Chapter 16
Hill's Rock.
Langitnya sangat bersih, namun tidak terik, dan Anna belum pernah merasakan hari yang begitu pas untuk duduk-duduk di sana. Angin berhembus menyenangkan dan matahari menghangatkan wajahnya. Mengapa sebelum ini dia tidak sering-sering saja ke sini pada siang hari?
Anna sedang memejamkan mata, bersandar di pagar pembatas jalan untuk menikmati angin sepoi dan aroma rumput di sekitarnya sambil berusaha mengingat-ingat mengapa dia tahu-tahu berada di tempat ini, ketika dia merasakan seseorang duduk di sebelahnya.
"Halo." senyuman itu menyambutnya ketika Anna membuka mata. Senyuman termanis yang selalu diingatnya. Cowok itu memiliki dua gigi taring yang agak panjang dari kebanyakan orang, membuat efek lucu ketika dia tersenyum.
"Halo, Toby." Anna memperhatikannya. Toby tampak segar. Dan... nyata. Anna yakin bila dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh emblem Hendersonville High di bahu jaket futbol Toby, dia dapat merasakan kasar bordirannya.
"Sudah lama kita tidak melakukan ini, ya?" Toby masih tersenyum. Rambut hitamnya yang agak gondrong terlihat begitu lembut. Ikal-ikalnya membingkai wajah cowok itu dengan sangat sempurna, "Agak lain dari biasanya, tapi boleh juga lah."
"Yah." Anna menimpali, "Boleh juga."
Keduanya sama-sama terdiam beberapa menit berikutnya. Hal yang lumrah terjadi di tengah-tengah pertemuan mereka. Biasanya ini terjadi karena Toby mengambil rehat sejenak dari obrolan mereka, atau ketika Anna sedang memilih satu topik dari sekian banyak untuk mereka bicarakan.
"Ng, Toby... bolehkah aku bertanya sesuatu?" Anna menyeletuk. Cowok itu terkekeh.
"Sejak kapan kau harus minta persetujuanku untuk menanyakan sesuatu?" dia balas bertanya geli.
"Yah..." Anna tidak ikut tertawa. dia sudah terlalu lama menunda-nunda kewajibannya membantu Toby, karena itu saat ini dia harus menumpahkan semuanya. "Jadi... Amber. Dialah akar permasalahanmu."
Toby menoleh menatap Anna bingung, "Amber?"
"Ya." Anna menelan ludah, "Dia hamil karena Colton. Dan menggugurkan kandungannya atas keinginannya sendiri. Tetapi dia mengakuinya pada Colton kalau itu keinginanmu."
Toby mendengarkan, namun ekspresinya tidak berubah sedih atau semacamnya. Hanya ekspresi ingin tahu. Seperti ekspresi seseorang yang baru pertama kali mendengarkan informasi menarik.
"Colton... tidak akan melakukan hal itu jika Amber bersikap jujur." kata Anna, "Colton tidak akan menyalahkanmu."
Pandangan Toby turun, seperti yang kau lakukan ketika pikiranmu harus mencerna satu pengetahuan yang baru kau dengar dari lawan bicaramu.
"Aku tahu." ujarnya. Dia tersenyum muram, lalu melanjutkan. "Karena itulah dia merusak rem sepedaku."
"K—kau ingat?" tanya Anna, nyaris tak mempercayai pendengarannya. Toby mengangguk.
"Aku memergokinya di garasiku malam itu. Tolong jangan bilang ke Kevin soal ini. Aku ingin merahasiakannya dari Kevin." pinta Toby.
"Tapi... Colton sudah mengakuinya di pengadilan. Kevin sudah tahu."
Anna terdiam. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah kata 'pengadilan' memancing reaksi khusus dari cowok itu. Nyatanya, Toby tampak biasa-biasa saja.
"Tapi dia tahu kan kalau Colton tidak bersalah?"
Anna menelan ludah. Dia kehilangan kata-kata. Dia benar-benar tidak menyangka akan melakukan percakapan semacam ini dengan Toby. Toby Mozkovitz yang beberapa jam lalu wajahnya dia lihat terpampang di tajuk utama koran lokal Hendersonville tertanggal setengah tahun yang lalu.
"Masih sulit bagi Kevin untuk mempercayainya." ungkap Anna. Toby menghembuskan napas dan bersandar di pagar.
"'Kuharap kau merasakan kesakitan yang sama'. Begitu katanya waktu aku memergokinya. Colton hanya berniat untuk membuatku cedera separah mungkin." cowok itu berkata.
Kesakitan yang sama. Anna mengulang dalam hati, kemudian dia mendengus takjub. Colton memang tidak pernah berniat membunuh Toby.
"Lalu..." Anna memberanikan diri mengutarakan pertanyaan yang sudah bercokol di pikirannya selama beberapa jam terakhir, "...mengapa kau melakukannya?"
Toby menoleh menatap Anna. Dia memperhatikan wajah gadis itu lama, seolah jawaban atas pertanyaan itu ada di sana.
"Tahukah kau Colton jatuh cinta pada Amber sejak dia pertama kali melihatnya latihan melambaikan pom-pom di lapangan?" celetuk Toby tiba-tiba, "Waktu itu Amber masih murid baru. Sementara aku dan Colton sudah jadi anggota inti tim. Jadwal latihan tim futbol dan pemandu sorak nyaris selalu berbarengan, sengaja diatur seperti itu sejak dulu."
Toby berhenti sejenak dan mengalihkan pandangannya dari Anna.
"Ketika Amber mendatangiku dan memintaku berkencan dengannya suatu hari, aku hanya melakukannya karena Colton memohon-mohon padaku untuk tidak menyakiti perasaannya dan menerimanya."
Anna tercengang.
"Kau pacaran dengan Amber... demi Colton?" tanya Anna takjub, sementara Toby mengangguk.
"Aku tidak pernah menyukainya seperti Colton menyukainya, Anna."
Anna memandangi cowok itu, bertanya-tanya apa hubungannya semua yang dikatakannya itu dengan insiden itu. Tapi kemudian Toby kembali berbicara.
"Kanker otak." katanya.
"Sori?"
"Aku sering pingsan di lapangan ketika latihan. Seluruh anggota tim tahu ada yang tidak beres denganku. Maka aku pergi ke dokter spesialis." Toby menoleh menatap Anna lagi. Dia menunjuk pelipisnya, "Menurut dokter, kanker itu sudah udah bercokol di sini nyaris setahun. Efeknya baru mulai terasa. Dan kemungkinan sembuhnya tipis."
Anna menggeleng, "Tidak."
Toby tersenyum sedih, "Ya. Aku tahu apa yang akan terjadi pada sebagian besar penderita kanker, jadi aku tidak memberitahu siapapun."
Anna masih menggeleng tak percaya. Dia merasakan tenggorokannya tercekat dan kedua matanya memanas.
Toby memandang Anna ketika dia memulai lagi, "Lalu aku mendapat suratmu."
Anna berusaha keras menahan air mata yang sudah nyaris jatuh. Dia balas memandang Toby walaupun pandangannya sudah buram. Tapi Anna tahu cowok itu tengah tersenyum padanya.
"Surat termanis yang pernah kubaca seumur hidupku. Sama sekali tidak bisa dibilang puitis, sori saja..." Toby terkekeh geli, membuat Anna ikut terkekeh walaupun matanya masih berair. "Tapi aku menyukai isinya. Kau sepertinya tahu aku benci kelas puisi."
"Kau tidak benci kelas puisi." kata Anna serak, "Kau hanya sebal dengan Perry Anderson yang tiap menit selalu menggumamkan puisi-puisi buatannya di sebelahmu."
Toby tertawa, "Kau tahu itu?!"
"Aku di kelas yang sama, tahu." Anna mau tak mau sedikit tersenyum, "Aku mengambil beberapa kelas pilihan. Di situ aku pertama kali melihatmu. Dan... tertarik pada seseorang selain diriku yang menunjukkan gejala ketidaksukaan yang sama terhadap Perry Anderson walaupun dia luar biasa seksi."
Keduanya terbahak-bahak.
"Anna tahukah kau, sebetulnya aku mempertimbangkan untuk menerima ajakanmu, sore itu ketika kau menungguku di gimnasium?" Toby bertanya terus terang, membuat Anna terdiam, "Aku mengubah keputusanku di menit-menit terakhir. Setelah menulis surat penolakan yang juga sama-sama tidak puitis untukmu."
"Aku tidak pernah menerima surat apapun." protes Anna.
"Itu karena aku tidak pernah menyerahkannya." jelas Toby. Dia memandangi Anna. Sepasang matanya yang berwarna hijau olive berbinar lembut ketika dia berkata lagi, "Untuk pertama kalinya sejak mengetahui soal kanker, ada sesuatu yang membuatku sedikit bersemangat."
Anna balas memandangi Toby dengan buncahan rasa sayang yang memenuhi rongga dadanya.
"Aku bahkan berubah pikiran soal kau dan Kevin. Dia menyukaimu, tahu. Aku sering memergokinya memandangimu setiap kali kau lewat di koridor. Dia bahkan tidak peduli dengan segala gosip atau julukan dirimu. Dia cuma bilang bahwa kau 'cewek yang suka numpang makan di ruang siaran'." ujar Toby. Anna sedikit syok dengan informasi baru ini.
"Sudah selama itu..." Anna kehilangan kata-kata, namun Toby tampaknya paham dan mengangguk setuju.
Kemudian Toby melanjutkan dengan senyuman sedih, "Hal egois terakhir yang bangga kulakukan adalah pergi menemuimu, karena aku tahu pilihanku tak salah. Tapi sepertinya Tuhan tidak suka dengan keegoisanku, jadi Dia membuatku lupa."
"Lupa?"
"Lupa kalau rem sepedaku masih rusak." Toby terkekeh, "Tolol sekali, kan? Aku sempat mengalami masa-masa terendah dalam hidupku waktu aku mengambil kembali sepeda rusakku dari bengkel tanpa diperbaiki. Kupikir aku akan menabrakkan diriku saja ke truk besar atau semacamnya, tapi aku lega tidak melakukannya. Yang terjadi malah murni akibat kebodohanku. Aku lupa rem sepedaku rusak ketika aku dalam perjalanan ke gimnasium, menemuimu."
Kali ini tak ada yang dapat mencegah air mata Anna jatuh. Gadis itu menekap mulutnya. Dia menggeleng keras-keras.
"Tidak." Anna terisak, "Kau tidak—"
"Anna..." Toby mengulurkan kedua tangannya dan menyentuh pundak Anna lembut, "Terima kasih atas suratmu. Maaf aku telah mengecewakanmu hingga saat terakhir. Maaf karena... aku terus membuatmu menunggu."
Diiringi ledakan tangis yang tak mampu dibendungnya, Anna memeluk Toby erat. Cowok itu balas memeluknya. Untuk pertama kalinya, Anna dapat merasakan kasar dan hangatnya jaket tim futbol Hendersonville yang selalu dikenakan Toby. Dia dapat merasakan lengan-lengan besar cowok itu melingkari tubuhnya. Dan dia dapat merasakan lembutnya rambut Toby yang menyentuh pipinya.
Seandainya waktu dapat diputar ulang. Anna rela menyerahkan apa saja demi memutar ulang waktu. Membawa segalanya kembali ke awal. Sebelum tragedi itu. Sebelum pertengkaran Toby dan Colton. Sebelum kehamilan Amber. Sebelum surat itu ditulis. Sebelum segalanya terjadi.
"Tolong katakan pada dua bocah itu kalau aku menyayangi mereka. Aku ingin mereka tetap menjadi dua sahabat terbaikku. Sekarang dan seterusnya. Begitupun mereka, satu sama lain." ujar Toby.
Anna mengangguk, "Aku menyayangimu." ujarnya serak di sela-sela isakan. Dia dapat merasakan pelukan Toby semakin erat.
"Omong kosong. Aku lebih menyayangimu." kata Toby di bahu Anna, membuat air matanya semakin deras, "Terima kasih atas segala yang telah kaulakukan. Terima kasih karena sudah menyukaiku."
"Terima kasih juga sudah menyelamatkanku di pemakaman." ucap Anna dengan suara bergetar.
Anna merasakan tubuh Toby berguncang karena tawa.
"Sama-sama."
---
:')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top