Dear Violin | 01
Desember, 2013
"Oke, semuanya. Selamat atas kelulusan kalian. Kakak harap kalian semua bisa menggunakan skill kalian untuk menggapai cita-cita yang kalian impikan."
"Terima kasih, Kak."
Ruang aula mulai terdengar riuh ketika Harris selesai dengan sambutannya untuk perpisahan adik-adik didiknya, angkatan ke-11 Akademi Musika.
"Dari sini aku memulai semuanya," gumam seorang perempuan berambut pendek sebahu.
"Kamu bilang apa, Rana?"
Yang di panggil dengan sebutan Rana menoleh ke samping, tepatnya kepada gadis yang berusia sekitar 16 tahun dan berambut kuncir kuda, bernama Eva.
"Enggak. Gapapa, kok. Dan sudah aku bilang sejak dulu, jangan panggil aku dengan sebutan Rana, panggil saja Tia!"
Tia menjawab dengan nada sedikit meninggi. Memang, ia sedikit kesal bila ada yang memanggilnya dengan sebutan Rana karena suatu alasan.
Ia tidak terlalu suka dipanggil dengan panggilan yang sama seperti kembarannya, Rani Mutiara Azzahra. Kembarannya yang begitu bertolak belakang dengan kepribadiannya.
"Ah, aku baru ingat. Maafin aku ya, Tia."
Tia mengangguk ditambah menjawab, "Iya, gapapa."
"Oh iya, setelah ini Kevin ngajak kita ngerayain kelulusan di kafe seberang. Kamu mau ikut?"
Tia berdiam sebentar. Ia berpaling, memandang keluar jendela, lalu menjawab, "Kayaknya aku enggak bisa."
Cuaca cepat sekali berubah, ucapnya dalam hati, lalu kembali menoleh ke Eva.
"Sebentar lagi hujan. Aku harus pulang cepat. Maaf, ya. Tadi aku lupa bawa payung," tambah Tia, sedikit tak enak hati karena menolak ajakan Eva.
Eva sedikit cemberut, tetapi hanya bisa memaklumi. "Hum ... ya udah kalo gitu. Aku ama yang lain duluan, ya."
***
"Terima kasih, Pak."
Sebuah taksi berhenti di depan gerbang kompleks perumahan. Cukup sepi, hanya ada satpam di dalam pos penjaga. Dari luar, terlihat satpam itu sedang menonton TV di depan. Tia mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompet, lalu keluar taksi dengan hati-hati.
Angin berembus cukup kencang. Tia pikir, ia harus cepat-cepat berjalan sampai rumah. Sayang, setitik air mengenai bahu mengejutkannya, membuat Tia tersadar di langit sudah bersiap dengan tetesan air tak terhingga. Siap menghujam apapun yang ada di bawah.
"Oh, tidak!"
Tia mulai berlari menghindari guyuran hujan. Sesekali menghindari sepatu flatnya menyentuh genangan air yang mulai terbentuk. Berlindung memakai tas biola, bersyukur tasnya itu terbuat dari fiber dan plastik sehingga tahan air. Pandangan tak fokus ke depan, sampai ia menabrak seseorang, dan menyebabkan tas biola jatuh ke tanah.
"Maaf!"
Tak hanya biola saja yang terjatuh, melainkan seorang laki-laki juga. Tia tersentak. Refleks ia mengulurkan tangan, bertanya, "Kamu gapapa?"
Tia perhatikan, laki-laki ini memakai pakaian tak biasa dari anak-anak zaman sekarang. Bagaimana tidak, ia hanya memakai celana panjang hitam dan kaus putih bergambar abstrak di depan. Seperti bapak-bapak, tetapi Tia tak ingin berkomentar. Fokus dengan kejadian di hadapan saja. Karena dirinya, orang ini terjatuh. Tia pikir uluran tangannya akan bersambut, tetapi ternyata tak dihiraukan.
"Aku bisa sendiri," jawab laki-laki itu sambil menepuk-nepuk pakaian di bagian belakang.
Tia menyipitkan mata saat menyadari di depannya adalah wajah asing, tak pernah ia temui. Dahi turut berkerut, tepat saat sepasang mata mereka bertatapan.
Di bawah hujan, remaja perempuan dan laki-laki ini terdiam saling mengamati.
Tia bertanya setelah menarik kesimpulan cepat. "Kamu baru tinggal di sini?"
Si remaja lelaki mengangguk. "Benar. Maaf, aku buru-buru. Sampai jumpa."
Tia hanya terdiam. Pandangan masih tak lepas dari punggung laki-laki yang semakin menjauh, sampai hilang di persimpangan kompleks. Tia baru sadar ia benar-benar basah kuyup setelah angin kencang menerpa dan membuat tubuh semakin dingin.
"Ah, sudahlah."
Ia mengangkat bahu, kemudian menunduk mengambil tas biola, masih tergeletak di tanah.
"Aduh, hujan makin lebat," keluh Tia sambil berlari. Sepanjang pelarian, ia masih mengingat bagaimana penampilan lelaki itu. Dia memang terlihat unik. Namun, yang paling mengusik pikiran Tia adalah, mengapa warna matanya hijau?
***
"Huh, akhirnya!"
Dari depan pintu, perempuan berambut hitam panjang membukakan pintu, memicingkan mata ketika melihat Tia, saudara kembarnya berdiri dengan pakaian basah kuyup di teras.
"Tia! Ih, kamu tuh! Harusnya tunggu abis ujan aja baru pulang, gimana sih?! Kan sekarang lantainya basah! Aku baru ngepel tadi udah wangi!"
Tia berdiam sebentar, lalu menghalau tangan perempuan yang menghalangi jalannya.
"Sempat-sempatnya kamu menceramahi aku. Udah, aku mau masuk! Dingin banget di luar!"
"Tunggu! Tiaaa! Lantainya jadi basah, Tia sayaaang!" teriak kembaran Tia, menggeram di akhir sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
"Aku yang mengepelnya sehabis mandi, Rani Si Tuan Puteriii!" sahut Tia yang bergegas menuju kamarnya untuk menaruh biola, bersiap untuk mandi.
"Ah! Dasar Tia! Ih sayaang banget sama kamu Tiaaa! Rasanya pengen aku buang ke kolam aja kamu!" gerutu Rani sambil berjalan menuju dapur, mengambil alat pel lagi untuk dipakai Tia.
Tia sendiri memilih diam saja. Habis mengambil handuk tadi, cepat-cepat ia ke kamar mandi. Melepaskan pakaian yang basah, langsung menyalakan shower dan berdiam di guyuran air.
Bukannya melanjutkan memakai sampo atau membersihkan diri dengan sabun, ia malah berdiam mematung. Memikirkan apa yang terjadi di perjalanan pulang ke rumah tadi.
Tia bertanya sendiri dalam hati, sebenarnya siapa laki-laki tadi? Katanya dia orang baru. Tapi, dia pindahan mana, ya? Sekolahnya di mana? Kelas berapa? Dia pindahan daerah mana?
"Ah!"
Tia menyandarkan dahinya ke dinding kamar mandi. Shower belum dimatikan, terus membasahi tubuhnya sampai jari-jari agak keriput.
Mendadak kepo nih ceritanya? Tapi aku memang kepo-an sih, tambah Tia lagi. Ia matikan shower terlebih dahulu, mengambil botol sampo dan menuangkan sedikit ke tangan. Sembari mengacak rambut dengan sampo, ia teringat lagi gaya bicara lelaki itu. Ada logat khas yang tak Tia ketahui dari mana. Logat daerah, sepertinya bukan. Terlebih matanya warna hijau, tetapi rambutnya hitam. Sebenarnya dia orang mana, ya? Ingin memikirkan lebih lanjut, tetapi ia tepis dengan menggelengkan kepala.
"Ah, sudahlah. Nanti Si Tuan Puteri marah karena aku kelamaan dalam kamar mandi."
***
Hujan belum juga berhenti, bahkan sampai sore. Sedari tadi Tia masih duduk termenung di depan jendela, bersama ponsel BB tersandar di buku. Beberapa menit yang lalu, sahabatnya, Nina mengirimkan foto, ia bersama grup dancenya masih di sekolah untuk latihan lomba akhir tahun sekolah lain. Terjebak hujan juga. Ia hanya bisa pasrah, meletakkan kepala ke meja. Bibirnya cemberut, ia bingung ingin melakukan apa agar tidak terlanjut bete. Melirik tas biola di samping meja, ia pun mengangkat kepala dan membuka casenya. Diamati biola putih di hadapan, tak terasa senyumnya mengembang.
Ia mengambil biola, diletakkan di bahu bersamaan dagunya ditaruh di bagian bawah. Memegang bow di tangan kanan, mulai menggesekkan di senar bersamaan jari tangan kiri menekan senar sesuai nada.
"Tiaaa! Berisiiik! Aku lagi kerjain PR!"
Tia mendecak. Baru saja ia ingin berlatih lagu yang sedang tren sekarang, malah diteriaki kembarannya. Padahal, biolanya juga bukan biola listrik yang suaranya cukup nyaring. Namun, Rani suka marah-marah bila ia memainkan biola di rumah. Berbagai alasan dilontarkan. Ia sedang belajar lah, sedang tidur, sedang merekam video. Alasan yang diada-adakan. Meski demikian, ia lebih sering mengalah. Sebab kalau ia tetap bermain dan ada sang ibu di rumah, pastilah ia yang dimarahi. Padahal, ketika ia belajar waktu mendekati ulangan dan Rani berisik menelepon teman ataupun menyanyi tak jelas, ia tak pernah protes.
Ia kembalikan biola putih itu ke dalam case. Beralih mengambil diary berwarna ungu, ditambah tulip warna senada di depan. Tak lupa mengambil pulpen, mulai menulis tentang anak laki-laki yang ia temui menjelang siang tadi.
"Semoga saja aku ketemu dia lagi nanti," gumam Tia pelan, di bibirnya terlukis senyuman tipis.
Tak ada yang tahu, pertemuan itu menjadi suatu peristiwa awal yang mengubah seluruh hidupnya.
***
Selain bermain biola, hal yang disukai Tia adalah merenung sendirian di depan sungai, danau, ataupun laut. Ia sangat menyukai tempat yang didominasi air. Baginya, ketika melihat air, terasa begitu lega. Seringkali ia berbicara sendiri dengan biolanya, bila sedang tak dimainkan. Mengadukan apa saja yang terjadi hari itu. Lebih sering sendirian, sebab bertemu banyak orang membuatnya letih dan ia ingin mencari ketenangan.
Seperti sekarang ini. Sehabis menyemangati Nina lewat BBM yang akan latihan lagi di sekolah pagi-pagi hari Minggu, ia berjalan saja menuju sebuah danau. Memang, cukup jauh dari rumah bila berjalan kaki, tetapi pikirnya tak masalah. Rasa lelah berjalan cukup setimpal dengan keindahan danau yang dilihatnya.
Danau itu cukup dekat dengan rumah almarhum sang paman. Pamannya itu pula yang menghadiahkannya biola putih. Ia jadi tahu rute terdekat menuju danau itu karena sering ke sini. Dulu, pamannya mengurus kafe dan resto cabang Jakarta. Ketika beliau telah tiada, barulah cabang ini diurus oleh bibinya dari Banjarmasin, dan cabang di sana diurus orang kepercayaan.
Tia tidak begitu akrab dengan sang bibi karena suatu alasan. Sebab itu, kini ia tak berkunjung lagi ke rumah pamannya.
Sudah hampir tiba di danau, dahi Tia berkerut karena ada sepeda gunung warna hitam di bawah pohon mangga. Tak sampai di situ, ketika ia berjalan lebih dekat, ternyata ada seorang lelaki memakai kaus biru tua duduk di ujung titian, termenung sendiri. Sedikit mengendap-endap, ia mendekat sampai terhenti karena lelaki itu berbalik menghadapnya.
Sejenak, Tia kembali bertatapan dengan lelaki pemilik mata hijau itu.
Waktu seakan berhenti berdenting di antara mereka. Hanya beberapa saat, sampai akhirnya Tia tersadar dan menggeleng cepat.
"Kok kamu ada di sini?"
TBC
Author Notes
huftt buset dah ini novel terbengkalai banget, 8 tahun berlalu, akhirnya Otor remake ini novel. sehabis Kafe Jomblo tinggal ending aja lagi, chapter 1 ini pun selesai. mudah-mudahan Otor engga berubah pikiran mengkontrak eks ini novel karena Otor sesayang ituuuu
dah itu aja, selamat datang di novel pertama Otor yah, enjoy reading ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top