[18] Pergi Makan

Tamara beranjak pulang pada saat semburat orange memenuhi angkasa. Ia berterima kasih pada Elysia dengan senyuman lebar.

"Kau orang yang hebat, El," puji Tamara yang menyebabkan pipi Elysia memanas.

Dia tidak pernah dipuji seperti itu oleh siapapun. "Ma-makasih kak!"

Tamara berbalik dan berjalan melintasi trotoar. Matahari bergerak tenggelam ke barat. Perlahan cahayanya menghilang menyisakan gelap. Tamara memberhentikan langkah saat tiba di halte bus yang kosong.

Pikirannya melayang jauh. Rasa rindu kembali meluap dari dadanya.

"Kakak lagi kerja ya?"

Ia mengangkat wajahnya. Menatap matahari yang tenggelam di barat sana dengan hati yang hampa. "Kakak tahu? Aku baru tahu kalau aku ini lemah sekali."

Sebuah senyuman terukir ketika terbayang wajah kakaknya dalam benak. "Tapi rasa rindu ini terlalu besar untuk diacuhkan."

Sebuah bus berwarna merah datang dengan klakson lembut. Tamara segera masuk ke dalamnya dan mendapat kejutan baru.

"Tamara? Dari mana?" Reynand duduk di pojok kanan sisi jendela menatapnya kaget.

"Oh, lagi cari makan," karang Tamara. Untung saja tadi aku mengambil uang gajiku sedikit, batinnya.

Bis itu melaju membelah kota. Tamara memutuskan duduk disebelah Reynand yang tampak kacau seraya memeluk tas ranselnya yang tampak tak berisi. Kantung matanya terlihat jelas, membuat mata sipitnya hampir tidak terlihat dan lagi rambut hitamnya berantakan sekali.

"Reynand sendiri ngapain?" Tamara balik bertanya setelah mengamati Reyand beberapa detik dari atas kebawah.

"Oh. Cari makan juga." Reynand menyandarkan kepalanya pada jendela. Membiarkan matanya terpejam beberapa saat.

"Sakit?" Tamara menempelkan telapak tangannya ke kening Reynand. Tidak panas.

Reynand menggeleng. "Capek aja."

"Lho? Capek ngapain? Sekolah kita lagi padet?" Tamara bertanya dengan kedua mata bulat.

Reynand menoleh. "Gue tadi nggak sekolah, Tam. Lo juga?"

Tamara mengangguk. "Eh? Kenapa nggak masuk?"

Reynand membeku sesaat. Kemudian berkilah. "Lo sendiri kenapa?

"Lha kok malah nanya balik sih." Tamara mengakhiri kalimatnya dengan kekehan membuat Reynand turut terkekeh.

Namun, tidak ada yang menjawab satu pertanyaan itu.

"Lo mau makan apa?" Reynand bertanya. Ia merenggakan tubuhnya sejenak. Mencoba melupakan lelah yang menyergap.

"Mmm makan apa ya." Tamara memaksa benaknya berpikir. "Gue mau---" Tamara menoleh pada Reynand dan menatap kedua mata sipitnya. "--chinese food!"

Kedua mata Reynand membulat sempurna. "lo ngeledek ya?!" Matanya memandangi rambut cokelat Tamara yang tergerai.

Tamara tertawa. "Tapi beneran pengen makan, kok."

Reynand menggeleng. "Satu halte lagi ada restoran yang enak."

"Asik!!" Tamara terkekeh senang.

Bus mereka berhenti. Mereka segera membayar dengan kartu dan turun bersamaan.

"Kita jadinya makan bareng nih?" Tamara bertanya.

Reynand menatap Tanara sinis. "Kira-kira?"

Reynand menarik tangan Tamara berbelok masuk ke sebuah restoran yang didominasi warna merah. Sepasang lampion dibiarkan menggantung disisi pintu yang berwarna cokelat.

Mereka melangkah masuk. Tamara diberikan pemandangan pengunungan cantik sebagai latar, pendingin udara yang sejuk, serta meja-meja persegi panjang simetris dengan empat kursi serupa yang mengelilinginya.

Alunan merdu lagu khas yang lembut menyapa telinganya. Memberikan kesan nyaman dan hangat.

Reynand melepas tangan Tamara. Menarik kursi dan mempersilakan Tamara duduk. Reynand mendudukan diri di depannya.

Seorang pelayan berpakaian gaun berwarna merah selutut yang padu dengan kulit seputih susu serta ikatan rambut seperti bola di dua sisi kepalanya menghampiri mereka.

Pelayan itu memberikan dua buku menu dan membiarkan dua insan itu membacanya.

"Ayam Ku Pao," sebut Tamara penuh binar saat memandang ayam berbumbu tumpah dalam gambar menu.

Reynand melirik tingkah Tamara. "Kekanakan sekali sih," gumamnya.

"Apa?" Tamara merasa mendengar gumamam Reynand yang menyebalkan.

"Mie Wonton kuah dan ..." Reynand membalik buku menunya. "Teh Krisan satu."

"Teh Krisan dua," ralat Tamara cepat.

Pelayanan itu mengangguk. "Baik. Tunggu sebentar ya." Kemudian berbalik melaporkan pesanan dan kembali melayani pelanggan yang baru datang.

Selang beberapa menit pelayan lain menghampiri mereka. Ia meletakan dua cangkir Teh Krisan di tengah meja kemudian disusul dua porsi makanan berbeda yang uap panasnya mengepul panas.

Kedua mata Tamara segera berbinar senang. Sudah lama dia tidak menikmati makanan seperti ini. Tangannya dengan gesit mengambil sendok dan garpu dan memotong daging ayam yang cukup besar itu dengan cepat.

Reynand tertawa kecil menyaksikan kelakukan temannya itu. Kemudian menyusul makan.

"Eh Rey. Gue penasaran deh. Lo ngapain aja sih di rumah bisa sibuk banget gitu?" Tamara membuka pembicaraan sambil menguyah.

"Mmm. Ngapain ya." Reynand meneguk Teh Krisanya perlahan.

Tamara memasukan satu potonh ayam ukuran besar ke mulutnya. "Nghaphain?"

"Rahasia." Reynand tersenyum lebar bangga.

Tamara sontak mengerucutkan bibir. "Sok rahasia-rahasian deh."

"Lagian kenapa mau tahu si---TAM!" Reynand merangsek maju.

Membuat Tamara hampir terjungkal dari kursi. Kedua matanya melotot. "Apa?! Jangan teriak-teriak juga ka---"

"Leher lo kenapa?" Reynand memotong kalimat Tamara.

Sial. Masih ketara sekali ya? rutuk Tamara dalam hati.

"Rahasia juga. Bwek." Tamara menjulurkan lidahnya.

Reynand kembali pada posisinya. Matanya fokus memandangi temannya itu.

"Lo abis ngapain?" Reynand menyelidik. Raut wajahnya jadi serius sekali membuat Tamara membeku.

"It-itu." Tamara menunduk. Tidak mungkin ia menjelaskannya.

"Lo nggak lakuin hal yang aneh-aneh 'kan, Tam?" Tangan Reynand menyentuh kepala Tamara dengan lembut.

Hangat. Tamara mengangkat wajahnya. "Nggak kok."

"Kalau gitu jelasin." Tidak sering Tamara melihat wajah serius laki-laki super jahil itu dihidupnya.

Tamara tidak menjawab. Ia malah melanjutkan makannya dalam hening, mengabaikan Reynand yang penuh dengan pertanyaan.

Reynand melanjutkan makannya seray berusaha menepis asumsi buruk dalam otaknya.

Tamara hidup sendirian. Ia baru saja kehilabgan ayahnya di kecelakan beberapa minggu lalu. Mungkinkah ia ... bunuh diri?

Reynand meletakan sendoknya. Ia selesai makan, begitu juga dengan Tamara yang tidak mengangkat kepalanya sama sekali.

Reynand menanggil pelayanan, ia mengeluarkan uang untuk membayar makanan mereka.

"Tunggu! Makanan gue, gue lah yang bayar." Tamara angkat suara ketika Reynand mengeluarkan dua lembar uang ratusan.

Alis Reynand terangkat satu. Kemudian dengan tak acuh ia membayar dua porsi makanan itu dengan uangnya.

Tamara berdiri menatap Reynand marah. Ia segera memberikan uang makananya pada Reynand. "Gue 'kan udah pernah ditraktir lo. Masa sekarang lagi sih?"

Reynand terkekeh. "Sorry gue nggak mau terima duit lo." Kemudian berdiri membuat posisi mereka berhadapan. Reynand yang lebih tinggi dari Tamara membuat Tamara mendongak. "Tapi kalau lo masih nggak enak. Temenin gue ke taman yuk."

1/06/2018
Special Marathon Writing Month
NPC2301

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top