Chapter 5
Insiden tubrukan di koridor itu nampaknya menjadi semacam titik temu bagi Anna dan Kevin. Dalam waktu singkat, mereka jadi sering saling bertegur sapa di setiap kesempatan ketika mereka berpapasan di koridor saat pergantian kelas—karena Kevin kelas dua belas sehingga tidak mungkin mendapatinya kebetulan sekelas dengan Anna—atau bertemu di luar sekolah secara tidak sengaja. Dan makan di ruang tunggu siaran sudah menjadi agenda rutin bagi Anna sekarang. Bahkan akibat keakraban yang aneh ini, Kim jadi mengajukan wacana mengenai Anna yang bergabung dengan klub siaran.
"Aku nggak pintar ngomong." tolak Anna langsung, siang hari itu ketika dia, Kim, dan Kevin berkumpul di ruang siaran untuk makan siang bersama.
"Kaupikir aku mengajukanmu untuk jadi penyiar?" Kim terbahak, sementara Kevin hanya menggeleng-geleng, "Maksudku, sejenis asisten. Kau bertugas menyusun jadwal piket ruang klub, membeli CD lagu baru, semacam itu. Well, terkadang mungkin kau akan perlu membacakan pengumuman-pengumuman di jam istirahat."
"Dia hanya panik." Kevin memberitahu Anna, "Klub siaran tidak bertambah jumlah anggotanya sementara sebentar lagi aku sudah harus ikut berbagai ujian."
Anna terdiam mendengarnya. Itu benar. Kevin sudah menginjak tahun terakhirnya di Hendersonville High dan sebentar lagi dia akan lulus.
"Kau tidak mungkin mengurus klub sendirian." simpul Anna, membuat mata Kim berbinar cerah.
"Yeah! Kevin akan meninggalkan klubnya untuk diurus anak kelas sebelas sepertiku... sendirian! Please, Anna. Kau satu-satunya cewek asyik yang bisa diandalkan." ujar Kim memelas, membuat Anna mau tak mau merasa tersanjung. Biar bagaimanapun, dua orang di hadapannya saat ini merupakan orang-orang pertama yang betul-betul bisa disebut partner mengobrol bagi Anna. Memang ada beberapa orang yang cukup oke bagi Anna karena tidak memanggilnya dengan sebutan 'Aneh'—seperti pasangan berkelompoknya, Terry, dalam pelajaran Matematika, atau Christine, cewek yang biasa duduk di sebelah Anna di kelas Bahasa Inggris—namun mereka hanya 'kenalan'. Mereka bicara terkadang, namun tidak mengobrol di saat-saat senggang. Kim dan Kevin—walaupun Anna belum mengenal mereka selama itu—dapat dikategorikan sebagai 'teman'.
Kembali ke ruang siaran, di mana Anna sedang menghadapi sepasang mata besar milik Kim yang menatapnya memelas.
"Sudahlah, Kim." kata Kevin, tampaknya merasa tidak enak. "Anna, kau tidak perlu melakukannya jika kau—"
"Baiklah." Anna akhirnya berkata.
Kim dan Kevin sama-sama bengong.
"Aku uh... akan bergabung." Anna memutuskan, "Lagipula Mr. Fawcett sudah lama mewanti-wantiku soal gabung salah satu klub. Akan bagus di resume-ku nanti, katanya."
Tatapan memelas Kim kontan digantikan ekspresi gembira dan cewek berambut ungu itu tahu-tahu melompat memeluk Anna, membuat kotak jus di tangannya nyaris tergencet.
"Oooooh, kau memang penyelamat!" Kim berseru di dekat telinganya, membuat Anna meringis, "Kau memang ditakdirkan menjadi penyelamat!"
Seolah belum cukup dikejutkan dengan fakta baru bahwa dirinya tergabung dalam klub siaran mulai hari ini, sore harinya Anna mendapati bahunya disentuh oleh seseorang ketika dirinya tengah menuruni tangga lobi hendak menyeberangi lapangan parkir.
"Terima kasih. Soal tadi siang." Kevin dengan gesit menyamakan langkahnya dengan Anna. "Kau memang penyelamat."
"Berhenti mengatakannya atau aku akan mulai berpikir berikutnya aku bisa terbang dan punya kekuatan super." Anna berkata sebal, membuat Kevin terkekeh. Ketika nyaris mencapai gerbang, cowok itu memperlambat jalannya.
"Sebetulnya—" Kevin berhenti mendadak, membuat Anna ikut berhenti, "Ng... kau mau kuantar?" dia melambaikan tangannya asal ke belakang, mengarah ke suatu tempat di parkiran, dan melanjutkan, "Aku parkir mobilku di sana."
"Oh." Anna butuh waktu sejenak untuk mencerna perkataan Kevin barusan, "Oke."
"Cool." Kevin nyengir, "Ayo."
Anna mengikuti Kevin berjalan kembali memasuki parkiran. Ketika tiba di mobilnya—Ford Capris tua warna hitam—cowok itu kembali berkata, "Uh, tidak ada unsur paksaan, kok."
Anna nyengir, "Kau tahu, kau sudah membuatku menghemat ongkos bus, jadi... tidak ada paksaan."
"Hebat." Kevin mengangguk sambil terkekeh.
Selama sepuluh menit perjalanan, Anna dan Kevin tidak banyak bicara. Hanya sekali Kevin membuka suara untuk menawari Anna jika ingin memilih CD lagu tertentu di dalam laci dasbornya untuk diputar. Maka Anna jadi asyik melihat-lihat koleksi CD Kevin. Kebanyakan namanya sudah pernah dilihatnya dari rak klub siaran, karena itu Anna bertanya penasaran.
"Kau meminjam ini semua dari klub, ya?"
"Begitulah." sahut Kevin. Mereka berhenti di lampu merah, "Kau tahu itu semua?"
"Kebanyakan." Anna menunjukkan salah satu CD yang memiliki gambar sampul agak kontroversial, "Seperti yang ini. Sekali lihat aku langsung hapal."
Kevin tergelak, "Tentu saja."
Lampu berubah hijau. Kevin kembali melajukan mobil.
"Jadi, kita ke kiri atau terus?" tanyanya, membuat Anna tersadar dia belum memberitahukan lokasi rumahnya.
"Ke kiri."
Ford Capris Kevin menepi di trotoar depan rumah Anna kurang dari setengah jam kemudian. Cowok itu berkata bahwa dia akan mengirimkan jadwal piket klub ke e-mailnya malam ini, membuat Anna kembali teringat akan sesuatu yang sudah lama ingin dikatakannya. Anna terdiam sejenak ketika satu kakinya sudah melangkah keluar mobil. Dia memegangi pintu mobil ragu-ragu.
"Kevin. Mm, terima kasih. Sungguh." kata Anna tiba-tiba. Cowok itu terlihat agak bingung, maka Anna meneruskan. "Karena sudah mengizinkanku makan di ruang tunggumu selama ini. Dan... sudah memberiku tumpangan."
Kevin betul-betul kelihatan terpana sekarang. Sepertinya tidak terpikir olehnya bahwa Anna akan mengatakan hal semacam itu. Kemudian, dengan cepat dia menguasai diri dan tersenyum, "Bukan masalah."
Anna balas tersenyum dan melangkah keluar. Ketika mobil Kevin sudah berbelok di ujung jalan dan menghilang dari pandangan, barulah Anna melangkah memasuki halamannya. Skinny—yang sedang tidur-tiduran di rumput—menegakkan kepala dan menggoyangkan ekornya ceria begitu Anna berjongkok dan mengelusnya. Di dalam rumah, Anna dikejutkan dengan pemandangan ibunya—yang memegangi ketel teh di tangan kanan dan sendok di tangan kiri—sedang berdiri di depan jendela ruang tamu. Begitu melihat Anna muncul di pintu, Carol bertanya separuh berbisik.
"Kau diantar seseorang?"
"Hanya teman." jawab Anna. Carol menyipitkan mata.
"Aku tidak tahu kau punya teman cowok." katanya curiga. Mendengarnya, Anna memutar bola mata dan berbalik untuk menaiki tangga.
"Hei, aku bukannya keberatan kalau kau punya pacar!" Anna masih dapat mendengar ibunya berseru main-main dari bawah, sementara Anna sudah tiba di lantai dua dan menutup pintu kamarnya. Dia menjatuhkan ranselnya begitu saja di lantai dan menggabrukkan diri ke atas kasur.
Tidak akan ada yang mau jadi pacar Si Cewek Aneh.
***
Anna melihatnya lagi.
Sepucuk surat yang begitu mengundang untuk dibuka. Tetapi tangannya tak pernah sampai untuk membuka amplopnya.
Pemandangan dari atas. Bekas pabrik tua dengan tangki-tangki besi raksasa.
Lalu roda-roda itu. Roda-roda yang berputar.
Dan Anna berada di koridor sekolah. Semua orang yang dikenalnya mengenakan pakaian hitam.
Anna kembali terbangun di kasurnya bersimbah keringat, padahal malam itu cukup dingin. Dengan gemetar dia berjalan menuju toilet, membuka lemari obat di balik cermin wastafel dan meraih bungkusan kecil yang tempo hari dipungutnya dari tempat sampah Bibi Heather. Anna menenggak dua butir sekaligus, menyalakan keran dan menenggak airnya. Kemudian gadis itu mendudukkan diri di toilet untuk menenangkan diri. Di saat-saat seperti ini, dia benar-benar membenci dirinya sendiri.
***
Jumat siang.
Bel istirahat siang sudah berbunyi kira-kira sepuluh menit yang lalu di Hendersonville High. Anna berjalan perlahan-lahan menaiki tangga tribun gimnasium sembari membawa nampannya. Kepalanya pusing. Seluruh sendi-sendi tubuhnya terasa ngilu seperti habis dipukuli. Dia tidak bisa pergi ke ruang siaran dalam kondisi seperti ini. Kim pasti akan menanyainya macam-macam, dan Anna benci harus berbohong.
"Anna?"
Anna mendongak dan melihat sesosok tinggi dan langsing tengah berdiri tak jauh darinya. Amber Mills, dengan seragam pemandu sorak dan pom-pom di satu tangannya.
"Hai." Amber menyelipkan helaian rambut di dekat pelipisnya ke belakang telinga, tampak canggung, "Boleh aku bicara sebentar?"
Anna mengangguk kaku, "Tentu."
Cewek itu berjalan ke arah kursi tribun berjarak satu anak tangga dari kursi tempat Anna duduk. Lalu dia duduk di sana, membelakangi Anna.
"Tentang Toby. Aku meminta maaf padanya. Sebelum—" Amber menggantungkan kalimatnya. Anna diam saja. Dia hanya menatap lapisan keju yang menyembul dari roti isinya. Lalu Amber melanjutkan, "T-tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Kupikir aku akan dibenci selamanya."
Anna masih diam. Dia mengangkat pandangannya, menatap Amber dari belakang. Rambut pirangnya yang dikuncir tinggi di belakang kepalanya jatuh sempurna ke punggungnya. Kemudian cewek itu berkata lagi, "Aku tahu aku jadi bahan pembicaraan seantero Hendersonville. 'Gadis jalang' dan cacian lainnya... aku tahu orang-orang bergunjing di belakangku. Aku bertahan karena ini." Dia melambaikan pom-pomnya seraya terkekeh hampa, lalu menunjuk ke arah teman-teman satu timnya yang sedang berlatih di tengah gimnasium. "Dan mereka."
Amber menunduk. Anna tidak dapat melihat ekspresinya karena cewek itu duduk membelakanginya.
"Kemudian kau datang dan menyampaikan pesannya." dia berkata, menoleh kepada Anna dengan mata yang berkaca-kaca, "Aku lega dia tidak membenciku."
Selama ini, kesan semua orang terhadap Amber Mills adalah dia cewek cantik yang mengintimidasi. Oleh karena itu, Anna cukup syok menghadapi pemandangan ini.
"Kau sangat menyayanginya, ya?" Anna memperhatikan Amber yang hanya tertawa kecil.
"Mungkin kau benar. Hanya saja aku terlalu idiot untuk menyadarinya sejak dulu." dia bangkit dari kursinya dan menghapus air matanya, "Trims, karena sudah bicara denganku. Aku benar-benar menghargainya."
Anna mengawasi Amber yang berbalik menuruni tangga tribun. Masih ada satu hal yang ingin diketahuinya, karena itu Anna bangkit dan memanggilnya.
"Apa hubunganmu dengan Colton Parker?"
Pertanyaan itu sukses membuat Amber menghentikan langkahnya. Anna dapat melihat pundak cewek itu menegang sesaat sebelum dia berbalik menghadapnya.
"Semua orang di Hendersonville tahu soal itu." kata Amber dengan nada jangan-bercanda-denganku. Anna menggeleng. Mau bagaimana lagi? Perhatiannya sepenuhnya teralih pada hal yang jauh lebih besar waktu itu. Gosip perihal Amber dan Colton bukanlah fokusnya. Amber memalingkan wajahnya sebelum melanjutkan, "Dia adalah... kesalahan terbesarku."
Anna harus puas hanya dengan jawaban misterius itu, karena Amber segera menuruni tribun untuk kembali bergabung dengan kawan-kawannya dengan langkah-langkah cepat, tak mengizinkannya untuk bertanya lebih banyak.
Dan bahkan Anna belum sempat duduk sepenuhnya ketika pandangannya tak sengaja jatuh pada sosok di dekat pintu keluar darurat gedung gimnasium, persis di sudut bawah tribun. Sosok berambut hitam itu mengenakan jaket tim futbol Hendersonville High, dan pandangannya tertuju pada seseorang di antara tim pemandu sorak yang sedang berlatih formasi baru di tengah lapangan.
***
"Kau dengar semuanya."
"Yeah."
Langit kota Hendersonville sudah menggelap sepenuhnya. Lima menit yang lalu, masih ada semburat jingga yang menyembul dari balik awan-awan di batas horizon sana. Lampu jalan tak jauh dari tempat Anna dan Toby duduk sekarang telah dinyalakan, mengingatkan gadis itu berapa lama waktu yang sudah dihabiskannya demi menemani cowok itu.
Anna bolos beberapa pelajaran terakhir. Dia juga tidak mengembalikan nampan makan siangnya ke kantin. Toby mendadak muncul dan menuntut Anna untuk menemaninya sepanjang sore itu di Hill's Rock—atau begitulah setidaknya yang tercantum di papan nama jalan beberapa ratus meter dari tempat Anna dan Toby duduk saat ini—untuk kembali memandangi pemandangan sendu bekas pabrik tua di bawah tebing sana.
Kali ini Anna menggunakan bus, yang ternyata berhenti di sebuah halte yang cuma membutuhkan beberapa menit jalan kaki untuk mencapai tanjakan itu. Jauh lebih efisien dibandingkan kunjungannya yang lalu.
Toby kembali duduk di pagar pembatas yang agak penyok, sementara Anna lebih memilih untuk duduk di tanah dan bersandar pada pagar pembatas jalan. Entah bagaimana, hal itu memberinya perasaan lebih aman, mengingat mereka hanya berjarak beberapa meter dari tepi tebing.
Colton Parker. Anna mengulang dalam hati. Terpikir olehnya untuk menyebutkan namanya di depan Toby, namun urung. Cowok itu tampaknya masih berkelana di dalam pikirannya mengenai hubungannya yang rumit dengan Amber Mills.
"Dia bilang dia lega kau tidak membencinya." Anna memecah keheningan, setelah beberapa menit hanya saling diam. Toby tersenyum.
"Aku tidak pernah membencinya."
Anna bertanya heran, "Lantas mengapa kau tidak mengatakan apa-apa kepadanya ketika dia meminta maaf padamu?"
"Karena..."
Toby terdiam. Pandangannya menewarang selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia menoleh memandang Anna dengan tatapan intens yang belum pernah Anna lihat sebelumnya. Dan Anna terkunci dalam pandangannya.
Karena...? Anna mengucap dalam hati. Karena... apa?
Toby masih saja memandangi gadis di hadapannya itu.
"Karena aku menerima sesuatu. Pada hari itu." kata Toby akhirnya, "Dan perhatianku tersita."
Toby mengalihkan pandangannya dari Anna dan kembali memandangi langit malam. Anna tidak merasakan dorongan untuk bertanya lebih lanjut, karena rasanya dia tahu apa sesuatu yang dimaksud oleh Toby pada perkataannya barusan.
"Anna?"
Anna menggumam pelan, menandakan dirinya mendengarkan.
"Maukah kau..." Toby berhenti sejenak, "...mengobrol denganku di sini, jika kita tidak bisa bertemu di sekolah?"
"Sekolah mulai membosankan?" Anna terkekeh muram, menendangi kerikil dengan sepatunya.
Toby tidak langsung menjawab. Cowok itu mengawasi kerikil-kerikil yang ditendangi Anna berguling jatuh melewati tepi tebing.
"Tempat itu sudah semakin asing bagiku..." gumamnya pelan, membuat Anna terdiam dan berhenti menendangi kerikil. Lalu cowok itu menambahkan dengan nada jengkel, "Dan lokerku selalu macet."
"Lupa nomor kombinasimu?"
"Tidak. Hanya... macet."
Toby menghela napas panjang. Dia menunduk memandangi tubuhnya. Jaketnya. Lalu berkata lagi, "Rasanya ini sudah tidak lagi berarti."
Anna ikut memperhatikan jaket tim futbol berwarna biru-putih itu, "Tetapi kau selalu mengenakannya."
"Yeah." Toby terkekeh, "Aneh, bukan?"
"Kau tahu, Toby." Anna tiba-tiba bangkit dari tempatnya duduk. Dia menepuk-nepuk belakang jinsnya yang terkena tanah, "Apa kau tahu apa julukan yang mereka berikan kepadaku di sekolah?"
Toby hanya diam, namun pandangannya menyiratkan rasa ingin tahu. Maka Anna meneruskan, "'Aneh'. Mereka memanggilku Si Aneh. Sepanjang waktu. Aku tidak punya tempat di kantin. Mereka mencoreti lokerku, terkadang. Dan selalu ada yang berusaha membuat barang-barangku terjatuh setiap pergantian kelas. Pada dasarnya, aku benci sekolah. Aku sudah lama mengidamkan untuk bisa keluar dari sana, secepat mungkin. Jadi, kau tidak sendiri."
Toby menatap Anna. Kemudian mereka saling tersenyum. Tetapi Anna tahu, itu bukan jenis senyuman persekutuan. Itu lebih terasa seperti senyuman simpati, jenis yang mereka sunggingkan untuk mengasihani satu sama lain, juga diri sendiri.
Lalu Toby menaikkan sebelah alisnya yang tebal dan mengagumkan, "Mengapa mereka menjulukimu seperti itu?"
Anna menghindari tatapan Toby, "Kecenderunganku melihat... hal-hal."
Ketika mendapati Anna tidak menjelaskan lebih jauh, Toby hanya mengangkat alisnya kembali dan mendengus geli.
"Kau? Aneh?" dia tertawa, "Omong kosong."
---
Pfft. Omong Kosong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top