Chapter 8
Jam dinding sudah menunjukkan sekitar pukul delapan keesokan paginya, ketika Anna membuka matanya yang terasa berat dan lengket. Butuh beberapa saat bagi gadis itu untuk menyadari bahwa dia masih berpakaian lengkap ketika jatuh tertidur di kasur kamarnya, dan mengapa dadanya terasa begitu sesak.
Anna bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju cermin. Matanya merah dan bengkak, dan rambutnya lepek ke kepalanya. Tadi malam dia menangis habis-habisan di kamarnya, tanpa suara agar tidak membangunkan Carol dan Alex. Di kepalanya terngiang kembali percakapannya dengan Kevin semalam.
Colton Parker. Anak walikota yang lolos dari tuduhan pembunuhan teman sekolahnya, Toby Mozkovitz.
Anna berjalan masuk toilet dan membasuh wajahnya yang panas di wastafel. Hujan turun deras semalam. Dia meraba dahinya yang terasa agak hangat, mungkin karena tidur dalam keadaan rambut dan pakaian yang basah. Dia berlari menembus hujan ketika keluar dari mobil Kevin semalam. Memang cowok itu memayungi Anna dengan jaketnya hingga ke teras—sementara Skinny berlari duluan ke kandangnya yang kering di samping rumah—namun tetap saja, jaket Kevin bukan jaket anti air.
Mau tak mau Anna teringat kembali dengan perkataan Kevin kepadanya di teras semalam. Dia meminta maaf jika sikapnya menyebalkan sekembalinya mereka dari pertokoan Silbury. Kemudian, sebelum berbalik untuk kembali menembus hujan menuju mobilnya, cowok itu mengatakan sesuatu yang lain.
"Kau bisa menghubungiku kapan saja... kalau mau ngobrol." katanya saat itu, dengan titik-titik air menetes dari ujung-ujung rambut cokelat gelapnya, "Berjanjilah kau tidak akan keluyuran sendirian di pinggir tebing lagi seperti tadi."
Anna menatap bayangan dirinya yang sedang menggosok gigi di cermin toilet sembari mengulang perkataan itu. Sebetulnya apa yang diucapkan Kevin semalam benar-benar manis—walaupun secara teknis Anna tidak 'keluyuran sendirian', toh dia bersama Skinny—andai saja suasana hatinya tidak sedang buruk. Colton Parker kembali ke kota, entah apa tujuannya, dan mengingat hal itu saja sudah membuat hari yang cerah terasa suram.
Kejadian semalam membuat Anna seolah dipaksa menghadapi kembali kenangan pahit yang selama ini selalu berusaha dikuburnya dalam-dalam. Dia ingin menutup diri dari kasus itu, selama mungkin, hingga dia menjadi nenek-nenek dan ingatan itu terhapus dengan sendirinya saat dia menjadi pikun.
Anna meletakkan kembali sikat giginya ke dalam gelas. Sesungguhnya dia masih mempertanyakan motivasi Kevin mengatakan semua hal yang dikatakannya tadi malam. Jika Anna tidak salah menafsirkan, semua yang dikatakan Kevin mengindikasikan bahwa dia tidak menganggap Anna aneh. Tetapi apakah cowok itu benar-benar mempercayainya? Apakah Kevin percaya bahwa dirinya betul-betul tengah berbicara dengan Mr. Fisher waktu itu, mantan guru olahraga mereka yang kini telah meninggal dunia? Bagaimana reaksi Kevin bila Anna memberitahunya bahwa semalam, Anna berencana untuk bertemu dan mengobrol dengan Toby Mozkovitz?
Kenyataan bahwa Kevin Spencer dulu bersahabat dengan Toby Mozkovitz juga merupakan pukulan berat bagi Anna. Dia berusaha sedemikian rupa untuk melupakan kecelakaan itu dan Toby. Namun mendadak Toby kembali muncul di hadapannya dan tak lama kemudian Kevin, yang ternyata sahabat cowok itu, tahu-tahu jadi dekat dengannya. Seolah kebetulan semacam ini sudah tak terelakkan. Seolah Anna memang tidak ditakdirkan untuk dapat melupakan saja perasaannya terhadap Toby dengan tenang.
Terdengar suara ketukan di pintu kamar Anna, "Sayang, kau akan terlambat jika tidak berangkat sekarang."
"Sebentar lagi, Mom." Anna menyahut serak. Dia memandangi ranselnya yang teronggok menyedihkan di dekat kaki tempat tidur, dan bertanya-tanya apakah dirinya sungguh-sungguh siap untuk satu lagi hari berat di Hendersonville High.
***
PELACUR.
Pagi itu, seluruh murid Hendersonville dikejutkan dengan pemandangan mencengangkan di koridor sekolah mereka. Tulisan itu terpampang besar-besar di salah satu loker, putih dan mencolok, bahkan di tengah keramaian lalu-lalang orang.
Ada seorang gadis yang berdiri membeku di depan tulisan itu. Tangannya menggenggam tali tas berisi seragam pemandu soraknya dengan kaku, wajahnya pucat.
Amber Mills.
Anna bisa saja menghampirinya dan menanyakan apa yang terjadi, tetapi dia tidak ingin menghancurkan pandangan orang-orang terhadap Amber Mills lebih jauh lagi dengan membiarkan mereka melihat Amber berbicara dengan Si Aneh Anna. Lagipula, bel masuk berbunyi tepat saat itu.
"Vandalisme?"
Kim mengangguk. Anna dan Kevin sedang mendengarkan cerita versi Kim di ruang siaran siang harinya sambil menyantap makanan mereka. Beredar gosip bahwa yang mengecat loker Amber Mills adalah murid Hendesonville. Tetapi Kim rupanya mendapat informasi dari temannya yang ketua klub koran sekolah bahwa ini ulah orang luar. Para staf di ruang guru membicarakan hal itu, pelaku 'vandalisme' itu terekam kamera pengawas yang dipasang di loker. Orang itu mengenakan masker dan jaket bertudung, sehingga tidak dapat dikenali, namun dia terlihat membawa secarik kertas.
"Itu kertas daftar loker murid Hendersonville tahun ini. Kalau dia murid sini, dia harusnya langsung tahu di mana loker Amber karena dia bisa mengawasinya sepanjang waktu tanpa perlu repot-repot mencuri daftar itu dari ruang guru." kata Kim, "Ngomong-ngomong kau lihat cewek itu di kantin tadi? Dia tampak terguncang, wajahnya pucat sepanjang hari..."
Sampai sekolah berakhir, Anna masih memikirkan kemungkinan-kemungkinannya. Dia tidak tahu bagaimana pergaulan Amber Mills, apakah ada seseorang yang dendam dengannya atau semacamnya. Tetapi mempertimbangkan waktu terjadinya insiden ini, mau tak mau Anna jadi memikirkan satu kesimpulan yang paling masuk akal.
Bahwa mungkin saja Colton Parker terlibat dalam hal ini.
Kenyataan bahwa terjadi sesuatu di antara Amber Mills dan Colton Parker—walaupun Anna tidak tahu persis apa itu—turut memperkuat dugaannya. Kembalinya Colton ke Hendersonville mengejutkan semua orang. Dia adalah tersangka pembunuhan Toby Mozkovitz, walaupun kasusnya kemudian ditutup karena pengadilan memutuskan dirinya tak terbukti bersalah. Kasus itu sempat menggemparkan kota. Tidak ada bukti siapa pelaku pengrusakan sepeda—begitulah yang dikatakan berita televisi dan koran lokal waktu itu—namun Kevin berpendapat bahwa buktinya sengaja ditutup-tutupi demi mempertahankan posisi Thomas Parker. Tidak banyak yang bisa diperbuat. Thomas Parker telah berkontribusi begitu banyak, dia walikota idaman Hendersonville selama tiga puluh tahun terakhir dan belum ada yang rela kehilangan hal itu.
Colton pasti menyadari semua itu, bahwa kehadirannya sudah tidak diharapkan di kota ini sehingga dia juga tak mungkin kembali bersekolah di Hendersonville High. Maka mungkin saja dia tidak ingin menjadi 'tersangka' sendirian. Dia ingin menyeret seseorang bersamanya, dan itu adalah Amber.
Ketika mengungkapkan hal ini kepada Kevin di perjalanan pulang—cowok itu kembali menawarkan mengantar Anna dengan mobilnya—dia tidak tampak terkejut.
"Mungkin saja." komentarnya dingin, "Itu akan membuat segalanya menjadi jelas."
Anna mengernyitkan dahinya sejenak, sebelum ekspresinya perlahan diliputi pemahaman, "Motivasinya adalah Amber Mills?"
Kevin tidak menyahut. Dia terus memandang lurus ke jalan raya sembari menyetir.
Nyaris semua orang di sekolah tahu mengenai Colton dan Amber. Hal itu sudah seperti rahasia umum, tabu dibicarakan namun tetap masih diingat. Insiden 'vandalisme' ini mau tak mau membuat ingatan mengenai kecelakaan itu kembali menyeruak ke permukaan. Semua orang kembali mengait-ngaitkan kembalinya Colton dengan Amber. Semua orang juga mencurigai Colton sebagai pelaku penyusupan. Dan semua orang kembali mengingat duka mereka. Dan rak kaca di dekat lobi sekolah yang selama enam bulan terakhir disulap menjadi semacam 'altar kenangan' untuk Toby Mozkovitz kembali penuh oleh bunga-bungaan.
Anehnya, ketika semua orang tiba-tiba kembali mengingat dirinya, Toby malah tidak pernah muncul di hadapan Anna. Dirinya nyaris putus asa menunggu kehadiran Toby di Hill's Rock selama beberapa malam berturut-turut, tak mengindahkan permintaan Kevin untuk tidak melakukannya lagi.
Dan setiap pulang ke rumah nyaris tengah malam setelah berjam-jam lamanya, Anna naik ke kamarnya dan mengunci diri di dalam toilet, memandangi isi lemari obat di atas wastafelnya dan bertanya-tanya apakah Quetiapine-nya akhirnya menunjukkan reaksi.
***
"Bisakah kau memanggil arwah?"
Bibi Heather tersedak painya.
Hari itu Minggu pagi. Anna kembali mengajak jalan-jalan Skinny—bahkan menyempatkan diri untuk mampir ke Hill's Rock sebelumnya—dan memutuskan untuk mampir sejenak. Pai ayam Bibi Heather baru saja keluar dari panggangan, dan mereka berdua sedang mencicipinya sembari duduk di teras belakang, mengagumi pemandangan halaman belakang rumah itu yang kecil namun rimbun, dipenuhi berbagai jenis tanaman, mulai dari semak mawar hingga pohon ceri tua di sudut.
Sebagai respon susulan dari pertanyaan Anna, Bibi Heather meletakkan piring painya dan menenggak tehnya banyak-banyak. Dia menunjukkan ekspresi tak suka ketika kemudian menjawab, "Kita sama-sama tahu itu bukan hal yang pantas dilakukan siapapun."
"Yeah, tapi..." Anna melayangkan pandangannya ke arah rumah di belakang mereka, "...bisakah kau menyingkirkan benda itu sejenak?"
"Menyingkirkan—" Bibi Heather menjatuhkan pai dari garpunya, "Astaganaga, Anna! Apa yang terjadi padamu?! Kau yang paling mendukungku memasangnya setahun lalu tapi hari ini kau memintaku mencopotnya?"
Benda yang dimaksud masih tergantung di depan pintu masuk rumah Bibi Heather. Jika dilihat sekilas, orang biasa mungkin akan mengira itu semacam hiasan pintu hippie yang mengeluarkan bunyi-bunyian berkerincingan saat tertiup angin, namun hiasan berbentuk lingkaran dengan anyaman berpola rumit dan aneka benda yang digantungkan di bawahnya itu sesunggunya adalah Penangkal. Wanita itu pernah menjelaskan pada Anna bahwa benda itu menguarkan pertanda dilarang masuk bagi 'mereka yang tak kelihatan', seperti garis polisi bagi warga sekitar yang penasaran.
"Ya, tapi itu setahun yang lalu." Anna beralasan, "Hal-hal... berubah."
Bibi Heather meletakkan garpunya. Dia menatap keponakannya dengan pandangan tajam, "Berubah sejak Toby Mozkovitz, tepatnya."
Kali ini Anna yang menjatuhkan pai dari garpunya, sementara Bibi Heather meneruskan, "Jangan pikir aku tidak tahu. Aku sudah mengenalmu sejak kau masih berumur tiga hari. Aku tahu kau benar-benar menyukainya, Anna."
"Karena dia satu-satunya cowok yang bisa membuatku menulis surat konyol itu?" Anna bersandar pada kursinya, mendadak merasa agak mual terhadap painya.
"Carol meneleponku. Belakangan ini dia mengkhawatirkan kebiasaan barumu jalan-jalan malam. Dia curiga kau kembali 'mengobrol' dengan ayahmu." Bibi Heather berkata, "Karena itu aku membuntutimu."
Perkataan itu sontak membuat Anna terperangah, "Kau apa?"
"Dengan taksi, tentu. Aku tidak bisa bepergian jauh dengan kaki-kaki seperti ini..." wanita itu terkekeh gugup, "Aku melihatmu, sendirian di tempat itu. Kupikir kau memang menemui ayahmu, ternyata..."
"Kau memata-mataiku?" Anna bertanya lagi, suaranya bergetar menahan emosi.
"Anna." Bibi Heather mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Anna yang berada di atas meja, "Kau tahu keadaannya tidak bisa seperti ini terus."
Anna menatap tangan bibinya yang berada di atas tangannya dengan marah. Dia menariknya kasar.
"Aku tahu apa yang kulakukan."
Dengan raut kecewa, Bibi Heather bersandar ke kursinya, masih menatap Anna, "Kau yakin?"
Anna tidak menjawab. Dia bersikap seolah sangat tertarik dengan ranting-ranting pohon ceri di sudut taman yang basah bekas hujan.
"Kau harus menyelesaikannya. Membantunya. Hanya itu. Jangan... mengulur-ulurnya terlalu lama."
Anna tidak sanggup lagi berpura-pura tak peduli. Dia bangkit dengan kemarahan yang membuat dada dan tenggorokannya sakit.
"Terima kasih painya, Bibi Heather." kata Anna sambil meraih tali kekang Skinny, "Kami pulang saja."
***
Butuh waktu beberapa hari bagi petugas kebersihan untuk menghapus tulisan di loker Amber Mills. Catnya bahkan masih membekas sedikit, membentuk pola samar yang membuat tulisannya masih dapat terbaca seluruh murid Hendersonville yang tahu.
Anna sudah mulai melaksanakan perannya di klub siaran hari ini. Dan hal pertama yang sedari dulu kepingin dilakukannya adalah menyusun ulang rak CD lagu. Tangannya gatal untuk memilah-milah berdasarkan genre, kategori, atau tahun keluar. Anna menghabiskan nyaris setiap hari sepanjang hidupnya untuk mendengarkan musik—ayahnya dulu juga pecinta musik beragam aliran, sehingga koleksi CD-nya menggunung di gudang, harta terpendam yang nyaris diloakkan oleh Carol namun gagal karena protes berat Anna—sehingga dia merasa cukup percaya diri akan pengetahuan musiknya.
Kim bergidik ngeri ketika melihat jajaran pilihan album yang disodorkan Anna untuk diputar selama masa istirahat, atau sebelum bel masuk berbunyi. Sebaliknya, Kevin tampaknya bersemangat. Bahkan dia ikut merekomendasikan salah satu nama band yang menurutnya 'brilian', seperti yang ditunjukkannya di dalam mobil, sore itu, ketika dalam perjalanan pulang mengantar Anna.
"Mereka jenius." Kevin menyerahkan salah satu CD yang diambil dari tumpukan koleksinya di laci dasbor sebagai rekomendasi.
"Oke..." Anna cepat-cepat memasukkannya ke dalam ransel dan langsung turun dari mobil, membuat Kevin melongo bingung.
"Kenapa buru-buru sekali?" Kevin menurunkan kaca jendela mobil dan berseru kepada Anna, yang sudah setengah jalan menuju pintu depannya. Anna berbalik dan balas berseru.
"Tidakkah kau punya sesuatu untuk dikerjakan sehabis ini?" Anna balas bertanya karena tak mungkin dia menjelaskan bahwa alasannya buru-buru adalah ibunya yang melongok dari jendela dapur, memata-matainya. Kevin hanya merespon dengan mengangkat bahu.
"Tidak juga. Aku cukup luang." dia nyengir.
"Bye, Kev!" Anna menaiki tangga teras, "Trims tumpangannya!"
Cengiran Kevin memudar. Dia menatap Anna dari dalam mobil dengan tatapan yang sulit ditebak, "Sama-sama."
Tak lama, dia melajukan mobilnya dan berbelok di ujung jalan. Lalu Anna masuk ke dalam rumah dan disambut dengan pelototan garang ibunya yang berkacak pinggang.
"'Trims tumpangannya'?" katanya dengan nada campuran antara syok dan kecewa, "Aku tidak tahu kau tenyata sebebal itu, Anna. Mengapa kau tidak mengundangnya makan malam di sini?"
"Apa yang sebenarnya coba kau katakan, Mom?" Anna mencomot bolu kering di meja makan dan mengecup puncak kepala Alex yang sedang menonton televisi, "Kau tidak ke kantor hari ini?"
"Tidak..." dia menurunkan lengannya, "Aku berhenti."
Bolu kering di tangan Anna sampai nyaris tergelincir jatuh.
"Apa?"
"Kau dengar aku. Aku berhenti." Carol mendadak jadi sangat tertarik dengan tali ransel di bahu Anna, "Kau tahu, Heather sudah tidak sesigap dulu. Aku khawatir mengurus Alex hanya akan membuatnya semakin kerepotan. Jadi aku memutuskan untuk mengurusnya sendiri. Bagaimanapun juga akulah ibunya."
"Kau tahu bagaimana Bibi Heather selalu terlihat muram tiap kali kau atau aku menjemput Alex dari rumahnya." kata Anna, "Alex selalu meminta agar kita pindah ke rumah Bibi Heather."
"Aku tahu, pasti berat bagi keduanya. Tetapi aku merasa agak bersalah." Carol kini tertarik dengan sudut konter dapurnya, "Aku dapat pesangon yang cukup hingga Alex masuk sekolah dasar dan cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Dia bisa kembali ke sana. Heather tidak akan terlalu terbebani."
Anna terdiam. Bolu yang masih tersisa di mulutnya kini terasa seperti pasir. Dia tahu ibunya berbohong.
"Bukan Alex yang kau khawatirkan. Tapi aku." kata Anna. Carol menunjukkan ekspresi wajah seolah-olah dirinya baru kena tampar.
"Apa yang membuatmu berpikir-"
"Bawa aku ke psikiater, Mom. Lalu mereka akan bersikap seolah-olah mereka juga mengalami hal yang serupa denganku dan mengatakan omong kosong mengenai trauma masa kecil akibat kehilangan sosok ayah dan menyarankan terapi konyol untuk menghilangkan kebiasaanku bicara dengan ayahku yang sudah mati—"
"Anna!"
"—tetapi tidak sampai situ!" Anna tak mengindahkan peringatan ibunya dan melanjutkan dengan lebih berapi-api, "Kau tahu sesuatu, Mom? Kau tidak perlu lagi mencemaskan rutinitas baruku tiap malam dan meminta tolong Bibi Heather untuk membuntutiku karena aku hanya pergi untuk menemui Toby. Yeah, Toby Mozkovitz yang meninggal sekitar enam bulan yang lalu akibat kecelakaan sepeda untuk diskusi soal bagaimana keadaan di sekolah akhir-akhir ini, jadi sekalian saja titipkan aku ke rumah sakit jiwa..."
Kata-kata Anna terputus karena tamparan keras dan menyakitkan yang mendarat di pipi kirinya. Anna mematung syok. Sepanjang hidupnya, belum pernah dia melihat Carol memukul siapapun. Bahkan Carol tidak pernah sekalipun mencubitnya. Kenyataan bahwa ibunya baru saja membungkamnya dengan tamparan betul-betul membuatnya terguncang.
"Kau sudah merendahkanku, Anna." Carol berujar muram. Suaranya bergetar serak, "Aku menyayangimu dan aku tidak menganggapmu gila."
Anna menatap ibunya marah.
"Coba katakan itu pada Dad. Mungkin dengan begitu dia akhirnya bisa pergi dengan tenang."
Alex menangis di kursi balitanya. Sementara ibunya berbalik untuk menghampiri Alex, Anna melempar sisa bolu keringnya ke tong sampah dan naik ke lantai atas dengan mata panas dan tenggorokan yang sakit.
---
*nangis di pojokan*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top