[14] Introgasi Elysia
Tamara menatap mayat berlumuran darah dihadapannya. Aila sendari tadi berdiri----bersembunyi--dibelakangnya agar tidak melihat kondisi mayat yang kepalanya hancur itu.
Mobil ambulans datang. Ia membawa jasad laki-laki siswa kelas 10 itu pergi ke tempat yang seharusnya.
"Tam!" Reynand setengah berlari menghampiri mereka. "Ada apa sih ini?"
Tamara mengendikan bahu tidak tahu, dan tidak peduli tepatnya. Ia lebih tertarik pada sosok kakaknya yang membelakanginya di depan sana.
Tamara dengan gegabah malah mendekati tempat itu. Berusaha meraih kakaknnya. Tangan kanannya bergerak naik, namun tubuhnya ditarik paksa.
"Kau tidak boleh mendekat!" Reynand membuat pergerakan Tamara berhenti dan Laura berbalik karena mendengar seruan itu.
"Kakak." Tamara berkata tanpa suara, kemudian melepas senyum ke udara. "Aku kangen."
Semalam ia tidak dapat melepas rindu dengan kakaknya karena Artur belum tahu menahu soal itu, dan dia pasti akan kebingungan setengah mati jika melihat Tamara berbicara dengan udara kosong.
"Tak bisakah kau mampir sebentar untuk mengobrol dengan adikmu ini?" Tamara melanjutkan kalimat sunyinya.
Laura menatap Tamara beberapa detik, kemudian menghilang bagai kabut tertiup angin.
"Tam! Lo denger nggak sih?" Reynand mencekal lengan Tamara.
"Apa ish?" Tamara menarik tangannya dan berbalik kasar masuk ke dalam gedung. Ia ditolak lagi oleh kakaknya. Hancur sudah moodnya hari ini.
Aila memeluk lengan Tamara erat. "Ayo balik ke kelas, Tam. Ambil tas abis itu pulang."
Tamara mengangguk. Kemudian meninggalkan Reynand yang mematung sendirian. Para murid yang lain juga naik ke kelas mereka masing-masing untuk beranjak pulang. Siapa pula yang mau sekolah dengan kondisi seperti ini?
Reynand menghirup napas dalam, membiarkan bau anyir darah masuk ke dalam indra penciumannya. Vandy turun seraya menuntun seorang gadis yang mengcengkram lengannya dengan takut.
"Kau butuh diantar ke dokter?" Gadis itu menggeleng. Sesekali tangannya bergerak menghapus air matanya yang tumpah. "Kalau begitu aku antar ke ruang konseling ya?"
Dia mengangguk.
Vandy segera menatap Reynand lurus. "Rey. Antarkan dia ke ruang konseling."
Tanpa menjawab, Reynand maju dan menuntun gadis itu ke ruang konseling di ujung lorong.
Elysia Carmelia. Itulah namanya. Gadis itu mengaku bahwa teman sekelasnya itu berusaha melecehkannya, sehingga secara tidak sengaja Elysia berhasil mendorong laki-laki itu keluar dari pembatas atap sekolah mereka.
"Dia menghancurkan aku, dan sekarang aku akan dipenjara karena membunuh orang seperti dia?" Elysia terisak. Ia benci sekali situasi ini.
Reynand memutuskan keluar dari ruangan dan mengabari Vandy. Vandy mengkonfirmasi bahwa memang pintu atap sekolah itu terkunci dan gadis itu setengah telanjang dengan tangan terikat dibagian punggung.
Reynand berbelok menaiki tangga. Bingo. Di atap sekolah terdapat sebuah gudang yang tidak terpakai sejak lama, dan pintu gudang itu terbuka lebar dengan engsel kayu yang rusak.
"Gadis itu mendobrak pintu seperti ini?" Reynand meneliti tekstur pintu itu. Sudah lapuk, yah wajar sih.
Suara mobil polisi datang bersautan. Murid-murid segera berhamburan pulang, tidak terkecuali guru-guru. Hanya pimpinan sekolah yang masih menetap serta guru konseling yang masih menangani Elysia.
Pimpinan sekolah segera menyambut para polisi dan mencoba menjelaskan situasi yang mereka tahu.
Reynand sendiri berpapasan dengan Vandy dilorong dan mendapatkan satu tas berisi perlengkapan penyamarannya. Reynand berbelok masuk ke dalam toilet.
Henz keluar dari jendela kecil di jendela bilik kamar mandi dan keluar di belakang sekolah. Ia segera berjalan ke tempat kejadian perkara dan ikut memawancarai Elysia yang dicurigai sebagai tersangka.
"Apa yang kamu lakukan di sana?" Salah seorang anggota polisi menanyainya.
Elysia menunduk. Kemudian terisak, bahunya yang tampak kokoh itu bergetar.
"Di-dia melecehkan saya di gudang tua di sana. Saya berusaha kabur tapi dia malah berniat mendorong saya. Namun ... saya menghidar dengan cepat dan dia terjatuh," jelasnya dijeda beberapa kali isakan tangis.
"Tidak ada kamera pengawas di sana?" Kali ini tatapan petugas itu beralih pada pimpinan sekolah dan langsung dijawab dengan gelengan.
"Saya akan menyelidiki jasadnya dan kamu mungkin akan saya panggil beberapa kali ke kantor, Elysia Carmelia." Petugas itu melempar senyum, berusaha menenangkan psikis Elysia yang tampak terguncang.
"Mengerikan ya melihat temanmu berlumuran darah karenamu?" Henz mengambil tempat disebelah Elysia.
Elysia tidak menjawab. Ia hanya menangis sendari tadi. "Harusnya aku saja yang mati."
Henz memiringkan kepalanya pada Elysia. "Kamu kasian sekali sih. Tapi, tetap saja untuk saat ini kamu adalah tersangka. Cobalah tenang sedikit."
Tangis Elysia berhenti, ia menatap Henz dengan kebingungan. Bisa ya mengatakan itu pada orang yang terkena musibah?
"Kami tidak akan melakukan apa-apa padamu jika kamu tidak bersalah. Tenang saja." Setelah itu Henz bangkit dan meninggalkan Elysia di ruang konseling bersama guru wanita yang mencoba menenangkannya sendari tadi.
"Kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Ely." Ia meringkuh tubuh Elysia yang tampak rapuh di matanya, meski pada kenyataannya tubuh Elysia jauh lebih besar daripada guru mungil, pendek dan anggun itu.
---------
"Gimana tadi?" Vandy mengenakan celana pendek tanpa atasan ketika Henz tiba di rumahnya. Ia melepas penyamarannya dan segera mendudukan diri di sofa dengan kasar.
"Dia tampak tidak bersalah, aku harap sih itu benar." Reynand mengambil sembarang gelas diatas meja.
"Heh! Itu minumanku!" Nada omongan Vandy meninggi, namun diabaikan Reynand.
"Tidak sopan ya sama, Kakak." Vandy beranjak ke dapur dan membuat minuman baru.
Reynand tidak menjawab, ia asik menikmati sirup dingin yang melewati tenggorokannya.
"Kau memang tidak bisa meintrogasi ya?" Vandy duduk disebelah Reynand dan mengganti siaran televisi menjadi channel berita. "Masih saja memakai perasaan."
Reynand meletakan gelasnya. "Namanya juga anak remaja, Kak. Kalau aku tidak memakai perasaan bukannya aku tidak normal?" Reynand melebarkan senyuman.
Vandy menjitak Reynand gemas. "Iya deh yang masih muda."
Kemudian kekehan mereka terlontar ke udara.
---------
"Tadi kau sengaja?" Tamara menelpon Elysia seraya menyetrika pakaiannya.
"Iya." Elysia mematikan televisi dan fokus pada pembicaraan ditelepon.
"Bagaimana caramu mengelabui polisi?" Tamara menggantungkan seragamnya dengan hati-hati dan meletakannya manis di dalam lemari.
"Aku 'kan sangat ahli dalam bersandiwara, Kak." Elysia mengembangkan senyum, kemudian melahap biskuit cokelat dari dalam toples.
"Kau benar-benar dilecehkan pria jelek itu?" Tamara mematikan sterikanya dan melipat meja.
"Iya awalnya."
"Kau serius?" Aktivitas Tamara berhenti. "Bukannya kau tidak dianggap wanita oleh anak kelasmu?"
"Tapi dia tidak sekelas denganku, Kak." Elysia beranjak pergi ke dalam kamar dan menidurkan diri.
"Jadi dia benar-benar menyukaimu?" Tamara beranjak ke kamarnya dan menghempaskan diri kasar sampai kasurnya berderit.
"Tentu saja tidak. Dia mencaci makiku dengan kejam tadi. Makanya aku melakukan apa saja sesuai akal sehat." Elysia berguling ke samping, meraih selimut.
"Oh ya? Ternyata kamu benar-benar pemberani ya, El." Tamara melepas kekehan diakhir kalimatnya.
"Apa sih kak. Kebetulan aja itu akalku lagi jalan." Elysia kemudian menutup teleponnya secara sepihak dan menenggelamkan wajahnya di balik selimut.
Tamara memegangi perutnya yang sakit. "Ely malu terus matiin telepon gitu?! Padahal aku cewek lho. Gimana kalau sama cowok coba?"
05/05/2018
NEXT SATURDAY >>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top