Chapter 10

Seminggu sejak kejadian itu, kehidupan sosial Anna—yang sejak mula memang sudah membuatnya depresi—semakin menyengsarakan.

Seseorang rupanya melihat pertengkaran Anna dengan Toby pagi itu—walaupun di mata orang itu hanyalah terlihat Anna yang berteriak-teriak kepada udara kosong di trotoar depan rumahnya jam tujuh pagi—dan gosip itu menyebar secepat kedipan mata.

Kini praktisnya semua orang di Hendersonville High—hingga ke tukang bersih-bersihnya—sudah tahu bahwa kebiasaan 'Si Aneh Anna' kumat lagi.

Pagi ini, ada yang menyikut Anna di lorong dan meneriakinya untuk menyewa pembasmi hantu. Dan beberapa saat yang lalu, segerombolan tim pemandu sorak berjalan melewatinya sambil terkikik-kikik merendahkan, menggumamkan panggilan-panggilan yang membuat kupingnya panas.

Dulu, jam makan siang adalah satu-satunya waktu bagi Anna untuk bernapas. Dia bisa sendirian di ruang siaran dan tidak ada yang memanggilnya Si Aneh. Tetapi kali ini berbeda. Kim dan Kevin kini sudah menjadi penghuni tetap ruang siaran di waktu istirahat, karena itu Anna tidak bisa menghindari pertanyaan menyudutkan dari Kevin mengenai gosip yang beredar. Topik hari ini adalah Si Aneh Anna.

"Jadi... itu benar?" tanya cowok itu segera setelah meletakkan nampan makan siangnya di lantai berkarpet di hadapan Anna. Kim, yang menyusul masuk dan membawa menenteng sandwich serta sekotak jus, ikut duduk di sebelahnya.

Anna hanya mendongak sekilas. Dia betul-betul sudah muak dengan topik hari ini sampai-sampai rasanya bukan mustahil kalau dia muntah betulan ke piring makan siangnya sekarang.

"Biasanya Kim yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini." Anna melirik Kim yang diam seribu bahasa di sebelah Kevin, menyeruput jusnya dengan tampang seolah-olah dia tidak mau dilibatkan dalam perbincangan.

"Dia hanya sedang..." Kevin menoleh menatap Kim penuh arti, "...kurang fit."

Kim tidak merespon. Anna bahkan punya perasaan cewek itu berusaha sebisa mungkin untuk menghindari tatapannya.

"Kau bertengkar. Dengan 'hantumu'." Kevin melanjutkan, seolah-olah tidak menyadari suasana kaku yang mendadak menyelimuti ruangan.

Anna hanya mengangkat alisnya, "Terserah bagaimana kau menyebutnya."

Kevin memandangi Anna lurus-lurus, "Kau tidak menyangkal."

"Yah." Anna menyuap kentangnya sembari melirik Kim. "Tidak."

Sepanjang sisa minggu itu keadaan tidak bertambah baik. Rumor yang menyebar di Hendersonville mengenai Anna yang 'membuat keributan' di depan trotoar rumah Mrs. Simmons makin menjadi-jadi. Tiada hari yang dilaluinya tanpa menerima seruan-seruan merendahkan setiap pergantian kelas di koridor, atau di antrean makan siang.

Dan hari ini, Anna mendapati lokernya dicoreti tulisan-tulisan. Beberapa berupa makian kasar. Sisanya hanyalah tulisan acak seolah ditulis oleh mereka yang butuh penyaluran emosi. Sudah mempersiapkan diri menerima perlakuan semacam ini, Anna berlutut di depan lokernya, lalu mengeluarkan cairan pembersih dan lap kering dari dalam ranselnya. Beberapa menit kemudian dia sudah sibuk menggosok—untunglah tulisan-tulisannya hanya ditulis dengan spidol—diiringi seruan-seruan seperti, "Temui dokter, Aneh." dari murid-murid yang lalu lalang di belakangnya.

"Pengecut rendahan."

Awalnya Anna mengira gumaman bernada kesal itu ditujukan kepadanya, namun rupanya Kevin yang barusan mengatakannya. Dengan rahang terkatup kesal, cowok itu ikut berlutut di sebelah Anna, mengambil lap kering cadangan yang diletakkan Anna di lantai dan mulai menggosok pintu loker yang basah. Selama sepersekian detik, Anna hanya mampu menyaksikan semua itu dengan agak tercengang, sebelum akal sehat kembali menyadarkannya.

"Pergilah. Ini hanya bakal membuat lokermu yang jadi sasaran berikutnya." Anna berkata pelan. Kekehan dan cibiran-cibiran mulai terdengar dari sekitar mereka. Dengan tenang, Kevin mengeluarkan iPod dari saku celananya dan menyumbat kedua telinganya dengan earphone. Anna bahkan sampai mengenali suara Liam Fray yang samar-samar terdengar saking kerasnya volume musik yang dipasang Kevin.

"Kalau itu terjadi, kau hanya perlu membantuku menghapusnya." Kevin berujar sederhana sembari terus menggosok, kemudian dia melirik lap kering di tangan Anna. "Cepatlah. Bel lima menit lagi."

Dengan canggung, Anna meneruskan menggosok pintu lokernya. Dari sudut matanya Anna dapat melihat Kim berdiri di ujung koridor, mengawasinya dan Kevin, tetapi cewek itu tak bergeming. Alih-alih menghampiri mereka, Kim hanya berjalan ke lokernya dalam diam, kemudian berlalu menuju kelasnya. Anna tidak repot-repot berusaha memanggilnya. Yang jelas dia tahu bahwa untuk seterusnya, ruang siaran bukan lagi tempat yang tepat untuk membawa nampan makan siangnya.

Dan sembari mengunyah sandwich tunanya di bangku teratas gimnasium pada jam istirahat, Anna memikirkan kebodohannya selama beberapa hari terakhir.

Pertama, dia tak seharusnya membiarkan dirinya terlena dengan kebaikan Kim dan Kevin. Kim cukup waras untuk segera menjauh, sedangkan Kevin... tidak seharusnya dia terlibat terlalu jauh. Cowok itu mungkin sedang tidak berpikir jernih. Atau mungkin terlalu sopan untuk mengabaikan saja cewek yang selama ini menumpang makan di ruang siaran. Biar bagaimanapun, Anna harus memperingatkannya sebelum terlambat.

Kedua, kesehatan bibi Heather memang sedang menurun. Dia—entah bagaimana—tahu kalau Anna sudah mencopot penangkal dari atas pintu kamar tidurnya dan berusaha membuatkan yang baru waktu terakhir kali Anna mengunjunginya, juga untuk mengonfirmasi keputusan Carol untuk 'berhenti' menitipkan Alex. Ekspresi wanita itu tampak muram ketika Anna memberitahunya bahwa Carol menamparnya. Dia bilang ibu manapun kemungkinan besar akan bersikap yang sama jika anak perempuannya mengatakan hal seperti yang Anna katakan.

Ketiga, tidak seharusnya dia lepas kendali dan berteriak-teriak kepada Toby. Ibunya sudah dengar soal itu. Dia seharusnya belajar dari pengalaman. Dan dia seharusnya tidak membuat Toby menyingkir. Karena di saat-saat seperti ini, dia betul-betul butuh seseorang yang biasanya duduk di sampingnya dalam diam, mendengarkannya bicara, betapapun membosankannya hal itu.

Dan sore hari itu, beberapa hari setelah insiden pintu loker—masih tersisa beberapa bekas coretan yang sulit dihapus karena ditulis menggunakan spidol permanen—ketika bel pulang sekolah berbunyi, Anna dikejutkan oleh tepukan pelan di bahu kirinya saat berjalan menyeberangi lapangan parkir.

"Aku pernah bilang, mudah menemukan puncak kepalamu di koridor ramai." Kevin berkata sembari menyamakan langkahnya dengan langkah Anna, "Untuk itukah topi kuplukmu hari ini? Lolos dari radar?"

Dia tahu, batin Anna setengah takjub.

"Aku mau pulang."

"Aku juga." Kevin dengan santai membimbing Anna membelok menjauhi gerbang, "Tapi aku parkir di sana..."

"Whoa." Anna mengerem langkahnya. Dia menatap Kevin tak habis pikir, "Aku pulang sendiri."

"Yeah?" Kevin ikut berhenti dan bertanya sambil tersenyum bosan, seolah Anna baru saja mengatakan semacam lelucon payah.

"Kevin." Anna menghela napas, berusaha tetap sabar. Dia tak mau dijadikan bulan-bulanan lagi karena berteriak-teriak kepada orang betulan kali ini, "Apapun yang sedang berusaha kau lakukan, aku tidak butuh simpatimu."

"Ouch. Tepat ke jantung." komentarnya datar, "Kau mengabaikan tugas-tugasmu di ruang siaran beberapa hari ini."

"Kau serius?" Anna terkekeh, "Aku berusaha menyelamatkan reputasimu, dan Kim. Kim pintar. Tapi kau kayaknya tidak. Aku keluar dari klub."

"Reputasi apa?" Kevin mendorong punggung Anna dengan kedua tangannya, "Apapun yang sedang berusaha kau lakukan, aku tidak butuh simpatimu."

Bahkan dalam posisi tidak bisa melihat wajah Anna, dia tahu cowok itu sedang mengulum senyum puas di belakangnya. Pada akhirnya, Anna pasrah saja digiring menuju Ford Capris Kevin, membiarkan cowok itu bersenandung sendiri seraya mengemudikan mobilnya menuju Silbury. Seperti biasa, Kevin tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Anna mengerti Kevin dan dirinya sama-sama bukan tipe yang doyan bicara, karena itu tidak ada perasaan risih sama sekali, dan Anna benci karena mengetahui dirinya telah sampai pada tahap ini.

Tahu-tahu saja Kevin menepikan mobilnya di depan kedai kopi tempat dirinya membelikan minuman hangat untuk Anna tempo hari, setelah cowok itu 'menemukan' puncak kepalanya di Hill's Rock.

"Kevin, aku sedang tidak mood untuk minum kopi—"

"Sssh. Lihatlah."

Kevin menunjuk ke arah pukul sepuluhnya, ke salah satu meja di balik kaca bening kedai kopi. Di sana duduk seseorang yang dikenalnya, Amber Mills. Namun Anna tidak dapat mengenali cowok berjaket kulit yang sedang mengobrol bersama Amber karena duduk membelakanginya.

Ketika kebetulan cowok itu menolehkan kepalanya untuk memanggil pelayan, barulah Anna dapat melihat wajahnya dan membeku.

"Colton Parker." Anna menyipit memandangi cowok itu, "Apa yang dilakukan Amber dengan orang itu?"

Kevin tidak langsung menyahut. Dia melipat kedua lengannya di atas setir, matanya tertuju ke punggung Colton Parker dengan tatapan menusuk, "Dilihat dari ekspresi Amber Mills, mereka kayaknya bukan sedang temu kangen."

Memang benar. Terlihat jelas raut wajah Amber yang kaku. Tidak sekalipun dia mendongak dan menatap wajah Colton ketika berbicara dengannya. Tangannya sibuk mengaduk-aduk kopinya dengan sedotan, mirip seperti kebiasaan Anna ketika merasa tidak nyaman.

"Beberapa hari yang lalu aku tidak sengaja mencuri dengar percakapannya dengan teman satu tim pemandu soraknya. Loker kami dekat. Mereka menyebut-nyebut nama Parker, dan gelagat Amber aneh. Makanya aku membuntuti cewek itu setiap pulang sekolah belakangan ini." jelas Kevin.

"Kaupikir ini ada hubungannya dengan coretan di loker Amber?" Anna bertanya. Kevin mengangkat bahu.

"Cuma ada satu cara untuk mengetahuinya." Kevin menatap Anna dengan sorot penuh arti. Anna langsung paham maksudnya dan memprotes.

"Aku? Menguping?"dia terkekeh, "Amber mengenaliku."

"Tetapi Parker tidak. Mereka berdua mengenaliku. Mereka pasti bakal langsung curiga jika melihatku di dalam sana."

Anna menghela napas berat. Dia memperhatikan Kevin dari sudut matanya. Cowok itu kelihatan benar-benar serius. Begitu menyadari bahwa motivasi Kevin mendorong-dorongnya ke mobil di lapangan parkir tadi adalah untuk hal ini, Anna jadi agak kasihan dengan dirinya sendiri. Seolah fakta bahwa Toby Mozkovitz membutuhkan 'bantuannya' belum cukup, Anna dihadapkan lagi dengan sahabat cowok itu yang menuntut kebenaran—dan mencari pendukung. Seolah dirinya memang ditakdirkan untuk terlibat sejak awal.

"Kita terlambat." Kevin mengangkat dagunya dari setir. Anna menyaksikan ketika Amber mendadak berdiri dari kursinya, ekspresinya seperti menahan amarah. Gadis itu kemudian meninggalkan kedai kopi dengan langkah-langkah penuh emosi dan masuk ke dalam mobilnya. Bersamaan dengan perginya Amber dan mobilnya dari situ, Colton Parker keluar dari kedai, menenteng gelas plastik minumannya dan menuju ke tempat dia memarkir mobil. Wajahnya kaku. Tetapi sebelum masuk mobilnya sendiri, Colton seperti meremas sesuatu dalam genggamannya dan membuangnya ke dalam tong sampah terdekat.

Ketika yakin mobil Colton sudah menghilang di sudut jalan, dengan sigap Anna turun dari mobil dan menghampiri tong sampah tersebut. Untunglah tong sampahnya terbuka, sehingga dia tak perlu kelihatan idiot di depan umum dengan membuka tutupnya secara sengaja dan mengaduk-aduk isinya. Kenyataannya, remasan kertas yang barusan dibuang Colton mudah untuk diraih. Anna kembali ke mobil Kevin semenit kemudian dan mengeluarkan kertas itu dari saku celana jinsnya.

"Kau ngapain?" tanya Kevin, rupanya tak menyadari perbuatan Colton. Anna menunjukkan kertas itu kepadanya.

"Yang dibuang cowok itu barusan bukan tisu." Anna menyuarakan pikirannya. Anna sudah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang besar pada awalnya. Namun ternyata kertas itu hanyalah dua lembar tiket konser musik.

Selama beberapa saat, yang dilakukan Kevin hanyalah memadangi lembaran tiket itu. Kemudian, perlahan ekspresinya berubah mengeras.

"Dia masih mengharapkan Amber." dia menyimpulkan dingin, "Setelah semua yang dilakukannya."

Anna jadi ikut-ikutan memandangi dua lembar tiket konser itu dengan sorot tak percaya. Colton Parker. Orang yang paling dicurigai dalam kasus pembunuhan Toby Mozkovitz. Kini menjadi bahan gosip nomor satu warga Hendersonville. Jika apapun yang dikatakan Kevin tentangnya benar, sulit dipercaya Colton masih memiliki nyali untuk menemui Amber Mills. Dan sebaliknya. Untuk apa Amber repot-repot menemui cowok itu? Bukankah gadis itu sendiri yang bilang bahwa Colton Parker adalah 'kesalahan terbesar'nya? Bukankah Amber membencinya?

Anna terdiam seraya menyaksikan Kevin melempar lembaran tiket konser itu ke dasbornya dan menyalakan mesin mobil. Jika semua perkataan Kevin tentang Colton Parker itu benar, maka seluruh kota memang pantas membencinya.

***

Malam ini angin yang berhembus di Hill's Rock lumayan membekukan tulang. Anna merapatkan jaket, menutupi sweater di baliknya yang sudah tebal. Toby tidak muncul. Tidak peduli Anna sudah menurunkan tiap penangkal dari seluruh pintu di dalam rumahnya dan menyingkirkan jauh-jauh semuanya. Tidak peduli di manapun Anna mencarinya. Tribun teratas gimnasium. Sudut koridor sepi di Hendersonville High. Sepanjang perjalanan rumah-sekolah. Tempat ini. Cowok itu tak pernah muncul sekalipun, menyunggingkan senyuman lucu sembari memasukkan kedua tangannya ke saku jaket tim futbol kebanggaannya.

Apa Toby marah? pikir Anna seraya duduk di pagar pembatas jalan, seperti biasa, menatap ke arah bekas pabrik tua di bawah sana. Kata-katanya memang keterlaluan.

Anna menunggu sambil duduk di rerumputan. Mengawasi tanda-tanda, sesepele apapun itu. Kali ini tidak ada Skinny. Carol tidak berkomentar ketika melihat Anna memakai jaketnya dan bersiap hendak keluar tadi, demikian pula Anna yang masih melancarkan aksi bungkam kepada ibunya.

Banyak sekali yang ingin dibicarakannya dengan Toby. Terutama mengenai satu hal. Dia ingin tahu bagaimana reaksi cowok itu ketika mendengar nama Colton Parker disebut. Apakah yang sesungguhnya terjadi antara dirinya dan Toby? Dulu keduanya bersahabat. Colton, quarterback tampan andalan sekolah, dan Toby, kapten tim futbol sekaligus kesayangan semua orang. Dua-duanya hebat dan populer. Mempertimbangkan kemungkinan bahwa Colton ada hubungannya dengan kematian sahabatnya itu rasanya bisa dibilang nyaris konyol. Demi Amber Mills sekalipun.

Ketika masuk ke dalam kamarnya sekitar dua jam kemudian, kedinginan dan kecewa, Anna menggabrukkan diri ke atas kasur. Dia mengecek ponselnya, kebiasaan yang selalu dilakukannya setiap sebelum tidur, dan bersiap mendapati layar kosong seperti biasanya. Tetapi kali ini Anna agak dikejutkan dengan notifikasi satu panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal.

'Toby?' dengan bodohnya Anna membatin, sembari memandangi layar ponsel dengan pandangan menerawang. Begitu terus hingga dia ketiduran sekitar sepuluh menit kemudian.



---

Sayang banget buang-buang tiket konser :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top