Chapter 13
Bohong jika Anna bilang dia tidak merindukan ayahnya.
Entah sudah berapa tahun Anna tidak pernah mengunjungi makamnya, menatap ukiran nama Robert Willow di atas nisan abu-abu yang agak berdebu itu. Sudah nyaris sebulan Anna tidak bertemu dengan ayahnya. Padahal Anna sudah berhenti mengkonsumsi Quetiapine.
Mungkin itu salah satu alasan mengapa di Minggu pagi itu dia merasakan dorongan kuat untuk mengunjunginya dan membawakan bunga lili untuk diletakkan di sebelah nisannya.
Dorongan itu pula yang membawanya berpapasan dengan Amber Mills ketika sudah hendak meninggalkan pemakaman.
"Amber?"
Gadis itu berdiri di sana. Menoleh mendengar namanya dipanggil. Dia agak terperanjat mendapati Anna berada di sana. Amber masih sama cantiknya dengan yang terakhir kali Anna ingat. Rambut pirang panjangnya yang bergelombang terurai alami, tanpa ditata dengan hairspray seperti yang selama ini selalu terlihat di sekolah. Hanya saja, wajah gadis itu tampak kuyu.
"Hai, Anna." sapanya seraya tersenyum lembut.
Anna balas tersenyum, "Kami merindukanmu di sekolah."
Amber tidak menyahut. Alih-alih, dia malah bertanya. "Mengunjungi seseorang?"
"Yeah, ayahku." Anna menunjuk nisan dengan bunga lili tak jauh di belakangnya, dan Amber mengangguk paham, "Kau sendiri?"
Amber lagi-lagi tidak langsung menjawab.
"Mau ikut denganku? Kurasa ini waktu yang tepat." katanya seraya menggedikkan bahu, mengisyaratkan Anna untuk mengikutinya.
Maka Anna berjalan di belakang gadis itu, mengagumi profilnya yang mengagumkan dan proporsional. Amber mengenakan blus satin pink pucat yang semakin menonjolkan kulitnya yang putih, serta celana putih pas badan, membuat kaki-kakinya yang jenjang semakin terlihat sempurna. Tidak heran bila cowok-cowok memujanya.
Amber berbelok setelah kira-kira berjalan seratus meter dari tempat mereka berpapasan tadi, kemudian berhenti di depan salah satu nisan yang ukiran namanya tak akan pernah Anna lupakan seumur hidupnya.
Tobias Mozkovitz.
Anna tak sanggup berkata-kata. Dia merasakan lidahnya kelu, dan kedua lututnya gemetar. Di sinilah Toby. Jasad cowok itu terbaring bermeter-meter di bawahnya.
Belum pernah Anna sesadar ini sebelumnya. Toby Mozkovitz sudah tiada. Cowok itu sudah meninggal.
Anna merasakan Amber berlutut di sebelahnya. Dia meletakkan buket bunga kecil di hadapan nisan itu. Kemudian gadis itu berkata, "Sudah lama sekali aku tidak ke sini."
Setelah beberapa menit berdiri mematung di sana, Anna akhirnya dapat menemukan kekuatan kembali dan ikut berlutut di sebelah Amber. Dia mengamati tulisan yang tertera di bawah nama Toby; Saudara, Putra, dan Teman.
"Halo, Toby. Kau kedatangan pengunjung." Amber tersenyum pada nisan itu, "Ini Anna. Anna Willow. Kau kenal dengannya kan?"
Anna tidak berkata apa-apa, lidahnya masih kelu. Tenggorokannya serasa tercekat.
"Anna, bisakah kau menjaga rahasia?" tanya Amber tiba-tiba.
Rasanya Anna sudah dapat menduga bahwa ini akan terjadi, cepat atau lambat. Sejak kunjungannya ke rumah keluarga Mills, bertemu dengan ibu Amber yang mengatakan bahwa anak perempuannya terlibat dalam tewasnya Toby, dia sudah tahu. Setitik perasaan itu sudah menghinggapi sudut pikirannya selama ini.
Namun Anna tidak mampu mempersiapkan diri akan apa yang dikatakan Amber. Karena itu, sambil bengong dia hanya mampu bertanya bodoh. "Rahasia?"
"Kau pernah tanya apa hubunganku dengan Colton, kan?"Amber memulai, "Dia dulu begitu baik padaku. Begitu pengertian. Toby juga baik. Maksudku, seisi kota mencintainya..." dia terkekeh mengenang, "...tetapi itu membuatku berpikir, apakah aku mencintainya dengan cara yang sama seperti seisi kota?"
Angin hangat berhembus dari arah hutan yang membatasi lahan pemakaman. Amber menahan rambutnya agar tidak acak-acakan terbawa angin, sementara Anna masih belum dapat menerka arah pembicaraan Amber.
"Hubungan kami mulai renggang, aku dan Toby, sejak Colton Parker tergabung sebagai quarterback tim, dan dia segera jadi favorit pelatih kami. Waktu itu dia senior. Dan senior populer macam Colton tak banyak yang tertarik untuk menjalin hubungan pacaran yang serius, karena sebentar lagi dia lulus dan masih banyak hal untuk 'dilakukan' di luar sana. Tahulah, cowok." Amber mengulum senyum, "Tetapi Colton semakin menarik perhatianku karena dia... berbeda."
"Colton begitu perhatian." Amber bercerita, "Dan dia adalah satu-satunya cowok yang benar-benar mendengarkanku...dan mengerti diriku. Kisah-kisahku. Impianku. Kami saling bertukar pikiran, obrolan kami cocok, dan lambat laun kusadari... bahwa dialah yang kuinginkan."
"Kami mulai sering bertemu, tanpa diketahui Toby. Dan di suatu kencan, kami berdua sama-sama tak mampu lagi membohongi diri sendiri. Bodohnya, kami ceroboh. Dan aku hamil."
Anehnya, Anna tidak terkejut. Mungkin sedikit, tapi yang jelas suaranya masih terdengar cukup tenang dan datar saar bertanya kepada Amber, "Kau dan Colton?"
"Kami berdua sama-sama bodoh. Itu saja." Amber mendengus sinis.
Jadi itu benar, Kevin. Anna membatin. Gosip itu benar.
"Lalu..." Anna berkata, "Apa yang terjadi?"
"Aku menceritakannya kepada ibuku. Tetapi ayahku belum tahu waktu itu. Toby juga tidak tahu." Amber menatap nisan Toby, matanya mulai terlihat berkaca-kaca. "Yang membuatku tak habis pikir adalah, Colton kemudian datang. Dan mulai bicara soal tanggung jawab kepada ibuku. Saat itu kupikir urusannya akan selesai jika Colton tidak pernah datang. Tetapi dia datang. Dan dia melarangku menggugurkan kandungan. Dia juga bilang akan menikahiku."
Anna terperangah. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Colton Parker dulu adalah cowok yang begitu... begitu... tulus. Dia mampu menepiskan ego demi gadis yang dicintainya. Dia rela melakukan hal itu. Cowok mana di abad dua satu yang mampu melakukan hal semacam itu?
Lalu mengapa? Mengapa cowok sebaik itu mampu menyebabkan sahabatnya sendiri terbunuh?
"Kurasa saat itu aku ketakutan. Aku panik dan marah. Menjadi seorang istri dan ibu di usia tujuh belas jelas bukan cita-citaku. Kubilang padanya kebohongan besar yang hingga sekarang masih kusesali; bahwa dia tidak akan pernah bisa menikahiku karena aku akan selalu memilih Toby."
Suara Amber pecah saat dia meneruskan, "Lalu aku mengugurkan kandungan itu. tanpa sepengetahuan Colton. Begitu mengetahuinya, dia marah besar. Belum pernah kulihat dia semarah itu. Di tengah-tengah kekacauan itu, aku mengatakan bahwa itu keinginan Toby. Kebohongan besar lainnya."
Anna menggeleng perlahan, syok.
"Kau tidak melakukannya." ujarnya kepada Amber. Amber tertawa, namun air mata mengalir deras di kedua pipinya.
"Oh, ya. Aku melakukannya, Anna. Malam harinya, Colton mendatangi rumah Toby dan mereka berkelahi. Keesokannya, Toby memutuskanku di hadapan seisi sekolah, di koridor yang ramai sesaat sebelum bel. Itu hukuman yang sesuai, tetapi pada saat itu aku terlalu egois sampai-sampai aku mengatakan pada Colton bahwa aku membencinya ketika dia mendatangiku di ruang ganti gimnasium. Dan sejak itu, aku menolak bicara dengannya. Aku si pembohong besar, perusak hubungan antara dua sahabat baik, juga telah menghancurkan perasaan dua cowok."
Lalu Amber bangkit. Wajahnya masih berlinang air mata. Dan untuk pertama kali dalam hidup Anna, ketika melihat wajah gadis itu menunduk menatap nisan mantan pacarnya dengan tatapan yang begitu nanar dan penuh penyesalan, Anna merasakan dirinya begitu menggelegak karena emosi. Bukan simpati. Hanya... kemarahan. Kekecewaan.
"Kau..." Anna berdiri, berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menubruk dan mencekik cewek di hadapannya itu, "...kau tahu seberapa besar akibat dari perbuatanmu itu?"
Amber tersenyum ironis, "Bisa kulihat jelas di hadapanku saat ini."
Perkataan itu menjadi pemicunya, seperti pemantik yang dinyalakan di tengah-tengah ruangan penuh gas. Anna merasakan tangannya terbakar ketika dia mendaratkan tamparan menyakitkan di pipi Amber. Sekeras dan sekuat mungkin. Telinganya berdenging dan kepalanya seolah berputar akibat luapan emosinya.
Namun, reaksi Amber tak terduga. Gadis itu hanya memegangi pipinya yang memerah dan tertawa getir.
"Itu belum setimpal, kan?" dia bertanya kepada Anna, yang menggeleng.
"Sama sekali belum." geram Anna, "Mereka dulu bersahabat! Teganya kau...?"
"Colton tidak bersalah!" Amber berseru putus asa, "Tidakkah kau tahu? Kevin Spencer bersaksi di pengadilan. Dia memberi kesaksian yang menguatkan keputusan bahwa Colton tidak bersalah..."
Anna menggeleng cepat-cepat, "Colton membuat Toby mengalami kecelakaan itu. Kevin membencinya karena itu."
"Kevin Spencer membenci dirinya sendiri karena tidak dapat menjebloskan Colton ke dalam penjara." Amber menatap Anna lurus-lurus, "Karena sikapnya yang terlalu jujur. Dan mungkin dia menyesalinya sekarang."
Anna mengawasi Amber berlutut di hadapan nisan Toby dengan jantung yang masih berdentum-dentum di bawah lehernya. Dia tidak percaya dengan semua yang dikatakan Amber. Kevin hadir di pengadilan itu dan bersaksi membela Colton? Apa maksudnya? Mengapa selama ini dia justru mendapat kesan bahwa cowok itu benar-benar membenci Colton?
"Kau bisa tanya padanya." kata Amber, seolah membaca pikiran Anna, "Sudah saatnya kau menghadapi kenyataan."
Ironisnya, perkataan Amber itu menamparnya jauh lebih menyakitkan.
Anna berada di Hill's Rock satu jam kemudian, menikmati angin hangat yang berhembus di sekelilingnya. Untuk pertama kalinya tidak mengharapkan kehadiran Toby. Dia juga tidak menelepon Kevin, seperti janjinya selama ini untuk tidak keluyuran sendirian.
Sudah setengah tahun yang lalu sejak insiden kecelakaan sepeda itu terjadi. Kecelakaan itu terlalu mengejutkan dan menyakitkan hingga Anna tidak ingin mengetahui apapun tentangnya. Dia mengganti saluran berita setiap menonton televisi selama berbulan-bulan. Dia juga membuang koran setiap pagi selama beberapa bulan berikutnya. Dia menyumbat kedua telinganya dengan earphone setiap kali ada yang berbicara mengenai kejadian itu. Dia menutup dirinya.
Tetapi sekarang, setelah mendengarkan pengakuan Amber, setelah semua ini terjadi... Anna tak lagi yakin dirinya sanggup memblokir semua itu.
Ini sudah terlalu lama.
Sudah saatnya menghadapi kenyataan.
---
You can do it, Anna.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top