[11] Umpatan Kebencian
Hentikan semua ini Tamara. Kalau tidak, maut sendiri yang akan mengejarmu.
"Tidak kak. 'Kan kakak sayang Mara. Jadi Mara nggak mungkin mati," gumam Tamara kecil yang menaikan satu alis Aila dengan heran.
"Tamara?" Tangan kanan Aila menepuk-nepuk pipi sahabatnya pelan. Ini hari senin, dan mereka harus ke sekolah.
"Mmm." Tamara membuka matanya perlahan.
"Lo mimpi apa? Kenapa nggak bakal mati?"
Pertanyaan Aila membuat kedua mata Tamara terbuka lebar. "Apa?"
"Itu tadi lo gumam aneh gitu." Aila menyelidik sahabatnya.
Tamara tertawa. "Gue aja lupa tadi gue mimpi apa," dustanya.
"Nona akan menghentikannya?" Ana menatap majikannya takut-takut.
Mereka tengah mengintip dari balik jendela. Memata-matai pergerakan Tamara yang belakangan membuat onar hanya untuk bertemu Laura.
"Tidak juga sih, aku hanya memperingatkan." Bibir laura sedikit tertarik keatas. Menimbulkan kesan ganjil yang menyeramkan.
"Kenapa Nona tidak menemuinya?"
Laura memandang Ana tanpa ekspresi. "Ayo kembali."
Ana menunduk seraya mengikuti Laura yang membuka pintu masuk ke dunia mereka.
Tamara yang merasakan angin dingin melewati tenguknya melotot kaget. Refleks ia segera berlari keluar mengikuti insting.
"Kakak tadi ke sini?" gumamnya senang. Hatinya terasa berbunga. Semangatnya membara. Ah, Tamara tidak sabar malam datang dan pertemuan mereka terjadi lagi.
Aila mencolek tubuh sahabatnya pelan. "Kenapa?"
Tamara menggeleng. "Tidak apa." Ia bergerak masuk kembali ke dalam kamar. Mengacak lemari dan meletakan dua buah set seragamnya ke atas kasur.
"Sana mandi duluan, Ai."
Aila menurut. Ia meraih handuk dari jemuran dan seragam yang diberikan Tamara, lalu masuk ke kamar mandi kamar Tamara. Sedangkan, Tamara kembali mendudukan dirinya diatas kasur. Berpikir sejenak, lalu mempersiapkan diri di kamar lain.
-------------------
Reynand mengangkat satu alisnya saat melihat Tamara dan Aila turun dari bis bersamaan. "Kalian pacaran ya?" celetuk Reynand yang membuat mereka melotot.
"Cuma menginap biasa kok. Kau tidak punya teman cowok sih." Tamara mengakhiri kalimatnya dengan kekehan.
Reynand mengangkat bahu, tidak membantah. Anak laki-laki di kelasnya benar-benar kekanakan. Ia lebih sukamenjahili Tamara atau tidur di kelas daripada berteman dengan anak-anak itu.
Reynand tersenyum miring. Tangannya segera meraba tas ranselnya.
"Ulaatt baruu!!!" pamernya yang langsung membuat Tamara lari terbirit. Aila mengikutinya seraya tertawa.
Tepat saat mereka masuk Reynand tiba di kelas. Jaket yang dipinjamkannya pada Tamara kemarin sudah terlipat di meja.
Tamara tengah menatan jendela dengan tenang menggumam, "Terima kasih lho atas jaket dan ulatnya."
Reynand tersenyum lebar dan duduk di kursinya.
Sekolah berjalan seperti biasa. Seperti anak-anak sekolah menengah atas yang biasa hingga bel pulang berbunyi.
"Gue pulang duluan ya, Tam." Aila melempar senyum pada Tamara yang dibalas anggukan.
"Hati-hati!" Tangan Tamara melambai kemudian diakhiri kepalan semangat pada sahabatnya itu.
Aila berbalik dan meninggalkan kelas dan langkah tergesa. Meninggalkan Tamara dengan anak-anak lain yang masih sibuk membereskan barang-barang yang berserakan.
Tamara pun bergegas. Memasukan semua barang-barangnya ke dalam tas dan bersiap pergi.
"Tam." Reynand yang daritadi meletakan kepalanya diatas meja meraih lengan Tamara. Mengejutkannya.
"Iya?" Tamara menoleh pada Reynand yang tampak kelelahan.
"Makan yuk. Gua laper banget. Sumpah." Reynand mengangkat kepalanya.
Tamara mengendikan bahu. "Siapa suruh tadi nggak makan hah? Tidur mulu sih tiap istirahat."
"Gue yang bayarin." Reynand menyambungkan kalimatnya.
Raut wajah Tamara tampak berseri. "Oke!"
"Beresin tas gue sama bawain tapi. Gue lemes banget sumpah, Tam." Pinta Reynand dengan wajah memohon.
Tamara mengangguk. Membereskan tas teman sebangkunya itu dan menarik tangannya berdiri. "Semalem lo nggak makan ya?"
Reynand mengeleng. Wajahnya pucat, langkahnya pelan sekali, kekurangan energi. Tamara menuntunya perlahan. Seperti teman yang baik meski Reynand sering sekali menjahilinya.
Tamara menuntun Reynand melangkah ke restoran yang berjarak satu meter dari depan sekolahnya dikarenakan kantin sekolah sudah tutup setengah jam lalu.
"Lo mau apa?" tanya Tamara setelah berhasil mendudukan Reynand dihadapannya.
"Terserah." Reynand kembali memegangi perutnya yang minta diisi. Bagaimana ia bisa makan kemarin? Kejadian pembunuhan tanpa jejak dan motif itu menyebalkan, bahkan korbannya acak. Jika ia tidak dipaksa pulang oleh Vandy, ia tidak akan tidur.
Tamara memesankan sayur hangat untuk Reynand dan secangkir kopi untuknya. Pelayan restoran dengan sigap dan ramah mencatat pesanan Tamara dan melangkah cepat kembali ke belakang.
Lima belas menit berlalu, pelayanan datang dengan pesanan mereka. Reynand segera makan dengan lahap. Tamara memandanginya seraya menyeruput kopi.
"Lo lucu banget sih. Kayak nggak makan tiga hari." Tamara menahan tawanya kekuat tenaga melihat cara Reynand makan yang rakus.
"Lo nggak makan? Lo nggak mesenin gue minum?" Reynand menyadari sesuatu yang aneh.
"Oh iya." Tamara kembali memanggil pelayan dan membiarkan Reynand memesan minumannya sendiri.
Selang beberapa menit, Reynand selesai, begitupun Tamara.
"Makasih traktirannya!" Tamara berdiri dari kursi.
"Makasih dah nemenin gue." Reynand memanggil pelayan dan membayar makanan mereka.
Tamara pamit untuk pergi duluan dan berjalan kaki menyusuri trotoar. Ia sedang malas naik bus. Lebih baik ia menikmati hembusan angin sore hari dengan hiruk pikuknya.
Namun, setelah beberapa lama melangkah. Telinganya malah menangkap umpatan kebencian yang terdengar sangat jahat. Kakinya segera berbelok mencari sumber suara. Masuk ke dalam kedalaman hutan Dealno, melewati garis kuning polisi yang mulai terlepas.
Ditepi danau seluas tiga ratus meter mata cokelat Tamara melihat seorang gadis dengan seragam sekolah yang sama dengannya sedang melempar batu ke dalam air dengan emosi.
"Hai." Tamara mengambil tempat disisi gadis itu tanpa permisi.
Gadis itu lebih besar dari Tamara. Badannya tegap, cukup tinggi membuatnya terkesan gagah. Berbanding terbalik dengan tubuh Tamara yang cukup mungil.
Namun, dari atribut yang dia kenakan. Tamara dapat mengenali kalau itu adik kelasnya, anak tingkat satu.
"Eh? Kakak tingkat?" Dia tampak terkejut berjumpa dengan seniornya di tempat ini.
"Kamu sedang kesal ya?" Tamara melepar senyum terbaiknya. "Aku Tamara."
"Aku Elysia," katanya.
Kedua mata hitam itu persis mirip mata kakaknya ketika menatapnya. Hatinya bekecamuk.
"Jadi apa yang membuatmu kesal, Elysia?" Tamara melipat kedua kakinya, menggeser tubuhnya agar menghadap Elysia dan siap mendengarkan.
Elysia menunduk. Dia menceritakan banyak hal, seperti dirinya yang tidak suka dengan tubuhnya yang seperti laki-laki dan bagaimana anak-anak perempuan kelasnya yang mungil-mungil menghinanya seperti laki-laki dan kadang mengerjainya.
"Jika saja aku berani, aku sudah melempar tubuh mungil itu ke lantai dasar," gerutu Elysia tanpa sadar.
"Lempar saja. Lumayan lho mereka bisa mati jika jatuh dengan kepala dahulu dari lantai lima sekolah kita." Tamara mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil yang terdengar ganjil.
Elysia mengangguk. Setuju. "Benar."
"Kau harus melakukan sesuatu yang menyenangkan, Elysia. Aku akan mengajarimu." Tamara menatap lurus kedua mata hitam itu. Ia benar-benar teringat dengan kakaknya yang pernah dikerjai juga oleh teman-teman sekolahnya.
"Kau hanya perlu membiarkan emosi itu membakar tubuhmu dan keseruan akan berlangsung." Tamara melanjutkan seraya mengeluarkan ponselnya. "Mau tukaran kontak?"
14/04/2018
NEXT SATURDAY >>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top