Chapter 17
Sebagian orang membenci aroma rumah sakit. Kebanyakan bilang bahwa aroma khas itu—seperti bau steril—mengingatkan mereka akan penyakit, pengalaman buruk, kecelakaan, kematian. Sebagian mungkin menyukainya, atau sudah begitu terbiasa dengannya hingga tak ada emosi apapun. Seperti dokter dan perawat. Atau staf yang bekerja di rumah sakit.
Namun Anna bukan seorang dokter. Atau perawat. Atau pekerja di rumah sakit. Lantas mengapa dia mendapati dirinya merasa nyaman dikelilingi aroma khas itu?
Anna terbangun di Hendersonville Community Hospital tiga hari setelah insiden di pemakaman. Bibi Heather ada di sana ketika Anna terbangun, sementara Carol sedang menemani Alex bermain di tempat penitipan anak di lantai satu. Menurut penjelasan Bibi Heather—yang tidak terlalu jelas karena wanita itu terisak-isak sembari bercerita—Anna mengalami gegar otak ringan yang menyebabkan dirinya tak sadarkan diri selama itu.
Colton Parker ditangkap dan ditahan di kantor polisi lokal untuk sementara. Fred Spencer mendatangi ruang inap Anna beberapa jam setelah dia sadar—Anna sendiri yang meminta kepada Carol dan Bibi Heather untuk mengizinkan pria itu masuk. Anna tidak ingin menunda-nunda lagi apapun yang bisa membuat kasus Toby menjadi jelas. Dia akan bersaksi di pengadilan jika memungkinkan. Namun untuk sementara, dia hanya mampu bersaksi dari atas ranjang rumah sakitnya.
"Colton tidak bersalah." Anna menumpahkan segala yang diketahui dan diyakininya, ketika kata-kata 'percobaan pembunuhan' baru terucap dari mulut Fred, "Itu bukan percobaan pembunuhan. Colton hanya berniat mencelakakan Toby, bukan menghilangkan nyawanya..."
Fred berdeham seraya membuka topi dinasnya dan mendudukkan diri di salah satu kursi plastik di sebelah ranjang Anna, "Yang sedang kami bicarakan adalah mengenai Amber Mills."
Fred memang datang dengan seorang rekannya, yang mengawasi di dekat pintu kamarnya sembari bersedekap.
"Sejauh ini, yang berhasil kami simpulkan adalah Colton Parker tertangkap basah sedang berusaha melakukan percobaan pembunuhan terhadap Amber Mills, dua kali. Yang pertama terjadi di kawasan perkemahan Gordon Campville, yang kedua adalah di kompleks pemakaman Hendersonville..."
"Maaf—tapi apakah ini tentang Amber, atau ini tentang Colton? Karena aku sangat paham alasan Colton melakukannya, siapapun rasanya akan paham jika mereka tahu apa yang telah diperbuat Amber." potong Anna berapi-api. Mendengarnya, Fred hanya menghela napas panjang.
"Amber Mills telah mengaku." kata Fred pelan.
Anna mengerjap, keningnya terkerut sedikit. Fred mengulangi perkataannya.
"Dia mengaku telah menggunakan mariyuana dan obat tidur selama setengah tahun terakhir."
Anna merapatkan rahangnya, tak menyahut.
"Dia juga mengakui soal kehamilannya, dia menggugurkannya atas keinginan sendiri." Fred memijat puncak hidungnya seraya memejamkan mata, "Dia sekarang sedang dalam pemeriksaan."
Anna mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela, merapatkan bibirnya. Nada suaranya terdengar dingin ketika dia menanggapi Fred, "Seharusnya begitu."
Fred tampaknya menyerah. Dia memerintahkan rekannya dengan sebuah isyarat agar meninggalkannya dengan Anna berdua saja. Ketika pintu kamar ditutup, Fred menghampiri Anna, yang tak mengalihkan pandangan.
"Amber adalah temanmu." katanya. Akhirnya Anna menoleh.
"Dia bukan temanku. Dia yang patut disalahkan atas segala kekacauan ini." geram Anna.
"Teknisnya, tidak." Fred mengungkapkan, ketika melihat reaksi Anna, dia menambahkan. "Aku seorang polisi. Dan aku akan mengatakan faktanya kepadamu bahwa teknisnya, dia tidak bisa disalahkan. Berbeda dengan Colton. Pemuda itu terbukti melakukan tindakan kekerasan terhadap Amber, dan dia mengaku kepada kami bahwa dia telah merusak rem sepeda Toby Mozkovitz hari itu."
"Tapi dia tidak berniat membunuhnya! Itu hanya untuk mencederakannya!" Anna rasanya kepingin melompat dari tempat tidurnya dan mengguncang-guncang bahu Fred agar pria itu mempercayainya, hanya saja saat ini dia terhalang infus di tangannya, "Dia tidak pernah memiliki keinginan untuk membunuh sahabat baiknya. Insiden itu murni kecelakaan."
"Apakah Colton mengatakan ini kepadamu?" tanya Fred. Anna terdiam.
"Tidak." katanya, "Toby yang mengatakannya padaku."
Kesabaran Fred nampaknya sudah habis. Dia menyisiri rambut abu-abunya dengan raut lelah dan berbicara dengan nada lebih pelan, "Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kami akan memutuskan tindakan yang tepat untuk Amber Mills, mungkin mengirimnya ke panti rehabilitasi. Dan untuk Colton... dia akan menghadiri pengadilannya. Lusa."
Kemudian Fred mengenakan topi dinasnya dan mengangguk singkat. Anna mengawasi pria itu hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Anna merebahkan tubuhnya lagi, entah sejak kapan terduduk begitu tegaknya. Dia menutupi matanya dengan lengan, merasa marah, kecewa, dan tidak berguna.
Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintunya. Anna menggumamkan 'yeah' pelan karena mengira perawat yang datang untuk mengecek kondisinya, namun yang muncul sama sekali bukan perawat.
"Hei." sapa Kevin sambil tersenyum. Anna mengangkat lengannya untuk melihat cowok itu menghampirinya dan duduk di kursi yang diduduki Fred barusan, "Bagaimana keadaanmu? Sori kalau ayahku membuatmu—"
"Kevin." Anna langsung menegakkan duduknya lagi, "Kevin—kau harus membantuku. Kita harus menemui Colton. Toby tidak menyalahkannya. Dia tidak bersalah. Insiden itu murni kecelakaan! Well, Colton memang merusaknya tetapi dia tidak punya niatan untuk menyakiti Toby..."
"Anna..."
"Toby hanya tak sengaja mengendarainya dan... aku tahu ini pasti akan terdengar gila bagimu tapi Toby... dia... dia menemuiku dalam mimpi dan menjelaskan segalanya. Bahwa ini semua bukan salah Colton! Amber seharusnya tidak berbohong soal keguguran itu! Ini semua... terjadi akibat kebohongan Amber, dan Toby bahkan tidak menyalahkannya atas apa yang telah diperbuatnya!"
"Anna...!"
"Kebohongannya menuntun Toby pada kecelakaan itu..." Anna menatap Kevin dengan mata panas dan buram, "Ini sungguh tidak adil..."
Kevin bangkit dari kursinya dan memeluk gadis itu, "Anna, kumohon." katanya sementara Anna terisak tak terkontrol di pundaknya, "Tenangkan dirimu."
"Kau tidak percaya padaku." Anna berujar serak, lebih berupa pernyataan daripada pertanyaan. Anna dapat merasakan cowok itu terkekeh.
"Oh, entahlah. Tiga hari yang lalu aku berada di depan komputerku, menyusun lagu untuk bahan siaran berikutnya ketika mendadak rasanya gelap, dan aku terbangun setengah jam kemudian di pemakaman. Mendekapmu yang nyaris pingsan. Dan saat itu rasanya aku kepingin banget menciummu."
Perkataan itu sontak membuat ingatan Anna kembali melayang ke malam itu dan tersadar. Anna melepaskan pelukannya dari Kevin buru-buru, dia menghapus air matanya, canggung. Tetapi Kevin tampaknya tidak memedulikan betapa merahnya kedua pipi Anna saat ini, karena cowok itu kemudian berkata, "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, namun menurut kesaksian ibu dan ayahku, mereka melihatku ngebut ke pemakaman malam itu. Ayahku bahkan sempat menuduhku ngobat ketika aku melesat ke mobilku dan berteriak-teriak menyuruhnya untuk mengikutiku ke pemakaman."
Anna tercengang mendengarkan cerita Kevin. Dia nyaris bengong ketika bertanya, "Mungkinkah...?"
Kevin duduk di sisi ranjangnya dan menunduk menatap tangannya yang meraih tangan Anna dan menautkan jemarinya, "Mungkin... Toby membawaku padamu."
Kevin mendongak. Dia tersenyum sejenak, sebelum pandangannya turun dan jatuh pada bibir Anna, lalu cowok itu mencondongkan tubuh untuk menciumnya. Lembut, lama, dan perlahan. Seolah dia begitu menikmatinya. Dan mata Kevin masih terpejam bahkan setelah dia menjauhkan wajahnya dari wajah Anna. Kemudian saat dia membuka matanya dan mereka saling bertatapan, Kevin tersenyum lagi. Hanya saja, kali ini dia terlihat meminta maaf.
"Aku tahu ini saat yang sangat tidak tepat. Tetapi jika Toby sampai melakukan hal se-ekstrim itu kepadaku, kurasa dia sudah benar-benar putus asa. Karena itu aku harus melakukan ini."
"Sudah lama ya?" kata Anna, membuat Kevin tercekat.
"Apa?"
"Bahwa kau menyukaiku? Si 'cewek yang suka numpang makan di ruang siaran'?" Anna tak sanggup menahan senyum ketika mengamati reaksi Kevin, "Aku tahu itu. Toby mengatakannya padaku."
Kevin mendesah frustasi, namun tak sanggup menyembunyikan cengirannya.
"Ya Tuhan, kau benar-benar aneh." katanya takjub, "Tetapi lebih aneh lagi karena aku mempercayaimu, dan... yeah, menyukaimu."
"Tahulah, Si Aneh Anna." Anna mengangkat bahu, lalu meringis. "Kurasa hal-hal aneh tertarik ke sekelilingku."
Keduanya saling tersenyum. Namun tak lama, karena Anna kemudian teringat akan akar pembicaraan mereka, "Itu berarti kau percaya bila kukatakan Toby masih menganggap kau dan Colton dua sahabat terbaiknya, sekarang dan seterusnya?"
Senyuman Kevin sedikit memudar.
"Toby tidak menginginkan kedua sahabatnya saling membenci, Kevin." Anna mempererat genggamannya. Kevin menunduk, pandangannya menerawang. Lalu dia mengeluarkan tangan kirinya yang sedari tadi disembunyikannya di dalam saku jaketnya dan menunjukkan kepalan yang terbalut perban.
"Apa yang—?"
"Aku selalu kepingin menghajarnya." Kevin meneliti tangannya yang cedera dengan sorot puas, lalu dia menggeleng-geleng. "Aku hanya bertahan tidak melakukannya karena Toby. Aku tidak ingin membuatnya kecewa. Tapi setelah apa yang diperbuatnya kepadamu, kurasa Toby tak tahan juga."
Samar-samar Anna mengingat kejadian di pemakaman. Bahwa dirinya mendengar sedikit baku hantam sebelum pingsan. Kemudian Kevin kembali menatap Anna.
"Aku akan menemui Colton. Menyelesaikan masalah kami, sendirian." dia memberi penekanan pada kata terakhir, "Aku janji."
---
Berikutnya bagian akhir. Thank you for sticking with this story :')
Mohon vote & comment-nya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top