[10] Sahabat yang Paling Baik
Henz membuka matanya. Ruangan 4 x 5 meter dengan pencahayan minim menyambutnya. Kursi dan meja rapat kosong tanpa seorangpun.
"Ah, gue ketiduran yah." Ia mengacak rambutnya lagi. Kesal. Rapat kemarin tidak membuahkan apapun. Tidak ada bukti yang tertinggal, terlalu banyak misteri di kasus kali ini.
Ia bangkit, melangkahan diri menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, namun gerakannya terhenti saat Vandy membuka pintu ruang rapat dengan kasar.
"Itu ... ada mayat tergeletak di kamar hotel!" katanya.
Henz membatalkan rencana mandi paginya. Kakinya mengikui langkah cepat Vandi dan naik ke mobil dalam waktu singkat.
Mobil hitam mengkilap itu segera membelah jalan raya dengan suara sirine yang menggelegar.
"Ada pembunuhan kemarin malam? Bukannya ada polisi yang berjaga? Bagaimana mungkin dia lolos?" cerocosnya kesal.
"Tidak mengerti, Henz. Sepertinya mereka hanya berpatroli seadanya di dekat hutan Dealno." Vandy memusatkan perhatiannya pada rute jalan raya yang padat setiap pagi dan sore hari.
Ia membiarkan mobilnya mengerem dan meliuk berbelok untuk parkir di halaman hotel kecil dengan lokasi yang tidak strategis.
Henz keluar untuk mengolah tempat terjadinya perkara. "Ck." Ia kesal sekali saat tidak mendapati apa-apa. "Sedikit jejak saja yang ditinggalkan, kita bisa melacaknya."
Kemudian Henz mengurung diri berputar mencari data di sana hingga matahari bersinar terik tepat diatas kepala dan kembali ke markas.
-------------
Hari minggu memang menyenangkan. Tamara tidak perlu pergi ke sekolah sehingga bisa mengisi energinya sepanjang hari dengan berada diatas kasur hingga pukul satu siang.
Ia membuka kulkas dan memasak makanan beku seadanya kemudian makan sendirian. Dilanjutkan acara bersih-bersih rumahnya yang tidak sempat ia lakukan belakangan ini.
Tamara menyalakan saluran berita tepat setelah ia duduk manis diatas sofa empuk ruang tengah. Ia terkekeh ketika berita menampilkan pembunuhannya bergantian.
"Sibuk sekali mereka sih." Tamara menyeruput minuman jeruk segar yang ia beli kemarin di supermarket.
Ponselnya berdering, ia segera mengambilnya dari atas meja.
"Halo?"
"Tam. Gue ke sana ya." Suara Aila disebrang sana terdengar gemetar.
"Apa? Lo kenapa?"
Setelahnya sambungan ponsel segera dimatikan secara sepihak. Tamara menghela napas. Sepertinya ia tahu apa yang terjadi.
Awan-awan pun kembali berkumpul di satu tempat, kemudian menitikan air mata yang banyak sekali. Tamara membuka pintu segera mendengar ketukan tidak teratur diantara suara gemuruh.
Aila datang berlari tanpa payung. Tubuhnya basah kuyup dan mengigil kedinginan. Matanya basah, tidak bisa dibedakan secara pasti apakah itu air hujan atau air matanya.
"Taam." Aila menubruk tubuh Tamara dengan sesegukan.
Tamara menarik tubuh Aila masuk dan menutup pintu rumahnya. Membiarkan Aila menangis beberapa saat dibahunya. "Gue benci hari minggu."
Tamara mengeratkan pelukan, tangisan Aila makin menjadi. "Gue nggak mau kerja kayak mereka. Gue nggak mau nurutin mereka lagi."
Tamara mengerti. Mereka ialah orang tua Aila yang keras kepala ingin Aila melanjutkan bisnis keluarga mereka, meski hatinya berkata lain.
"Sekarang lo mandi dulu yuk. Nanti sakit." Tamara melepaskan pelukan. Aila mengangguk setuju. Ia segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Tamara bergerak mengambil handuk dan baju dari lemari dan menyerahkannya pada Aila. Senyumannta terbentuk saat berpikir betapa dewasanya sahabatnya itu dalam segala aspek, betapa rajinnya ia, tetapi di sisi ia begitu seperti hanyalah yang hidup untuk impiannya.
Beberapa menit berlalu, Aila keluar dengan pakaian kering dan senyuman di wajah. Tamara memberinya secangkir cokelat panas yang masih bersisa dari belanjaan bulan lalu. Aila meraihnya dan duduk di sebelah Tamara. Ia meminumnya perlahan. Mengumpulkan akal sehatnya yang hilang beberapa waktu lalu.
"Gue tahu lo sosok yang kuat, Ai." Tanara memberikan senyum terbaiknya padanya. Ya, Aila memang kuat sekali. Meski beban hidupnya berat tapi dia rela meluangkan waktu untuk menghiburku disaat semua keluargaku pergi. Aku harap kamu dapat terlepas dari beban yang sesak ini, Ai. "Kalau lo butuh bantuan, selalu ke gue ya."
Aila mengangguk kecil. "Makasih, Tam. Lo emang sahabat gue yang paling baik."
Aku merangkulnya erat. "Lo mau nginep malan ini, Ai?"
Aila menubruk tubuhku. "Mauu!!!" serunya dengan wajah berseri.
Tamara tertawa kecil. Ia senang bisa membantu sahabatnya, walau itu berarti malam ini ia tidak dapat melihat wajah kakaknya.
"Udah dong! Berat tahu, Ai." Tamara mengeluh. Membuat Aila berpindah dan beralih masuk ke dalam kamar.
Tamara bergerak mematikan televisi, nengunci pintu, mencuci gelas dan pergi tidur. Setelah sekian lama akhirnya ia akan tidur dengan normal. Berkat sahabat terbaiknya yang membutuhkannya.
----------
"Pokoknya, kalian tidak boleh lengah! Patroli disegala penjuru kota. Ingat," perintah komandan kepolisian akibat permintaan Henz tadi sore padanya.
Karena membunuh dua orang dalam jeda dua hari itu bukanlah hal yang mudah. Henz tak habis pikir apa motif pembunuh satu ini. Ia begitu licik, dan kepolisian sama sekali tidak memiliki asumsi siapa dibalik semua ini.
Henz mengacak rambutnya. Ia menatao polisi yang berpergian satu demi satu dari ruang rapat untuk berpatroli. Sepertinya dia juga harus ikut berpatroli.
"Heits. Kamu kemana kamu?" Vandy menarik lengan Henz yang sudah hampir keluar dari pintu.
"Patroli." Henz menatap senior yang bertingkah seperti kakaknya dengan raut kesal.
"Kau masih remaja. Tidak baik begadang terus. Hari ini kau tidur saja," perintah Vandy yang tentu saja ditolak Henz mentah-mentah.
"Pokoknya kau harus pulang dan bertemu kasurmu malam ini. Aku sudah dapat izin dari komandan untuk memulangkanmu." Vandy menarik kerah Henz dengan paksa. Kemudiannya melemparnya masuk ke dalam mobil.
Vandy menancap gas. Membelah jalan raya yang semakin sepi dan beranjak pulang.
"Kau bahkan belum mandi dari pagi 'kan, Henz?" ledek Vandy yang diakhiri kekehan kecil.
Henz menekuk bibir. Ia melepaskan samarannya dan memejamkan mata, mengabaikan sikap Vandy yang perhatian padanya.
"Dasar anak ini," gumam Vandy setengah tertawa. "Bau tau."
"Bawel, Kak." Reynand menutup telinganya sebal.
07/04/2018
NEXT SATURDAY>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top