Chapter 11
"Kau masih anggota klub siaran."
Sepotong kecil kentang goreng terjatuh dari mulut Anna ketika mendengar Kevin mengatakannya di tengah keramaian kantin. Betul-betul aneh bagi Anna berada di tempat itu setelah sekian lama tidak duduk di salah satu mejanya untuk makan. Hiruk pikuk dan kebisingannya membuat kepalanya agak pening.
Sebelumnya, Kevin memang selalu makan di sini. Dia bukan murid 'terbuang', kebiasaan makan di ruang klub itu baru muncul setelah dia bergaul dengan Anna. Sebelumnya, Kevin sama normalnya dengan cowok-cowok SMU seusianya. Hanya saja teman-temannya memang tidak terlalu banyak.
Bicara soal teman, hari ini Kim masih bersikap sok cuek. Jelas-jelas cewek itu sempat melihat ke arah meja tempat Anna dan Kevin duduk tadi, ketika dia baru masuk untuk mengantre makanan. Tetapi kemudian Kim melewati begitu saja meja mereka tanpa menoleh sedikitpun. Bukannya sombong, cewek itu terkesan menghindar, seolah-olah takut beradu tatap dengan Anna atau Kevin dapat membakar bola matanya hingga bolong atau semacamnya.
Memikirkan hal ini, Anna dengan waswas menatap sekitar. Tidak ada yang menatap ke arahnya. Atau menyunggingkan senyuman menyebalkan sembari meliriknya dan berbisik-bisik. Tampaknya tidak ada yang menyadari kehadirannya.
"Takjub karena 'Si Aneh' tidak dijadikan objek bulan-bulanan kali ini?" Kevin menaikkan sebelah alisnya, menebak jitu. Anna hanya mendengus.
"Perhatian orang-orang sedang tertuju pada hal lain." Kevin menggedikkan kepala ke arah meja agak di tengah ruangan, yaitu meja Amber Mills dan dua teman ceweknya. Biasanya meja itu ramai dikelilingi sisa anggota tim pemandu sorak lainnya dan beberapa cowok dari tim futbol. Tetapi sekarang meja itu terlihat lowong, "Rupanya bukan hanya kita yang melihat pertemuannya dengan Parker waktu itu, di Silbury."
Memang benar. Sekelompok cewek yang duduk di meja sebelah mereka tengah berdiskusi serius sembari sesekali mencuri-curi pandang ke arah Amber. Begitu pula dengan beberapa orang yang sedang mengantre makanan di bar.
"Dia sedang mengalami masa yang berat." Anna memperhatikan Amber. Cewek itu tampak sedang melamun sambil memutar-mutar kaleng soda dietnya. Menyadarinya, Kevin mendengus heran.
"Kau merasa kasihan padanya?" dia bertanya, "Bukankah dia salah satu yang mengerjaimu selama ini?"
Tanpa mengalihkan pandangannya dari Amber, Anna menggeleng, "Dia memang angkuh. Tetapi dia tidak pernah memanggilku 'Aneh'."
Amber Mills boleh jadi pentolan tim pemandu sorak paling cantik sekaligus paling angkuh yang pernah dimiliki Hendersonville High, tetapi setidaknya dia tidak gemar memanggil-manggil orang lain dengan sebutan tidak layak. Dan untuk itu, dia mendapatkan tulisan pelacur besar-besar di lokernya. Mau tidak mau, Anna merasa agak kasihan padanya saat ini.
"Jadi apa saja yang kau kerjakan semalam?" pertanyaan Kevin yang tiba-tiba itu menyita perhatiannya. Anna mengernyit tak paham.
"Apa?"
"Aku meneleponmu." Kevin berujar.
Mendadak Anna paham, "Jadi itu nomormu?"
Kevin hanya menggeleng-geleng lelah sembari merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan sesuatu-seperti lembaran kertas yang sudah sangat lecek-dan meletakkannya di hadapan Anna. Anna dapat langsung mengenalinya. Lembaran tiket konser yang tempo hari dibuang Colton Parker ke tong sampah.
"Kupikir kau kesal gara-gara itu." ujar Anna, setengah bertanya.
"Terlalu sayang untuk dilewatkan." Kevin nyengir.
"Tanggal acaranya akhir minggu ini." komentar Anna.
"Yeah." Kevin mengangguk setuju, "The Courteeners lumayan keren."
Anna memandangi lembaran tiket itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali memperhatikan Amber. Terlepas dari segala permasalahannya, gadis itu benar-benar beruntung. Mantan dua cowok terpopuler di sekolah sama-sama bertekuk lutut kepadanya. Tidak heran, tampaknya Tuhan memasukkan terlalu banyak elemen kesempurnaan ketika menciptakan Amber Mills.
"Bagaimana menurutmu?" Kevin bertanya.
"Dia benar-benar beruntung." desah Anna. Mendengarnya, Kevin mengangkat alis bingung.
"Siapa? Amber? Karena tiket ini?"
Tersadar akan perkataannya yang melantur, Anna buru-buru menggeleng dan kembali memfokuskan perhatiannya pada Kevin, "Uh, yeah. Aku nggak tahu kau suka The Courteeners."
Kevin menyandarkan diri ke kursinya sambil menghela napas, tersenyum kepada Anna dan menatap gadis di hadapannya itu dengan sorot penasaran. Gesturnya itu mirip seperti peneliti yang gagal mengidentifikasi temuan barunya. Merasa kalah sekaligus tertantang.
"Yeah, khusus terhadap salah satu albumnya saja, kalau kau tahu maksudku." Kevin nyengir misterius, "Jadi...?"
"Jadi..." Anna masih gagal paham.
Bel masuk berbunyi tepat saat itu, membuat Kevin menurunkan bahunya dengan gelagat menyerah, namun senyumannya belum pudar.
"Sudahlah. Kujemput kau di rumahmu Sabtu ini, pukul enam." Kevin bangkit dari kursinya dan mengangkat nampan makan siangnya yang sudah kosong, "Dan simpan nomorku kali ini, untuk jaga-jaga."
Kenyataan bahwa Kevin mengajaknya kencan agaknya membuat Anna agak tidak fokus sepanjang sisa minggu itu. Bukan karena gugup, melainkan karena tidak percaya bahwa seorang cowok senormal Kevin Spencer pun dapat menunjukkan ketertarikan terhadapnya. Entah apa yang dipikirkan cowok itu. Kim masih menunjukkan gelagat menyebalkan yang sama-menghindar setiap kali Anna berada tak jauh darinya-jadi dia tak bisa meminta saran bagaimana sebaiknya menghadapi situasi ini. Tidak mungkin bercerita kepada Carol-mereka masih perang dingin. Biasanya Anna selalu menceritakan berbagai hal kepada Bibi Heather, namun kali ini rasanya dia bukan orang yang tepat. Di samping itu, pertemuannya yang terakhir kali dengan Bibi Heather agak kurang mengenakkan.
Tidak ada yang dapat menyurutkan kekhawatiran Anna hingga hari Sabtu akhirnya tiba. Gadis itu sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia menguncir kuda rambut bob-nya seperti biasa atau membiarkannya tergerai alami. Anna bahkan memakai sedikit make up, padahal dia tidak ingin menimbulkan kesan yang salah.
Setelah dipikir-pikir, ini lebih tepat disebut acara keluar kasual. Tiket itu bukannya sengaja dibeli Kevin atau apa. Dan Anna hanya kebetulan memiliki selera musik yang sama dengannya, sehingga dia memilih mengajak Anna.
Ketika mempertimbangkan untuk menghapus kembali make up nya, pintu kamarnya diketuk pelan.
"Anna? Ada... teman cowokmu menunggu di bawah." suara Carol terdengar dari balik pintu. Ini pertama kali sejak pertengkaran itu ibunya mengajaknya bicara, pertanda bahwa situasi ini memang agak khusus.
"Sebentar lagi." Anna menyahut. Masih pukul enam kurang sepuluh! Acaranya bahkan tidak sejauh itu, untuk apa Kevin datang begitu awal?
Anna menatap dirinya di cermin. Sudah terlambat untuk merombak penampilannya sekarang. Dia tidak tega membiarkan Kevin menunggu terlalu lama di bawah, melakukan percakapan canggung dengan ibunya dan menontoni Alex merajuk. Karena itu dia segera menyambar tasnya dan bergegas turun. Setibanya di bawah, apa yang dilihatnya betul-betul tidak sesuai dugaan.
Carol sedang menyaksikan Alex yang terbahak-bahak dalam gendongan Kevin, sementara cowok itu tengah memperagakan wajah-wajah konyol kepada adik laki-lakinya.
Carol menghapus air mata gelinya, "Ya ampun... tidak biasanya lho, dia cepat akrab dengan seseorang yang baru ditemuinya... oh, di situ kau rupanya, Anna!"
Perhatian Kevin seketika teralihkan dan dia menoleh memandang Anna yang sudah berdiri di kaki tangga. Sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan, Anna buru-buru menutup mulutnya yang sempat terbuka saking terperangahnya.
"Kau datang cepat." hanya itu yang terpikirkan untuk dikatakan Anna saat ini. Carol mengulurkan tangannya untuk mengambil kembali Alex dari gendongan Kevin.
"Lihatlah, adikmu sudah sok manja dengan Kevin." Carol menatap Anna dan Kevin bergantian, lalu mengulum senyum, "Sudah sana, kalian pergilah. Bilang 'dadah' ke kakakmu, Alex."
"Dadah, Anna!" Alex mencondongkan badannya ke arah Anna, memonyongkan bibirnya yang mungil dan menggemaskan. Anna menurutinya dan membiarkan adiknya mengecupnya dengan berisik.
"Sampai nanti, Al-Al." Anna mencubit hidung Alex, "Bye, Mom."
Carol tersenyum, entah penglihatan Anna yang salah atau mungkin sekadar tipuan cahaya, mata ibunya terlihat berkaca-kaca, "Bersenang-senanglah."
"Dah, Alex." Kevin mengacak rambut Alex, sebelum menampilkan wajah konyol terakhir yang membuat bocah itu kembali terbahak-bahak, lalu nyengir kepada Carol, "Pinjam anak perempuanmu dulu, Carol."
"Pulangkan dia dengan selamat." wanita itu berkata sok resmi sementara Anna menyelamatkan diri dari topik yang bikin malu itu dengan buru-buru keluar.
"Ibu dan adikmu tampaknya normal." Kevin terkekeh sementara dia menyusul Anna berjalan menuju Ford Caprisnya yang diparkir di dekat trotoar. Skinny memperhatikan Anna dan Kevin sambil mengibas-ngibaskan ekornya antusias, mengira bakal diajak jalan-jalan.
"Trims..." Anna memutar bola matanya menanggapi lelucon menyindir itu, "Kau sendiri tidak kelihatan seperti tipe cowok yang suka anak kecil."
"Tadi agak iri juga dengan Alex."
Anna meringis mendengar gumaman melantur Kevin, "Apa?"
Kevin hanya nyengir seraya membukakan pintu mobil untuk Anna, "Silakan."
Hari ini Kevin tampaknya agak lebih bersemangat dari biasanya. Entah karena tingkahnya-yang tak hentinya bersenandung pelan mengikuti irama lagu-lagu yang diputarnya sepanjang perjalanan-atau karena penampilannya. Sepertinya bukan hanya Anna yang agak 'berdandan' hari ini. Kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung sesiku dengan dalaman kaus abu-abu polos dan jins pas badan akan tampak biasa saja pada cowok-cowok lain, tetapi efeknya berbeda dengan Kevin. Mungkin karena Anna terbiasa melihat cowok itu mengenakan pakaian yang kebesaran satu nomor dari ukuran tubuhnya. Dia tampak lebih proporsional dan... well, Anna sampai heran sendiri kenapa dirinya sempat beranggapan bahwa Kevin itu kurus. Jangkung, memang. Tapi sama sekali tidak bisa dibilang kurus. Dalam artian positif, tentunya.
Mereka tiba tepat pukul tujuh, konsernya diadakan di semacam arena lapang di tengah-tengah area perkemahan. Menurut Kevin, tempat itu biasa digunakan sebagai daerah perkemahan bagi para turis setiap musim panas, tetapi terkadang dapat pula disewa band-band indie untuk mengadakan konser kecil-kecilan.
Kevin memarkir mobilnya tak jauh dari arena utama-panggungnya terlihat dari sana-dan seperti yang bisa diduga, sudah banyak penonton yang memadati tempat itu.
"Tidakkah kau merasa agak curang?" Kevin kembali dari kios minuman dan menyerahkan segelas coke kepada Anna, "Bersenang-senang di atas penderitaan orang lain?"
"Penderitaan?" Anna menyesap minumannya.
"Siapa tahu Parker sedang meringkuk di kamarnya saat ini, menangisi kenekatan dan kebodohannya. Dan dua lembar tiket yang diremas dan dibuangnya."
Anna meneguk minumannya lagi. Dia sangat meragukan bahwa Colton Parker adalah tipe yang selemah itu. Tetapi Anna memutuskan untuk tak menyuarakan pikirannya. Dia tidak ingin merusak suasana.
Konser dimulai sekitar lima menit kemudian. Area sekitar panggung mendadak padat oleh penonton. Anna senang mereka tidak harus ikut berjubel menonton di kerumunan bagian depan, Kevin dan dirinya sama-sama sadar mereka bukanlah penggemar berat The Courteeners, maka mereka cukup puas hanya menonton dari baris belakang yang cukup lega. Kebanyakan lagu-lagu yang dibawakan berasal dari album baru mereka, sementara Kevin dan Anna sama-sama lebih banyak mendengarkan lagu dari album-album lama, sehingga jadi heboh sendiri ketika mereka mengenali beberapa intro lagu yang dimainkan. Seperti kata Kevin, 'terlalu sayang untuk dilewatkan'.
Secara keseluruhan, konsernya cukup hebat. Aksi panggungnya tidak 'hampa', serta vokalisnya cukup interaktif. Ketika pertunjukkan usai sekitar dua jam kemudian, Kevin dan Anna sama-sama mengikuti sebagian besar arus menjauhi panggung, menuju area parkir. Keduanya sama-sama senang, dengan wajah yang memerah akibat kebanyakan melonjak-lonjak.
Masih terbawa euforia, di mobilnya Kevin menyetel CD yang baru dibelinya di bazaar kecil-kecilan di tempat konser tadi dan karaoke sepanjang jalan. Nyaris setengah jam Anna ikut terbawa suasana dan ikut bernyanyi bersama Kevin-lebih tepatnya berteriak-teriak-hingga akhirnya suara Liam Fray mengalun sendirian dari radio mobil, sementara keduanya terdiam karena kelelahan.
Pemandangan kontur daerah Hendersonville yang berbukit memang indah, terutama di malam hari, karena cahaya lampu kota-kota di sekitarnya dapat sewaktu-waktu terlihat. Terkadang berada lebih tinggi dari tempatmu berada, atau lebih rendah dan jauh sehingga cahayanya tampak gemerlapan, bersaing dengan langit yang bertabur bintang.
Dan malam ini cuacanya cerah. Ketika mereka melewati jalur yang bebas pepohonan, dengan senang hati Anna membuka lebar-lebar jendela mobil dan menikmati pemandangan serta hembusan angin yang hangat, merasakan rambutnya diobrak-abrik kecepatan.
"Nanti masuk angin." terdengar gumaman Kevin dari sebelahnya.
Anna menggeleng, "Seperti katamu. 'Terlalu sayang untuk dilewatkan'."
Kemudian Kevin melambatkan laju kendaraan dan menepikan Ford Caprisnya, dan mematikan mesin. Seketika suara radio menghilang dan suasana sunyi senyap. Anna menoleh kebingungan.
"Berhenti saja dulu kalau mau lihat pemandangan." Kevin membuka pintu mobil dan turun. Maka Anna ikut turun dan berjalan menghampiri pagar pembatas jalan. Saat itu Anna merasakan kemiripan yang ganjil antara tempat itu dengan Hill's Rock. Pemandangan perkotaan di bawahnya saat ini jelas jauh lebih bagus dibandingkan pabrik tua terlantar yang membosankan, serta jalanan di sini lebih lebar, tanpa tanjakan. Namun desir pepohonannya, suasananya, agaknya sedikit mengingatkan Anna akan tempat itu. Betapa dirinya tak pernah menduga akan ada tempat favorit lain baginya selain Hill's Rock hingga saat ini.
"Kenapa kita tidak sering-sering lewat sini, ya?" Kevin tersenyum menatap hamparan cahaya kecil-kecil di hadapannya, mengaguminya.
"Kalau terlalu sering hanya akan membuatmu bosan." Anna menyandarkan kedua tangannya ke pagar pembatas. Setelah kira-kira lima menit tak saling bicara akibat terbuai pemandangan, Kevin menghela napas panjang dan membalikkan badan menghadap ke jalan raya.
"Seharusnya kulakukan ini dari dulu." gumam Kevin, membuat perhatian Anna teralih.
"Melakukan apa?" Anna menoleh.
"Hal ini." Kevin mengangkat bahu, "Bersenang-senang. Teriak-teriak di mobil..." Anna terkekeh mendengarnya, "Menikmati pemandangan. Ngobrol denganmu."
Kevin menoleh menatap Anna dengan sepasang mata cokelatnya yang jernih. Dan tatapan cowok itu seketika menguncinya. Angin kembali bertiup agak kencang, dan Anna tiba-tiba saja merasakan dorongan kuat untuk menyibakkan helaian-helaian rambut yang menutupi mata Kevin dengan jemarinya.
Tetapi gadis itu tidak melakukannya. Keduanya hanya saling pandang selama beberapa saat. Satu menit? Dua menit? Entahlah, satu jam? Dan tuntutannya semakin besar. Anna mengawasi cowok itu. Kevin masih menatapnya, menatap dengan sorot yang baru pertama kali dilihatnya. Pandangan yang begitu intens dan dalam, seolah menembus ke dalam dirinya, sampai-sampai rasanya Anna merasa dirinya akan terbakar hanya dengan ditatap seperti itu terus menerus dalam jarak sedekat ini.
Kenapa kau diam saja?
Hingga akhirnya, ketika pandangan itu perlahan turun, ketika mulut Kevin membuka seperti hendak mengatakan sesuatu namun urung, dan ketika sepasang mata cowok itu terasa semakin besar, Anna menangkap sesuatu di ekor matanya yang betul-betul tak bisa diabaikannya.
Toby?
Toby Mozkovitz berdiri persis di seberang jalan, di bawah naungan pepohonan, nyaris tak terlihat karena dia tampak samar. Tetapi dia di sana, menatap Anna lurus-lurus. Sulit menerka ekspresinya. Dia kelihatan... marah. Marah sekaligus sedih. Dan tampaknya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak mampu.
Selama beberapa saat Anna hanya mematung di tempatnya, bengong memandangi Toby yang mendadak muncul kembali di hadapannya setelah sekian lama menghilang. Dia merasa dikhianati. Apa yang diinginkannya? Mengapa dia muncul justru di saat-saat seperti sekarang?
Semakin lama, wujud Toby semakin kontras dengan gelapnya pepohonan di sekitarnya, dan dia semakin tampak nyata. Cowok itu membuka mulutnya dan mengucapkan satu kata yang dapat ditangkap Anna walaupun sama sekali tak ada suara yang terdengar.
Tolong.
Lalu Toby berbalik dan berjalan memasuki hutan, sosoknya hilang dibalik pepohonan. Seketika, Anna merasakan dorongan kuat untuk mengikuti Toby. Tanpa sadar, kaki-kakinya bergerak membawanya menyeberangi jalan yang sepi dan masuk ke dalam hutan. Dia bahkan nyaris tak ingat bahwa Kevin sedang bersamanya, panggilan-panggilan bernada bingung dari cowok itu hanya terdengar samar-samar di telinganya. Saat ini yang penting baginya adalah mengetahui penyebab Toby mendadak muncul dan apa yang coba disampaikan cowok itu saat ini.
Beberapa menit yang lalu, cahaya dari lampu-lampu jalan masih sanggup menerangi setapak di antara pepohonan, sehingga Anna dapat melangkah dengan mantap. Namun semakin memasuki hutan, cahaya dari lampu jalan perlahan menghilang dan Anna tahu-tahu sudah dikelilingi kegelapan yang pekat. Bahkan gadis itu harus agak menjulurkan kedua lengannya ke depan untuk berjaga-jaga seandainya ada pohon di depannya dan melangkah sehati-hati mungkin agar tak tersandung ranting.
Tiba-tiba, terdengar suara rintihan. Disusul teriakan.
Anna mengerem langkahnya. Jantungnya berdegup kencang hingga terasa di bawah lehernya. Asal teriakannya berada tak jauh di depannya.
Tegang, Anna kembali meneruskan jalannya, langkahnya berubah semakin cepat hingga nyaris berlari. Dia menerobos semak-semak di antara pepohonan untuk mendekati sumber suara. Semakin dekat, suara-suaranya semakin terdengar jelas. Ada suara erangan tertahan, seperti ketika mulutnya dibekap, dan bunyi debuman di tanah.
"Halo?!" Anna akhirnya memberanikan diri berseru. Mendadak suasana senyap. Anna berhenti, napasnya yang terengah-engah mengepul di udara yang dingin. Dirinya telah tiba di semacam area hutan yang terbuka, pepohonannya tidak serapat tadi, sehingga cahaya bulan dapat menembus masuk ke dalam sini.
Dan hanya beberapa meter di depannya, Anna melihat sesuatu yang ganjil. Awalnya dia mengira dua orang tengah bergumul di tanah, satu menimpa yang lain, namun kemudian dia mengenali profil gadis yang memberontak di tanah. Itu Amber Mills. Dia menoleh melihat Anna dan serta merta matanya membelalak, berontakannya semakin kuat dan dia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman laki-laki yang menindihnya dan berteriak, "Tolong!"
Hampir bersamaan dengan itu, begitu menyadari kehadiran Anna, si laki-laki melompat berdiri, menjauh dari Amber Mills.
Colton Parker.
Selama sepersekian detik Anna bertatap-tatapan dengan Colton, sebelum dia mengalihkan tatapannya ke balik bahu Anna, lalu berbalik dan berlari kabur. Sosoknya dengan cepat menghilang di balik pepohonan sebelum Anna sempat melangkah lebih jauh.
Isakan pelan dari Amber Mills menyadarkan Anna, dia kembali terfokus pada gadis itu, dan baru menyadari bahwa Amber tergeletak di tanah dalam keadaan mengenaskan. Kemejanya robek dan nyaris seluruh tubuhnya kotor terkena tanah akibat pergulatannya. Amber betul-betul tampak ketakutan dan terguncang, pipinya basah oleh air mata ketika Anna menghampirinya dan memeluknya.
"Dia mengancam akan... mem-membunuhku!"
Amber terisak, tubuhnya berguncang karena tangis. Anna tak sanggup mengatakan apa-apa. Apa yang baru saja dilihatnya sudah cukup membuatnya kehilangan kata-kata. Entah apa yang dirasakan Amber sekarang. Melihatnya menangis mau tak mau membuat Anna agak takjub, jika apa yang dialami Amber saat ini terjadi padanya, entah apa yang bisa dilakukannya. Menangis? Berlari mengejar Colton dan menonjoknya? Mungkin dirinya hanya mampu terdiam. Gemetar, ketakutan, dan marah, namun tidak tahu harus berbuat apa.
Bunyi gemerisik semak terdengar dari belakang Anna ketika Kevin muncul, dia melangkah menghampiri Anna yang memeluk Amber. Dia menatap Amber yang membenamkan wajahnya di pelukan Anna, tampak ganjil. Belum pernah, sekalipun, Anna melihat ekspresi semacam itu muncul di wajah Kevin. Sorot matanya berubah liar. Rahangnya terkatup kaku dan wajahnya memerah. Dia tampak luar biasa murka. Dan ketika berbicara, suaranya pelan dan kelam, sedingin es.
"Aku akan membunuhnya."
---
Noo... Kevin :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top