Chapter 4

Senin siang di Hendersonville High yang ramai.

Seperti biasa, Anna membawa nampan makan siangnya—berisi semangkuk sup kental, sandwich daging asap, dan sekotak jus jeruk—keluar dari kantin menyusuri koridor. Di luar hujan turun begitu derasnya, sampai-sampai kaca jendela besar dekat lobi yang biasanya tidak pernah basah terkena air hujan karena terhalang atap, kini terciprat sepenuhnya.

Anna membenci hari berhujan. Bukannya dia selalu membenci hujan, jika saat ini dia sedang berada di rumah, dia akan sangat menyukai hujan karena suara dan aroma yang ditimbulkannya, juga membuat kamarnya terasa sejuk. Tetapi ini di sekolah, di jam istirahat. Jika hujan, Anna tidak akan bisa membawa makanannya ke gimnasium yang mengharuskannya berjalan menyeberangi lapangan parkir, atau membawanya ke tangga darurat karena dia akan basah kuyup walau hanya lima menit duduk di sana.

Maka pilihan satu-satunya adalah ruang santai siaran, yang sialnya begitu Anna hampiri, tidak dalam keadaan kosong.

Seorang cewek dengan rambut ungu yang dikuncir tinggi buru-buru mencegat Anna ketika dirinya hendak melewati ambang pintu, "Sori, bukan untuk umum, apalagi kau bawa makanan."

Anna berdiri menatap cewek mungil itu—yang belum pernah dia lihat sebelumnya—seraya memegangi nampannya kebingungan, tak tahu lagi harus menyahut apa. "Aku biasa makan di sini."

Cewek itu balas menatap Anna dengan pandangan aneh, "Bukankah orang-orang biasanya makan di kantin?"

"Yeah..." sebuah suara lain tiba-tiba ikut nimbrung sebelum Anna sempat membuka mulutnya untuk menyahut, "...tapi dia kayaknya bukan cewek biasa."

Si ketua klub siaran yang biasanya tak pernah bicara sepatah katapun selama ini tiba-tiba muncul di belakang Anna, membuatnya terlonjak kaget.

"Kevin." ujar si cewek rambut ungu, "Temanmu?"

Si ketua, yang ternyata bernama Kevin, mengangkat bahunya. "Entahlah. Bagaimana menurutmu? Ngomong-ngomong, kau bisa pergi sekarang. Shift-mu sudah habis."

"Wah, kau penyelamat." cewek itu nyengir, kemudian mengulurkan tangannya kepada Anna, "Panggil aku Kim. Dan kau... si teman Kevin?"

"Uh, Anna." Anna dengan kikuk menyambut uluran tangan Kim setelah memindahkan nampan ke tangan kirinya.

"Masuklah." Kevin menyeletuk, "Kau menghalangi pintu."

"Oh, sori." Anna buru-buru menyingkir, menyadari dirinya memblokir Kevin yang hendak masuk sekaligus Kim yang ingin keluar. Kim menyerukan 'Sampai nanti!' kepada Kevin dan berjalan ke koridor menuju kantin.

Seperginya Kim, Anna mengawasi dari sudut matanya Kevin yang beranjak masuk ke dalam ruang siaran. Anna duduk di sofa ruang tunggunya, merasa bahkan jauh lebih canggung dari sebelum-sebelumnya.

Anna mulai bertanya-tanya dalam hati apakah keberadaannya selama ini di dalam ruangan itu merupakan gangguan bagi Kevin—walaupun tidak setiap hari dia memilih makan siang di situ. Mereka memang tidak pernah saling bicara sebelumnya, dan jika dipikir-pikir lagi sekarang rasanya sangat aneh. Bagaimana bisa mereka berada di sana selama ini tanpa pernah sedikitpun berkomunikasi? Mungkinkah Kevin menghindarinya karena tahu predikat Anna sebagai si Aneh?

Sembari bertanya-tanya apakah Kevin tipe yang terlalu sopan untuk memintanya makan di tempat lain, Anna mengawasi cowok itu dalam ruang rekaman, membacakan pengumuman ke pengeras suara. Kemudian sadar bahwa dia sama sekali belum menyentuh makan siangnya.

***

Sudah nyaris satu jam Anna berjalan berputar-putar daerah pertokoan Sabtu sore itu, melihat-lihat benda-benda unik di toko barang antik, mencoba aroma terapi baru untuk kamarnya, serta mencarikan peralatan melukis baru titipan Bibi Heather. Wanita itu suka sekali melukis, walaupun kesukaannya itu tidak didukung dengan bakat. Lukisan hasil karyanya melulu berupa bunga-bungaan, atau tanaman hias, atau terkadang tiruan halaman depannya yang berwarna-warni. Dan seringnya karena putus asa melihat lukisan-lukisannya yang tidak berkembang, Bibi Heather hanya membungkusnya dan menaruhnya di gudang rumahnya, untuk 'suatu saat nanti', katanya—yang belum pernah terjadi sejauh ini—akan dipilah-pilah dan kalau beruntung, dia bisa mengadakan garage sale dan menjual beberapa.

Ngomong-ngomong, Anna sudah selesai dengan belanjaannya, dia berjalan di trotoar menuju halte bus sambil mengecek ulang daftar barang di secarik kertas yang sedari tadi dipegangnya dan membuang kertas pelapis es krimnya ke tong sampah terdekat. Dan jantungnya nyaris melompat keluar rongganya ketika dia berbalik dan melihat Toby berdiri di hadapannya.

"Astaga!" Anna mencengkeram dadanya sementara Toby hanya tersenyum, "Kasih peringatan sedikit dong!"

"Dari tadi aku mengikutimu. Tapi kau tampaknya lagi asyik belanja, jadi aku tidak mau mengganggu." ungkap Toby. Dia tampak imut dan mengagumkan di bawah sinar matahari dengan jaket tim futbol kebanggaannya, seperti biasa.

"Apa sih kau ini? Penguntit?" sindir Anna, kembali berjalan sementara Toby mengikutinya sambil nyengir.

"Begitulah." katanya tak terpengaruh kesinisan Anna, "Aku tahu kau sudah bicara dengan Amber."

Kata-kata itu sontak membuat langkah Anna terhenti.

"Yeah?" pancing Anna.

Toby mengangguk ceria, "Yeah. Rasanya lega dia bisa mengetahuinya. Trims."

Anna mengerjap tak percaya mengetahui cowok itu masih berdiri di hadapannya sambil senyam-senyum. Mungkin sekitar sepuluh detik Anna hanya mematung di tempatnya, memperhatikan Toby.

"Apa?" cengiran Toby memudar, "Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Itu saja?" Anna bertanya.

"Apanya?" Toby balas bertanya.

"Reaksimu?"

Toby mengangkat alisnya tinggi sekali, "Memangnya aku harus apa lagi? Salto di udara?"

Anna menatap Toby lurus-lurus. Dugaan bahwa pekerjaannya belum tuntas ternyata terbukti betul.

"Kau punya sesuatu lagi untuk kukerjakan, ya?" Anna kembali melanjutkan langkahnya. Toby hanya mengangkat bahu.

"Aku tidak paham apa maksudmu." ujarnya polos.

Anna berputar menghadap Toby, rasanya urat kesabarannya benar-benar putus sudah. "Toby, kau— ugh!"

"Aku... ugh?" Toby melongo.

"Sudahlah!" semprot Anna, kembali berjalan. Kali ini dengan langkah lebar-lebar dan tidak sekalipun melirik Toby yang merendenginya dalam diam.

"Kau marah padaku?" tiba-tiba Toby membuka suara setelah kurang lebih sepuluh menit diam-diaman. Anna hanya tertawa hambar.

"Marah?" Anna membetulkan sampiran tas di bahunya dengan emosi, "Kenapa aku harus marah?"

"Mungkin... bagimu aku ini merepotkan?"

"Well, bagaimana menurutmu?" Anna balik bertanya ketus, "Kirim e-mail saja kalau mau titip pesan ke teman-temanmu! Aku bukan tukang pos!"

Beberapa orang yang kebetulan lewat di dekat situ menatap Anna dengan pandangan aneh. Sadar bahwa dirinya berbicara terlalu keras, Anna merendahkan suaranya, namun masih bernada kesal, "Dan tolong jangan muncul seenaknya lain kali!"

Toby berhenti begitu mendadak, sampai-sampai Anna baru sadar Toby sudah tidak berjalan di sampingnya saat dia sudah beberapa meter jauhnya dari cowok itu.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya." Toby berkata pelan.

"Aku tahu persis kau tidak bisa melakukannya, Toby." kata Anna, merasa bodoh dan kesal terhadap dirinya sendiri karena meledak-ledak seperti ini di tempat umum. Tetapi dia sudah tidak tahan. Untunglah jalanan itu sedang sepi, "Karena itulah kau meminta bantuanku, kan? Tetapi ini tidak adil. Sudah setengah tahun dan aku nyaris bisa melupakanmu tetapi mendadak kau... kau muncul dan meminta bantuanku..."

"Setengah tahun?" Toby memotong.

"Ketika aku menulis surat untukmu." beber Anna, berusaha keras mengabaikan dadanya yang sesak dan matanya yang mulai terasa panas. "Surat itu kutulis setengah tahun yang lalu."

Toby menggeleng-geleng, seolah tak percaya dengan perkataan Anna. "Tetapi aku menemukannya di lokerku... baru beberapa hari yang lalu!"

Anna menatap Toby putus asa. Dia lelah mencoba meyakinkan Toby. Dan dia juga lelah mencoba menahan-nahan jatuhnya air mata. Toby melihatnya dan nampak kehabisan kata-kata.

"A—apa salahku?" dia bertanya dengan sama putus asanya, "Anna, apa yang sebenarnya terjadi? Aku—"

"Untuk yang satu itu, aku tidak bisa membantumu." Anna mengelap pipinya yang basah dengan punggung tangannya dan berbalik pergi. Anna tidak menoleh-noleh lagi dan dia lega Toby tidak coba menyusulnya atau apa.

Kenapa aku? Anna menggigit bibirnya geram. Kenapa harus aku?

Pemandangan Bibi Heather yang berdiri di teras rumahnya lima belas menit kemudian tidaklah terlalu mengagetkan bagi Anna. Wanita itu memperhatikan Anna yang berjalan mendekat dan membuka pintu pagar dengan tampang kacau dan mata merah bekas menangis.

"Apa yang terjadi?" tanya wanita itu khawatir, bahkan sebelum Anna sempat menyerahkan bungkusan belanjaannya.

"Rumit." sahut Anna, malas menjelaskan lebih jauh. "Kau menungguku di sini sepanjang sore atau bagaimana?"

"Hanya beberapa menit yang lalu, sebetulnya." Bibi Heather tersenyum sedih, "'Radar'ku ini mendeteksi ada sesuatu yang tidak beres. Masuklah."

"Yeah, terima kasih." Anna berkata sengau seraya menaiki undakan teras dan memasuki rumah bibinya. Setelah meletakkan begitu saja belanjaannya di konter dapur, Bibi Heather menyeduhkan teh mint untuk Anna dan menarikkan salah satu kursi meja makan dan menyuruh keponakannya itu untuk duduk.

"Minumlah. Kau tampak parah." katanya terus terang.

"Terima kasih." Anna menyesap tehnya.

Bibi Heather duduk di kursi di hadapan Anna, "Kau mau cerita?"

Anna meletakkan cangkirnya perlahan, "Seseorang... kembali muncul."

Bibi Heather mengangkat alis, "Oh."

Anna mengangguk muram, "Yeah."

Keduanya tak saling bicara selama beberapa saat. Anna meneliti pola di cangkir tehnya dengan tatapan kosong sementara Bibi Heather mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya.

"Dia... kenalanmu?" tanya Bibi Heather.

"Satu sekolah denganku. Kelas dua belas. Toby Mozkovitz."

Sepasang mata Bibi Heather melebar mendengarnya, "Oh." katanya, "Bu-bukankah kau menulis—?"

"Aku tahu, tolong jangan singgung-singgung itu lagi." tukas Anna.

"Sejak kapan?" tanya wanita itu lagi.

"Belum lama ini."

"Apa yang dia inginkan?"

"Itu dia." Anna meletakkan kedua sikunya di meja dan meremas rambutnya, "Aku tidak tahu."

"Tetapi..." Bibi Heather mengerucutkan bibir, kebiasaannya ketika sedang berpikir serius, "...mengapa sekarang?"

"Entahlah." Anna menggeleng pasrah.

"Pasti ada alasannya." Bibi Heather berkata yakin, "Tidak mungkin dia mendadak muncul dan menemuimu tanpa alasan."

Anna tertawa hambar, "Apapun itu, kayaknya dia tidak berniat membuat segalanya mudah."

Bibi Heather memperhatikan keponakan perempuannya itu dengan tatapan campuran—antara rasa sayang dan iba. Dia mengulurkan kedua tangannya dan menggenggam tangan Anna, "Kau tidak bisa mengabaikannya, Sayang."

Anna menenggak sisa tehnya hingga habis, "Aku tahu." Kemudian dia meletakkan cangkirnya dan berkata, "Aku ingin ke toilet sebentar."

Gadis itu bangkit dan berjalan keluar dapur, menyusuri koridor kecil di sebelah tangga menuju lantai atas dan memasuki salah satu pintunya. Di dalam toilet, Anna melihat pantulan dirinya yang menyedihkan melalui cermin wastafel. Matanya bengkak dan sayu. Dia membuka keran dan membasuh wajahnya, membiarkan air yang dingin membasahi kulit dan pelupuk matanya yang masih terasa panas.

Kata-kata Bibi Heather terngiang di telinganya selagi dia mengerigkan wajahnya dengan handuk kecil. Kau tidak bisa mengabaikannya. Kau tidak bisa mengabaikannya. Seolah-olah Anna pernah mengabaikan seseorang saja.

Ketika Anna hendak berbalik, matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang menarik di tempat sampah di sebelah wastafel. Dia memungut salah satunya dan menatapnya lama.

"Anna, kau mau mencicipi kue kacangku?" terdengar suara Bibi Heather memanggil dari luar, membuat Anna buru-buru menyelipkan benda yang dipegangnya itu ke dalam saku celana jinsnya.

"Yeah, tentu!" Anna menyahut, sedikit gugup.

***

Toby tidak kelihatan selama beberapa hari berikutnya.

Anna mulai merasa agak terbiasa dengan kehadiran cowok itu, makanya sedikit aneh baginya tidak melihat Toby di manapun. Bukannya Anna merasa keberatan dengan perkembangan baru ini. Dia senang setidaknya dapat menikmati beberapa hari terakhir dengan tenang. Walaupun Anna dapat perasaan dia tidak akan menikmatinya dalam waktu lama.

Pagi itu, di Hendersonville High. Koridor sedang ramai-ramainya di sela-sela pergantian jam. Dan sesaat, Anna seperti melihat Toby tengah berdiri di ujung koridor, menatapnya.

"Ufh!"

Kekacauan kecil terjadi ketika Anna tak sengaja menyenggol bahu seseorang, membuat apapun yang dibawanya—juga yang dibawa Anna—berjatuhan ke lantai koridor dengan berisik.

"So-sori..." Anna buru-buru berlutut untuk memunguti kertas-kertas dan buku yang bertebaran di hadapannya, menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Beberapa terkekeh mengejek. Dia sudah siap-siap menerima perkataan menyebalkan seperti 'Awasi jalanmu, Aneh' atau sejenisnya dari orang yang ditubruknya, namun ternyata nihil. Anna dikejutkan dengan fakta bahwa orang itu ikut berlutut membantunya memunguti kertas yang berhamburan dari dalam map milik Anna.

"Tidak, aku yang melamun." dia berkata. Seorang cowok. Suara maskulinnya terdengar familiar, "Nih."

"Trims." Anna menerima kertas-kertas yang disodorkan si cowok, dan balik menyerahkan buku kepadanya dengan kikuk. Ketika menyerahkan buku itu, Anna mendongak melihat cowok itu dan mengenalinya, "Kevin... kan?"

Kevin balas menatapnya, tampak agak kaget Anna baru sadar. "Yeah, cara yang cukup klise untuk ketemu lagi, Anna." katanya setengah geli.

Anna tak mampu mencegah dirinya untuk tidak tercengang, "Kau ingat namaku?"

"Kenapa kau pikir aku tidak akan ingat?" Kevin balik bertanya.

"Bukan apa-apa. Hanya... tahulah, 'Si Aneh'." sahut Anna. Jarang ada yang mau repot-repot mengingat nama betulannya.

Kali ini gantian Kevin yang tampak terperanjat. Namun cowok itu cepat menguasai diri. Ekspresinya kembali berubah geli, "Er, kayaknya kita membuat sedikit kemacetan di sini, keberatan kalau kita ngobrol sambil jalan?"

"Oh." Anna menatap sekeliling dan merasakan tatapan terganggu orang-orang yang lewat di dekat situ lalu berkata, "Oke."

Keduanya bangkit, dan kecanggungan terjadi selama beberapa detik ketika Anna mendapati dirinya lupa hendak ke mana.

"Oh, aku akan ke perpustakaan." kata Anna, mengingat esai Sejarah Dunia-nya yang sudah harus dikumpulkan besok. Kevin mengangkat buku-buku di tangannya.

"Harus mengembalikan ini juga."

"Baiklah."

Dan kecanggungan kembali memenuhi udara selama perjalanan menuju perpustakaan, dengan Kevin yang berjalan dalam diam di sebelahnya.

"Uh, bagaimana Kim?" celetuk Anna, memberanikan diri membuka percakapan.

"Entahlah, baik-baik saja mungkin." Kevin mengangkat bahu, tampak bingung. "Kenapa pula aku harus tahu bagaimana keadaannya?"

"Er... hanya itu yang terpikirkan." Anna meringis, memaki dirinya sendiri atas kebodohan dan kenorakannya. Dia bahkan dapat merasakan Kevin tengah mengulum senyum di sebelahnya.

"Oh, yeah. Baiklah."

Setelah lima menit yang menyiksa dan rasanya seperti seabad, keduanya tiba di perpustakaan. Di dalam, Kevin menghampiri resepsionis, sementara Anna hendak mencari tempat di bagian tengah perpustakaan untuk mengerjakan esainya.

"Kau bakal lama?" tanya Kevin seolah membaca pikiran Anna.

"Mm, yeah. Harus mengerjakan sesuatu." jawabnya.

"Oke." Kevin menerima kartu perpustakaannya kembali dari resepsionis, "Sampai ketemu istirahat nanti."

"Uh... sampai nanti." sahut Anna, menyaksikan cowok itu berbalik keluar dari perpustakaan dengan agak bingung. Apa maksudnya?

Ketika mengantri untuk mengambil semangkuk puding serta apel di kantin kira-kira dua jam kemudian dan memikirkan hendak membawa nampan makan siangnya ke mana, barulah Anna tersentak kaget karena akhirnya menyadari arti perkataan Kevin di perpustakaan tadi. Dan tepat ketika tengah mempertimbangkan untuk makan di gimnasium, Kim muncul menyapanya, membuat Anna terpaksa membawa puding dan apelnya ke ruang siaran lima menit kemudian.

---

Kevin! New guy on the block :p

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top