menemui kematian, karena orang gila ini. Kematian? Bukankah terdengar seperti kebebasan yang indah dari dunia yang kotor ini? Aila menatap wajah Darren yang sebenarnya cukup tampan. Mungkin, Aila harus berterima kasih karena Darren akan membebaskanya dari nereka ini.
Pandangan Aila semakin buram. Ia tidak dapat merasakan tubuhnya, bahkan detak jantungnya pun tidak. Kesakitan luar biasa itu berlalu, kini perlahan semuanya menggelap.
Bruk!
Bukan. Itu bukan tubuh Aila.
Aila dengan sisa kesadarannya menyadari bahwa tubuhnya dipapah seseorang yang membuat Darren jatuh dengan genangan darahnya.
Sosok itu menusuk leher Darren hingga mata pisaunya menembus sisi yang lain. Membuat matanya terbalak kaget dan mati kaku karenanya.
Aila mengangkat kedua bola matanya yang lemah. Menatap gadis bermata hitam kelam dan rambut panjang senada dengan gaun polos selutut.
"Ini 'kan hal yang paling lo dambain, Ai? Kematian?"
Aila terkejut, namun ia tak ada lagi tenaga untuk bereaksi. Matanya yang sayu hanya menatap lamat-lamar gadis yang memapahnya dengan sarung tangan untuk mengamankan sidik hari.
"Tamara?" katanya lirih sebelum seluruh tenaganya hilang dan kesadarannya lenyap.
04/06/2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top