[20] Hilang
"Paket!" teriakan seorang pemuda di depan rumah Tamara.
Matahari baru tenggelam dan Tamara membuka pintu dengan tergesa. "Dari siapa ya?"
Pria itu lima sentimeter lebih tinggi dari Tamara membuatnya harus mengangkat kepala. Mengenakan topi berwarna hitam dengan padanan kemeja putih serta celana panjang hitam.
Pria itu tersenyum lebar. Menampilkan deretan giginya yang tampak ganjil. Ia menarik Tamara ke dalam dekapan.
"Aku X," bisiknya.
Mata biru itu menangkap garis merah samar yang memutari leher Tamara. Ia mengelusnya pelan. "Kamu harus ikut aku."
Kedua mata itu menatap Tamara intens. Membuatnya larut dalam kegelapan yang terdapat di dalamnya dan tidak dapat menolak.
"Oke."
--------
Dua hari berlalu begitu saja semenjak kejadian itu. Tamara menghilang. Aila menelpon dan menghampiri rumahnya berkali-kali, namun yang ia dapat hanyalah kehampaan.
Elysia pun begitu. Ia berusaha berkali-kali menelpon partnernya itu dan memantau pencarian Aila yang setiap hari bolak-balik ke rumah Tamara dan memutari seluruh kota.
Tidak ada. Tamara lenyap begitu saja.
Reynand menegak gelas kopi ketiga di rumahnya. Malam sudah larut dan dia harus menganalisa beberapa kasus.
Reynand tersentak membaca kasus terakhir. Kasus ini dari Aila, tentang hilangnya Tamara.
"Sebeneranya ke mana kamu pergi?" Reynand bergumam kecil.
Pikirannya berkecamuk.
"Kenapa?" Vandy mengintip pekerjaannya Reynand tanpa permisi. "Temen lo?"
Reynand mengangguk. Ia menghempaskan kertas itu ke atas meja dan beranjak tidur sebentar. "Aku akan tidur. Menjernihkan pikiran."
Reynand merebahkan diri, menarik selimut dan terdiam menatap langit-langit kamar. Dadanya terasa sakit. Seperti ada rasa yang mendesak.
"Lalu nggak ada yang bisa gue jahilin dong kalau Tamara ngilang."
Rasa takut akan kehilangan menghantui.
Reynand membalikan badan. Berusaha memejamkan matanya kuat-kuat. Melupakan sejenak kasus yang membuat kepala dan hatinya sakit.
------
Bug!
Pria bermata hitam itu bertepuk tangan. "Lemparanmu akurat sekali."
"Terima kasih, X." Tamara melebarkan senyum. Walau fisiknya lemah, setidaknya dia ahli menggunakan alat.
X menyodorkan sekaleng minuman dingin yang langsung diteguk oleh Tamara. "Setelah ini latihan apa?"
X terkekeh. "Kamu semangat sekali, Angel."
Tamara mengangguk. Tentu saja dia semangat. X membawanya keluar kota dengan mobil dan memberikannya penampakan ruangan besar seperti rumah bangsawan yang penuh dengan perlengkapan senjata plus lapangan latihan pribadi yang tertutup.
Tamara menarik kursi dan mendudukan diri. X berdiri menatap Tamara dengan kedua mata birunya. Membiarkan ia larut dalam pikiran dan Tamara sibuk menerka apa yang ia pikirkan.
"Artur tidak kau ajak ke sini?" Tamara bertanya membuat X tersentak.
"Belum waktunya. Aku 'kan sedang menculikmu. Tidak mungkin aku gegabah menculik dua orang sekaligus."
Tamara mengangguk. "Lalu kapan?"
X mengelus kepala Tamara lembut. "Saat liburan semester."
Tamara mengangkat kepalanya. Menatap X penuh pertanyaan. "Kau tidak apa-apa 'kan tidak ujian kenaikan kelas?"
Tamara bergeming.
"Toh nanti aku bisa buatkan identitas palsu untukmu," lanjutnya.
Tamara memejamkan matanya sesaat. Membiarka kegelapan menjadi satu-satunya hal yang dia lihat. Daddy pasti akan marah sekali.
"Baik. Tidak apa-apa."
"Bagus. Sekarang kamu istirahat dulu. Nanti sore aku ajarkan bela diri padamu." X mengangkat tangannnya dari kepala Tamara.
Tamara segera bangkit dan pamit untuk kembali ke kamarnya. Kamar tiga kali tiga meter dengan nuasa luas dan berwarna merah itu menjadi kamarnya. Hiasan terngkorak bergelantungan di mana-mana membuat kesan mistis yang seharusnya mungkin tidak ada di sana.
Tamara merebahkan dirinya ke atas kasur. Mengitirahatkan fisiknya yang lelah. Dua hari belakangan ia dilatih X. Dia berusaha meningkatkan kemampuan fisik Tamara yang ternyata cukup lemah.
------
"Ai?" Reynand menegur Aila yang tampak kacau. Sepertinya ia pusing sekali dengan masalah Tamara yang menghilang.
Reynand juga tidak mengerti kenapa anak sebatsng kata itu lenyap tanpa jejak.
"Hallo." Aila menatap Reynand sekilas dan kembali menatap lurus ke depan.
"Tamara masih belum ada kabar?" Reynand bertanya basa-basi.
Aila menggeleng lemah. "Belum."
"Mau coba cari dikota lain?" celetuk Reynand karena ia sudah mengerahkan teman-temannya mencari disekeliling kota.
"Ke kota mana?"
Reynand terdiam. Ke mana? Ia sama sekali tidak punya dugaan kemana gadis itu pergi.
"Apa kamu kangen Tamara juga, Rey?"
"Tentu saja aku kangen!" Reynand menaikan nadanya sedikit. "Aku tidak bisa menjahili orang lagi."
"Masih banyak orang di kelas ini. Kenapa harus dia?" Aila menoleh para Reynand san menatap kedua mata itu serius.
Reynand tersentak. "Ka-karena kebiasaan mungkin."
Aila menghela napas. "Aku capek cari Tamara."
"Jangan capek dong. Tamara bukannya sahabat lo yang berharga?" Reynand menepuk-nepuk pundak Aila.
Mata Aila berkaca-kaca. "Tentu saja. Tapi dia jahat sekali ninggalin gue tanpa kabar."
"Hey jangan berkata begitu dong. Gue yakin. Tamara pasti kembali," hibur Reynand.
Aila bergeming. Ia tidak bisa lagi menerima kebohongan manis dari siapapun. Aila menghapus air matanya dan tersenyum lebar. "Semoga begitu ya."
Hari itu segera berlalu. Dua minggu lagi mereka ujian akhir. Aila berjalan keluar dari sekolah seraya bergumam. "Nanti Tamara akan kembali sebelum ujian 'kan?"
Aila menaiki mobilnya. Ia menyenderkan punggung dan memejamkan mata. Berusaha menepis pikiran-pikiran buruk.
"Sayang. Kau tidak menyapa Ayah?" Sosok laki-laki itu duduk dibelakang kemudi.
"Ah. Aku kita Ayah supir." Aila menunduk dalam-dalam. "Maaf."
"Kamu masih sibuk mencari temanmu?" Laki-laki berpakaian setelan jas formal berwarna hitam itu memandangi anaknya dari kaca.
"Kau harus banyak tidur juga. Kantung matamu cukup menganggu. Nanti malam temani ayah ke pertemuan yah. Tutupi kantung panda itu dengan riasan."
Aila bergeming.
"Sayang?"
Aila tetap bergeming. Larut dalam pikirannya yang terlalu penat. "Kenapa aku harus ikut?"
"Tentu saja agar kamu mengerti." Ayahnya berkata dingin. Tegas. berkebalikan dengan sikap hangat yang sempat ia tampilkan.
Aila muak. Namun, kepalanya terpaksa mengangguk.
----
"Kamu kenal dia?" Tanya X setelah Tamara keluar kamar untuk menyegarkan tenggorokan.
"Iya. Kenapa, X?" Tamara meraih photo candid Aila yang cantik.
"Dia terus-terusan mencari kamu. Itu agak menggangguku," jelas X yang membuat kening Tamara berkerut.
"Lalu aku harus apa?"
"Bagaimana kalau kau bunuh?" Mata birunya tampak dingin saat mata mereka bertatapan. "Kau setuju?"
03/06/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top