Chapter 2
Belakangan Anna selalu terbangun di tengah malam dengan tubuh bersimbah keringat akibat mimpi yang dialaminya. Di dalam mimpi itu, Anna seolah menonton tayangan era tujuh puluhan, serba hitam putih... dan dengan sudut pandang dari atas seolah dirinya berada di sebuah helikopter. Selalu tempat yang sama, suatu daerah rimbun di pinggiran kota dengan pepohonan di satu sisi dan tebing curam di sisi lain yang berujung pada semacam kawasan pabrik tua kosong dengan banyak tangki besi raksasa di bawah sana.
Kemudian pemandangan itu berganti. Roda-roda yang di perbesar dan berputar-berputar di depan wajahnya. Terus saja begitu sampai rasanya pusing melihatnya terus-menerus.
Lalu pemandangan itu berubah lagi. Kali ini sebuah surat. Anna tidak bisa melihat tulisan kecil-kecil di amplopnya.
Dan begitu Anna coba meraih dan membuka surat itu, dia terbangun. Terbangun dan mendapati dirinya berkeringat, wajahnya panas, dan pipinya basah oleh air mata.
***
Sabtu pagi.
Anna membuka kelopak matanya yang terasa menempel dan meraih ponselnya. Masih pukul setengah tujuh. Tidak biasanya dia terbangun sepagi ini di hari libur.
Kring kring!
Suara itu terdengar samar. Semakin lama semakin nyaring. Selama beberapa saat, Anna berbaring diam, berusaha memikirkan dari mana asal suara itu.
Kring kring!
Bukan alarmnya. Bukan pula dering telepon. Lebih terdengar seperti bel. Bel sepeda...
Anna melompat dari tempat tidurnya dan dalam dua langkah lebar dia berhasil mencapai jendela. Suara itu makin nyaring ketika daun jendela dibuka.
"Toby?!" Anna mendesis tak percaya ketika melihat cowok itu—utuh dan keren—sedang balas menatapnya nun jauh di bawah sana, di luar pagar samping rumahnya. Toby tersenyum cerah begitu melihat Anna.
"Keluar dan bermainlah!" candanya sambil melambai. Perlu diingat, ini pertama kalinya bagi Anna mendapati seorang remaja cowok bertandang ke rumahnya di Sabtu pagi untuk menemuinya. Maka butuh waktu sejenak bagi gadis itu untuk mengingatkan diri bahwa kesenangan yang sesaat dirasakannya itu amat sangat konyol, karena ini tidaklah seindah yang sempat dipikirkannya... atau diharapkannya.
Toby ke sini dengan suatu maksud.
"Ngapain kau di situ?" tanya Anna, dengan kepala yang agak pusing dan nyaris terdengar membentak karena dibangunkan pagi-pagi.
Cengiran Toby tidak pudar, "Apa aku datang terlalu awal?"
Anna menyerah. Dia menghembuskan napas jengkel dan menunjuk Toby dengan sikap memerintah, "Tunggu di situ. Aku ke bawah lima menit lagi."
"Oke!"
Sembari menggerutu, Anna berlari ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian menyambar kaus dan jins terdekat yang bisa diraihnya dari dalam lemari, mengganti pakaian, menyisir dan berkaca sebentar (seorang gadis berambut merah sebahu dan bertampang ngantuk balas menatapnya di cermin), lalu ngedumel dalam hati betapa konyol pasti dirinya terlihat sekarang.
Tak lama, Anna sudah mendapati dirinya berjalan menghampiri Toby di luar pagar rumah, yang menunggu di sebelah sepedanya.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." katanya lugas.
"Selamat pagi juga untukmu, Toby." sindir Anna. Mendengarnya, Toby kembali nyengir. Tetapi melihat cengiran cowok itu dari jendelanya di lantai dua dengan melihatnya dalam jarak dekat seperti sekarang jelas-jelas memberi kesan yang jauh berbeda.
Toby punya dua gigi depan yang agak besar-besar dan kedua taring atas yang lebih panjang sekian millimeter dari kebanyakan orang, memberi efek lucu ketika dia tertawa lebar. Sepasang alisnya begitu hitam dan tebal—Toby punya garis-garis wajah khas orang Italia, terutama alis dan hidungnya, walaupun Anna ragu Toby keturunan salah satunya—dan ujung-ujung alisnya itu melengkung ke bawah seperti kait, membingkai matanya dengan begitu sempurna. Bulu matanya lentik untuk ukuran cowok dan di bawahnya, sepasang mata yang mengagumkan tengah menatap Anna. Bila dilihat sekilas, warnanya seperti hijau olive. Namun bila diteliti lagi, warnanya berubah semakin cokelat mendekati pupilnya.
Dan bukan hanya itu. Rambut hitamnya yang agak panjang tampaknya sehalus bulu kucing. Dia punya jenis rambut berombak, membuat rambut mulai di sekitar tengkuknya mencuat ke arah luar dengan begitu menggemaskan. Dan ujung poninya yang mengikal ringan itu jatuh persis di atas alisnya, seolah menuntut untuk dibelai.
Setelah puas mengagumi aset-aset fisik cowok itu selama beberapa saat—yang sebetulnya hanya sekitar lima detik—Anna bertanya, "Kenapa kabur waktu itu?"
"Waktu itu?" Toby mengerutkan alis bingung,
"Rumah Bibi Heather. Kau menghilang."
"Oh." Ekpresi Toby berubah agak muram, "Aku hanya dapat kesan aku tidak sepatutnya berada di situ. Maksudku, bibimu pasti ingin ngobrol berdua saja denganmu. Aku kayak pengganggu."
Anna hanya diam. Dia memutuskan mengubah topik, "Jadi, tempat apa yang mau kautunjukkan?"
Toby mengembangkan senyuman misterius, "Ikut saja."
"Eh..." Anna menatap sepeda kuning Toby ragu-ragu, dan menunjuknya. "...dengan itu?"
Toby terhenti, "Kenapa?"
"Eh, tidak." Anna sangat tidak bisa menerima ide dirinya dibonceng Toby dengan sepeda, maka dia memutar otak dengan cepat dan membual, "Katakanlah ini sejenis... trauma masa kecil."
"Terserah." Toby mengangkat bahu, "Toh sepedaku juga sedang tidak dalam kondisi bagus."
Anna mengangkat sepasang alisnya bingung.
"Remnya rusak." Toby menunduk menatap sepedanya, membuat Anna tercengang. Sulit dipercaya cowok ini nyaris membuatnya menaiki sesuatu yang tidak menjamin pantatnya tetap utuh hingga tempat tujuan, "Kita jalan kaki, kalau begitu... tidak terlalu jauh kok."
Tetapi, yang dikatakan 'tidak terlalu' oleh Toby nyatanya sangat berbeda dari perkiraan. Anna bukan tipe cewek yang suka keluar pagi-pagi buta untuk lari keliling kompleks, karena itu satu setengah kilometer bagi Anna nyaris merontokkan tumit dan paru-parunya.
"Tidak adil..." sengal Anna kehabisan napas, sekitar setengah jam kemudian. Dia berlutut putus asa ketika melihat jalan menanjak di hadapannya.
"Tidak jauh lagi. Bertahanlah." Toby mengatakannya sambil berusaha menahan senyum.
Setelah mengatur napasnya sejenak, Anna menegakkan diri dan kembali mengikuti Toby dengan berat hati.
Sejak lima menit yang lalu, Anna dan Toby sudah melewati batas wilayah Hendersonville, yang memang kecil untuk ukuran kota. Kini mereka berjalan di sisi kanan jalan raya yang sepi, dengan pepohonan yang semakin lama semakin rimbun. Di seberang mereka—sisi sebelah kiri jalan—dibatasi oleh hutan kota yang begitu hijau dan sejuk, membuat perjalanan itu tidaklah seberat sebelumnya bagi Anna. Setidaknya dia mendapat pasokan oksigen melimpah dan sedikit terhalang dari cahaya matahari yang makin terik.
Semakin menanjak, deretan pepohonan di kanan jalan semakin jarang dan pemandangan terhampar semakin jelas. Rupanya daerah ini berada di dataran yang lebih tinggi dari wilayah lainnya. Apa yang berada di balik pagar pembatas jalan di sebelah Anna dan Toby adalah tebing yang cukup curam dan mengarah pada semacam kawasan pabrik tua di bawah sana, dengan banyak tangki besi raksasa...
Tangki besi raksasa.
Anna menghentikan langkahnya karena mendadak merasakan déjà vu yang aneh. Dia merasa pernah ke sini sebelumnya. Tetapi kapan?
Mimpi! Anna membatin takjub. Aku terus memimpikan tempat ini!
Terperangah akan kenyataan ini, Anna berjalan perlahan mendekati pagar pembatas, menyaksikan pemandangan di sekelilingnya dengan perasaan tak percaya. Bagaimana bisa tempat yang berada dalam mimpinya ternyata adalah tempat yang nyata? Tempat yang hanya berjarak sepuluh menit dari perbatasan Hendersonville?
Kemudian dilihatnya Toby berhenti hanya beberapa meter di depannya. Toby menyandarkan sepedanya, kemudian melompati pagar pembatas jalan dan duduk di atasnya. Cowok itu kemudian menoleh kepada Anna dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, memberi isyarat agar Anna mengikutinya.
"Ini dia." kata Toby ketika Anna sudah duduk di sebelahnya. Untunglah Anna tidak terlalu takut dengan ketinggian, karena jarak antara pagar dan tepi tebing hanya satu meter jauhnya. Sekitar lima belas menit mereka berdua hanya duduk di sana, tak saling bicara. Anna juga tak repot-repot berusaha mencari topik untuk dibahas. Secara teknis, dia baru dua hari mengenal cowok itu.
"Toby..." Anna bergumam pelan akhirnya, menatap kawasan pabrik tua di hadapannya, "...mengapa kau ingin menunjukkan tempat ini padaku?"
Toby hanya mengangkat bahu. Jemarinya mengelus-elus bagian pagar di dekatnya yang agak penyok ketika dia berpikir, "Kepingin saja."
Anna jadi memperhatikan jemari Toby, "Apakah... ada sesuatu?"
"Sesuatu?" Toby balik bertanya.
"Sesuatu... entahlah, yang mengganjal pikiranmu?" kata Anna kikuk, "Yang ada kaitannya dengan tempat ini?"
Toby tidak langsung menjawab. Jemarinya berhenti mengelus pagar dan dia mendongak menatap pabrik. Angin berhembus menyibakkan rambut di dahinya. Tatapannya menerawang jauh.
"Ada." sahutnya.
"Yeah?" tanya Anna.
"Aku..."
Anna menelan ludah gugup. Seandainya Bibi Heather ada di sini. Dia belum pernah bicara berdua saja dengan cowok sebelumnya. Maksudnya, cowok yang seusia dengannya. Apalagi membahas topik yang dalam. Jika wanita itu ada di sini, paling tidak Anna bisa minta nasehat wanita itu tentang apa yang sebaiknya dikatakan.
"Ibuku bikin pai lemon."
"Hah?"
Toby bangkit begitu tiba-tiba hingga Anna tersentak kaget. Wajah cowok itu kembali cerah, "Ibuku bikin pai lemon. Aku harus pulang."
"O-oh..." kata Anna terbata-bata, "Oke."
Anna mengawasi cowok itu bangkit dan melompati pagar, kemudian menghampiri sepedanya dan menaikkan standarnya. Lalu cowok itu menoleh kepada Anna.
"Mau kuantar?" tanyanya, membuat Anna memutar bola mata.
"Aku bukan anak lima tahun. Lagipula remnya rusak kan?" katanya jengkel.
Toby tertawa, "Aku bercanda."
Anna melongo tak percaya. Dan ketika cowok itu mulai mengayuh, Anna memanggilnya.
"Toby!"
Toby berhenti dan menoleh lagi, "Yeah?"
Anna menatap Toby. Menatap jaket biru-putih tim futbolnya. Menatap wajah dan rambut cowok itu yang tertimpa cahaya matahari. Menatap sepasang matanya. Matanya yang dihiasi sorot keingintahuan tulus. Lalu Anna menggigit bibir.
"Apa?" tanya Toby, menaikkan sebelah alisnya penasaran. Kemudian, ekspresi penasarannya perlahan berganti. Bibirnya mengembang membentuk senyuman jahil, "Kau mau bertanya apakah aku bersedia kencan denganmu?"
Ketegangan yang sempat dirasakan Anna langsung merosot sejadi-jadinya, digantikan perasaan malu dan jengkel luar biasa, "Maumu!"
Toby terbahak-bahak, dia memundurkan sepedanya hingga sejajar dengan tempat Anna berdiri, supaya dapat melihat wajah cewek itu yang memerah dengan lebih jelas, "Kau yakin bukan itu?" godanya lagi.
"Lupakan soal surat itu, oke?!" semprot Anna kebakaran, "Aku tahu itu norak. Aku menulisnya dengan separuh kesadaranku."
Toby tampak terperanjat, dan selama sepersekian detik Anna berani bersumpah sempat melihat setitik kekecewaan melintas di wajahnya.
"Benarkah?" tanyanya, "Syukurlah."
Cowok itu mengedip. Dan setelah melayangkan senyuman sekilas, Toby mengayuh sepedanya menaiki tanjakan, meninggalkan Anna sendirian dengan pikirannya tentang kata-kata yang diucapkan cowok itu barusan.
***
"Awasi jalanmu, Aneh." seseorang menubruk bahu Anna dan berlalu diiringi kekehan. Koridor Hendersonville High sedang ramai-ramainya. Di antara sekian banyak waktu lainnya, istirahat siang adalah yang paling dibencinya. Itu adalah waktu di mana semua orang berkumpul di kantin, waktu ketika semua orang merasa perlu melepaskan kepenatan dan kejenuhan atas semua tugas dan kuis, dan sebagian yang memiliki kadar toleransi rendah terhadap sesama nampaknya beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk melampiaskan perasaan jenuh itu adalah dengan menganiaya orang lain. Dan malangnya, Anna termasuk dari salah satu target empuk mereka.
Anna tidak repot-repot menoleh untuk melihat siapa yang barusan menubruk bahunya, itu hanya akan menambah kepuasan mereka. Di samping itu, Anna sudah sangat terbiasa dengan panggilan 'Aneh', sampai-sampai rasanya nyaris mengherankan mengapa kata tersebut bukan betul-betul bagian dari nama lengkapnya, Anna Aneh Willow.
Kantin bagi Anna hanyalah tempat rawan dan bising untuk mampir dan mengambil jatah makan siang, yang kemudian dibawa gadis itu ke sudut tersepi sekolah—entah tribun gimnasium, koridor dekat pintu darurat, atau ruang santai kecil yang tersambung dengan ruang siaran yang selalu dibiarkan tak terkunci. Dan kali ini ruang santai itu adalah pilihannya. Senior ketua klub siaran rupanya sudah mulai terbiasa melihat Anna makan di sofanya, sehingga seringnya dia ngeloyor saja keluar tanpa berkomentar apa-apa. Sebetulnya ada larangan membawa makanan ke dalam ruang siaran, tapi tampaknya tidak ada yang peduli, mungkin karena Anna selalu meninggalkan ruangan dalam keadaan bersih. Bagi Anna itu sudah baik sekali, paling tidak dia tak mendapatkan tatapan meremehkan itu darinya, tatapan yang sering ditujukan orang lain kepada Anna ketika tak sengaja berpapasan dengannya.
Gadis itu bukannya kutu buku, atau memakai kacamata tebal, atau maniak game, atau sejenisnya. Pakaiannya pun normal—selayaknya remaja cewek kebanyakan, jins dan kaus. Mungkin orang-orang membencinya karena rambut merahnya. Jangan-jangan selama ini mereka beranggapan Anna semacam keturunan penyihir.
Anna mengunyah apelnya pelan-pelan seraya iseng melihat-lihat koleksi album di sebelah sofa, kebiasaan yang selalu dilakukannya setiap makan di sini sampai-sampai dirinya tahu jika ada CD yang baru dibeli. Kebanyakan bukan nama-nama baru, tetapi tetap saja perkembangan.
Toby tidak kelihatan seharian ini. Bukannya Anna mengharapkan kehadirannya atau apa, tapi dengan kemunculan cowok itu di dekat-dekatnya belakangan ini, Anna jadi curiga dia bakal nongol sewaktu-waktu di sekolah untuk mengejutkannya.
Bicara soal mengejutkan, apa yang dilihat Anna dalam perjalanannya menuju lobi sepulang sekolah bisa disebut begitu. Amber Mills, cewek modis dan cantik yang sekelas dengan Anna, yang juga anggota pemandu sorak sekaligus mantan pacar Toby, tengah berdiri di hadapan rak kaca baru di sebelah mading. Itu rak khusus yang dibuat staf sekolah, yang telah menjadi pemandangan memilukan bagi seisi sekolah selama enam bulan terakhir.
Biasanya Anna selalu mampir—walaupun sebentar—untuk memandanginya. Namun hari ini pengecualian. Dia memutuskan untuk membiarkan saja cewek itu berdiri di sana tanpa gangguan. Bahkan Amber Mills, pemandu sorak populer yang selalu dikelilingi teman-temannya, juga butuh waktu sendirian.
***
Aroma yang menguar dari kaserol daging di meja makan keluarga Willow malam itu benar-benar menggugah selera. Anna bersyukur memiliki ibu yang jago masak, karena sepertinya bakatnya itu tidak menurun kepadanya.
Hari ini Carol tidak bekerja. Biasanya wanita itu menitipkan Alex yang belum sekolah ke rumah Bibi Heather, dan di sore hari Anna akan menjemputnya. Waktu kerja Carol tidak tentu per minggunya, dia bekerja sebagai konsultan sebuah perusahaan jasa asuransi agak di luar Hendersonville dan mendapat jadwal bergilir.
Alex membuka mulutnya, meminta pudingnya. Anna menyuapi adiknya sementara ibunya membereskan piring-piring dari meja makan. Skinny tengah menjilati sisa-sisa daging di mangkuk makanannya, ekornya mengibas-ngibas ceria.
"Mom." Anna menyeletuk.
"Hm?" Carol menggumam dari bak cuci piring.
"Hari ini aku bertemu Dad... lagi."
Kata-kata itu kontan membuat Carol seketika berhenti bergerak. Piring di tangannya nyaris tergelincir jatuh.
"Dia bicara padaku lagi." Anna melanjutkan, "Dia titip pesan, katanya—"
"Cukup."
Carol mengelap tangannya yang basah dan berbalik menghadap anak perempuannya. Bahkan Alex ikut-ikutan diam karena mendadak merasakan suasana berubah tegang.
"Kumohon, Anna. Kau harus berhenti melakukannya." kata Carol. Sepasang matanya tegang, tetapi terselip nada memohon pada suaranya, "Dia sudah pergi. Dari kehidupanku, kehidupan kita."
Anna menyaksikan ketika Carol berbalik dan kembali menghadapi piring-piringnya dengan kekecewaan yang memenuhi rongga dadanya. Ibunya tidak perlu mengatakan itu lagi. Dia sudah mengerti. Seolah-olah Anna masih butuh diingatkan saja.
Tidak ada yang berbicara sampai puding di mangkuk Alex habis. Hanya suara dari siaran televisi dan dentingan piring ketika diletakkan di rak yang menjadi latar belakang. Anna kemudian bangkit, setelah memberikan botol air kepada Alex dan beranjak hendak kembali ke kamarnya. Namun di ambang pintu dia berhenti. Dia menoleh sekali lagi kepada Carol dan berkata.
"Dad bilang; kau tidak harus melakukan segala sesuatunya sendirian, Mom."
Lalu Anna meninggalkan ruangan. Dia tidak merasa kepingin tahu bagaimana reaksi ibunya mendengar perkataannya barusan. Sesungguhnya Anna benar-benar ingin Carol membuka hatinya. Mempercayainya. Namun mempertimbangkan kata-kata wanita itu sebelumnya, rasanya kali ini Anna lagi-lagi hanya akan mendapatkan penyangkalan.
---
Leave vote & comment :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top