[1] Titik Awal

Dari titik inilah
Hidupnya berubah
Memeluk rindu
Mencambuk nafsu

----------------------------------

"Mara kangen kak Ara," ujar gadis genap berusia tujuhbelas tahun itu mengerucutkan bibir.

Albert yang tengah meneguk kopi tersedak. Kaget. "Kenapa tiba-tiba membahas Laura?"

"Mara ultah kan, Addy. Ketujuhbelas hari ini lho." Tamara memainkan jemarinya. Mengkode bahwa ia ultah. "Udah lama banget kan, nggak ketemu Kak Ara? Udah berapa tahun dia nggak pulang."

Albert tersenyum kecut. "Kakakmu kan sibuk bekerja."

"Mencabut nyawa orang?" Tamara memandang Albert lurus.

Albert terkekeh. Terlintas putri sulungnya yang memainkan melodi untuk mencabut nyawa. "Jutaan ribu orang, Mara. 'Kan kakakmu malaikat kematian."

Mara mengerucutkan bibir. "Kakak nggak bisa ambil cuti buat mampir ke sini gitu?"

Albert tertawa mendengar celotehan putri bungsunya itu. "Astaga ... hahaha Tamara sayang tidak bisa seperti itu lah."

"Dad jahat!" Kursi Tamara berdecit. Ia berdiri, kemudian berlari sembarang keluar rumah. "Aku berangkat!" teriaknya.

Ia menyebrangi jalan raya, menuju halte bus di depan rumahnya. Ia bergumam kesal sendiri.

Angin dingin berembus, menyapa pipinya. Tamara melotot. Ia familiar dengan perasaan ini.

"Siapa?" Tamara mengangkat berbalik, menatap lurus kediamannya.

---------

Albert berkacak pinggang sebal. "Mara ngambek, tapi ninggalin tas, lucu sekali kamu, Nak."

Ia meraih tas ransel anaknya itu dan membuka pintu.

Bruk!

Albert jatuh, kedua matanya membulat sempurna melihat sosok dihadapannya. Berdiri gagah dengan jubah hitam bertudung sampai batas mata. Tangan kanannya menggenggam seruling hitam berukiran garis-garis emas yang rumit.

"La-laura?"

Tatapannya yang semakin dingin itu menyapu keberanian Albert. Ia rindu sekali dengan putri sulungnya. Tapi kalau begini, Apa bisa Albert memeluknya dan berteriak "Ara! Kangeen banget! Kamu kemana aja?"

Kenyataannya Albert takut, pada putri sulungnya sendiri.

"Addy. Lama tidak berjumpa ya?" Laura menyapa Albert dengan datar.

"KAAAKAAAKK!" Tamara disebrang jalan segera berlari sembarang menyebrang. Tanpa ia sadari sebuah truk tengah berjalan dengan kecepatan tinggi.

"TAMARA!" Albert berteriak. Kakinya berayun ringan ke jalan. Sementara telinganya mulai mendengar melodi terindah yang pernah ia dengar.

Ttiiinnnnnn!!!

Suara klakson itu memekakan telinga. Tamara yang baru menyadari posisinya berteriak. Dua detik, Albert mendorongnya ke tepi jalan.

Tubuh Tamara terhempas ke sisi jalan. Sementara Albert terhempas satu meter kedepan. Kepalanya jatuh duluan menabrak aspal. Darah tanpa permisi langsung menampakan diri keluar dari kepalanya.

dan melodi itu berhenti. Laura melayang rendah. Wajahnya datar menatap manusia yang tadinya ayahnya.

"Selamat tinggal. Addy."

Cahaya putih melayang keluar dari tubuh Albert. Kemudian melayang ke telapak tangan Laura sebelum menghilang lenyap.

Warga sekitar segera mengerumuni dan menelpon polisi serta ambulan. Mereka bercakap-cakap ramai dan kasihan menatap mayat yang tergeletak tragis di jalan.

"Kakak!" Tamara bangun, ia berjalan terseok-seok menghampiri kakaknya.

"Kakak! Aku kangen." Tamara tersenyum lebar. Kemudian air matanya luruh. "Akhirnya kita ketemu yah."

Matanya beralih menatap jasad ayahnya yang sudah tidak bernyawa.

Warga yang mengerumuni bergindik ngeri. Anak dari laki-laki yang mati ini berbicara sendiri. Menyeramkan bukan?

Laura memandang Tamara sama datarnya. Banyak hal yang terjadi membuatnya menanggalkan seluruh kemanusiaanya total, termasuk emosi yang dulu masih tertinggal.

"Kakak, nggak kangen Mara? Mara udah bisa ngomong 'R' lho." Tamara menyengir lebar.

Langkah kakinya tak gentar mendekati Laura. Bahkan dengan lancang membuka tudung Laura tiba-tiba.

Tampaklah wajah yang selama ini ia rindukan. Mata hitam kelam yang dahulu membuatnya tertawa. "Tuh 'kan, kakak makin cantik."

"Jangan bicara di sini bodoh. Kau dikira gila." Laura menatap sinis Tamara.

Tamara tertawa keras, hingga tawanya berubah menjadi tangis.

Diusianya ketujuhbelas ia mendapat hadiah luar biasa dari Tuhan. Ia bertemu dengan kakaknya yang sangat ia rindukan. Namun, ia juga mendapatkan tragedi luar biasa. Ayahnya meninggal dunia. Sudah pasti itu.

"Jangan menangis dik. Ambulan bentar lagi datang, berdoalah supaya ayahmu masih bisa selamat," ujar seorang bapak yang tiba-tiba mendekat.

Tamara menggeleng. Ia tahu sekali ayahnya tidak akan selamat.

---------


Suara mesin minuman memecah hening rumah sakit. Tamara meraih segelas kopi dan meneguknya perlahan.

Ia terduduk di ruang tunggu. Memandang ruangan ayahnya yang kosong. Tak ada dokter atau suster di sana, hanya ada jasad ayahnya yang telah ditutupi kain.

"Karena kebodohanku kah ini? Ah bukan. Karena takdir." Ia tersenyum pahit. Kemudian bangkit memasuki ruangan.

Tamara meneguk kopinya. Kali ini ia menghabiskannya. Meletakannya diatas nakas dan jatuh lemas ke lantai.

Ia sendirian.

Udara dingin menyelimuti ruangan. Tamara mengangkat kepalanya. Sesosok gadis berjubah hitam melayang rendah dihadapannya.

"Tangisanmu tidak mengembalikan apapun." Laura berjongkok. Mensejajarkan dirinya dengan adiknya.

Tamara membuka tudung Laura. Itu sudah kebiasaannya. Dipandanginya dalam kedua mata yang dulu membuatnya tertawa itu.

"Kau membenciku?" Laura membuang mukanya.

"Iya."

Laura melotot kemudian menghela napas. Ia tertawa dengan nada aneh, seperti robot. "Iya 'kan? Aku membunuh ibumu dihadapanmu dulu dan sekarang kubunuh ayahmu dengan peristiwa yang mirip sekali." (Read : laura melody, fourteen-fifteen melody)

"dan tidak." Tamara melanjutkan omongannya.

Laura menoleh pada Tamara.

"Karena mereka bukan hanya orang tuaku. Mereka orang tua kakak juga." Tamara mengangkat tangannya mengusap rambut kakaknya. "Wah aku lebih tinggi dari kakak."

"Kakak juga kehilangan 'kan? Meski kakak seolah tak memiki emosi lagi." Tamara tersenyum.

Laura tersentuh. Ia berdiri mendadak yang membuat Tamara kaget.

"Kau memang anak yang baik Tamara." Laura memandang jasad ayahnya yang terbujur kaku diatas kasur rumah sakit.

"Kau akan kerepotan, aku akan membantu." Laura menjentikan jarinya. Sekejap kegalapan meguasai ruangan dan melenyapkan mereka bertiga.

Tamara membuka matanya. Cahaya matahari tepat diatas kepala menyapanya. Disisinya Laura berdiri kokoh dengan pakaian yang berbeda.

"Kakak jadi manusia?" Tamara berdiri, menggenggam tangan Laura erat. Ia baru menyadari sesuatu. Mereka ada di pemakaman.

Pemakaman Ayahnya yang entah bagaimana sudah selesai.

"Selesai. Ayo pulang. Jangan menangis lagi." Laura menyeret Tamara pulang.

Tamara menurut saja. Karena toh sebenarnya sejak awal ayahnya sudah mati demi menyelamatkannya. Sejak pertama kali kemunculan Laura.

"Kakak. Beliin eskrim. Kakak bisa punya uang 'kan?" Tamara tertawa. Meledek kakak perempuannya itu. Lama sekali ia tidak bisa begini.

Laura memandang Tamara ragu, setelahnya mengangguk samar.

"Yeay!" Tamara meninju udara senang sebelum memeluk kakak perempuannya itu.

Ia harap hari ini berlangsung selamanya.

--------------

A/N: maaf kalau ada saltik. Ichaa khilaf.

27/01/2018
Next >>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top