Chapter 1
Rasanya ada yang salah dengan penglihatan Anna Willow. Atau mungkin semalam selagi tidur dia mengigau dan kepalanya terantuk ujung tempat tidur. Atau mungkin apa yang dilihatnya melalui kaca jendela dapur rumahnya hanyalah halusinasi di pagi yang cerah itu.
"Ya Tuhan."
Dari luar terdengar gonggongan. Skinny, jack russell terrier putih-cokelat peliharaan keluarga Willow, biasanya tenang dan ramah kepada siapa pun. Tetapi khusus pagi ini, anjing itu menyalak tak henti-hentinya.
Tanpa menghabiskan serealnya terlebih dahulu, Anna menyambar ransel, mengecup sekilas kening adik laki-lakinya—Alex—yang masih berumur setahun di kursi makan balita di sisi meja, dan dengan buru-buru mengecup pipi ibunya yang sedang mengupas apel di konter dapur. Anna bergumam tidak jelas dengan mulut penuh remah cokelat gandum, "Pergi dulu."
"Jangan lupa obat Bibi Heather!" itu kata-kata yang didengarnya diserukan ibunya sebelum pintu depan tertutup di belakang Anna.
Gadis itu mematung di teras, syok luar biasa memelototi sosok yang sedang berdiri menyandar di tembok pembatas rumahnya dengan sepeda kuning terparkir di dekatnya. Begitu melihat Anna, cowok itu buru-buru menegakkan tubuh. Dia menggaruk tengkuknya, kelihatan canggung.
"Halo." katanya. Rambut hitam di dahinya tersibak angin yang berhembus lumayan kencang. Dia menambahkan sambil meringis, "Anjingmu galak sekali."
Anna menuruni undakan terasnya, mengabaikan Skinny yang masih saja menggonggong dan berjalan perlahan menyeberangi halaman rumahnya yang tertata rapi dihiasi semak mawar aneka warna (ibunya bangga sekali dengan keahlian dirinya merawat kebun) untuk mendekati cowok itu dengan waspada.
"Anna, kan?" kata cowok itu lagi, "Kita satu sekolah. Er... di Hendersonville."
"Aku tahu siapa kau." sahut Anna cepat. Perasaannya campur aduk. Syok. Tidak percaya. Takjub.
Cowok itu tampak agak tersanjung mengetahui Anna mengenalnya, "Oh. Oke."
Mustahil. Anna membatin. Ini mimpi.
Selama beberapa saat, tidak ada yang saling berbicara. Skinny kini menggeram ke arah si cowok. Anna masih diterpa syok hebat. Sementara cowok itu tampaknya merasa malu, risih, sekaligus agak bingung karena terus-menerus ditatap dengan mata terbelalak oleh Anna.
"Entah mengapa aku merasakan dorongan untuk mengunjungi rumahmu pagi-pagi sekali. Tahu-tahu aku sudah berada di sini. Dengan sepedaku. Aku bahkan tidak memikirkan sarapan." jelas cowok itu, sama sekali tak terlihat sadar bahwa kemunculannya yang begitu mendadak dan tak terduga di luar pagar rumah keluarga Willow pagi-pagi begini amatlah mencengangkan bagi Anna. Cowok itu mengangkat bahu seraya terkekeh, "Kurasa aku perlu bantuan."
Anna sampai harus membungkam mulutnya yang terasa kering akibat membuka terus, lalu menelan ludah dengan susah payah. Dengan gusar, dia melirik sekilas ke arah jendela dapurnya dan melihat samar-samar punggung ibunya yang sedang menunduk untuk menyuapi Alex. Kemudian Anna berkata dengan suara pelan bernada mendesak, "Dengar. Kau tidak seharusnya berada di sini."
Cowok itu mengernyit bingung, "Apa? Kenapa?"
"Pokoknya..." Anna memegangi dahinya frustasi, "...kau tidak seharusnya berada di sini!"
Kening cowok itu masih saja terkernyit. Lalu, seolah mendadak teringat akan suatu hal yang penting, cowok itu melebarkan matanya, "Apakah karena surat itu?"
"Su-?" Anna tercekat begitu menyadari maksud dari perkataan cowok itu. Kedua pipinya mendadak panas walaupun angin masih berhembus cukup kencang, "Kau mengingatnya?!"
"Tentu saja aku ingat." senyuman tipis mengembang di wajah cowok itu, kemudian berubah menjadi cengiran jahil ketika dia meneruskan, "Kau memasukkan surat cinta ke lokerku dua hari yang lalu. Bagaimana aku bisa lupa?"
Jika saja tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan sesuatu kepada cowok yang berdiri di hadapannya saat ini, Anna bakal langsung kabur ke dalam rumahnya, mengurung diri di dalam kamar, dan menyelubungi dirinya dengan selimut sampai rasa malunya ikut lenyap ditelan ledakan akhir zaman.
Tetapi ini memang sesuatu yang penting. Dan Anna tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan surat cinta-Skinny, diam!-ditambah, aku bukan menulisnya dua hari yang lalu." Anna memutuskan mengesampingkan dulu harga dirinya dan fokus pada hal yang lebih penting, "Dengar, kau tidak bisa berada di sini karena kau Toby. Toby Mozkovitz. Dan kau-"
Anna tidak sanggup meneruskan karena pintu depan rumahnya mendadak dibuka dan ibunya muncul, "Anna?"
Dalam dua detik Anna memutuskan untuk menelan kembali apapun yang hendak dikatakannya tadi dan buru-buru berbelok memasuki trotoar, berjalan cepat-cepat untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan ibunya dan berharap apa saja yang baru dilihatnya memang hanyalah ilusi. Namun tentu saja tidak. Toby menyusulnya.
"Ngomong-ngomong ada apa dengan Bibi Heather?" tanya Toby ingin tahu. Anna menghela napas panjang.
"Kau mendengarnya? Well, aku harus menebuskan obat untuknya. Dia tinggal sendirian, dia pernah mengalami cedera pada kakinya jadi tidak bisa berjalan jauh. Kami sering menghabiskan waktu bersama-sama karena dia satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara tentang... berbagai hal." jelas Anna dengan suara pelan, kemudian menambahkan cepat-cepat. "Kami memiliki banyak kesamaan."
"Kedengarannya dia keren." komentar Toby sambil nyengir.
Anna mengerem langkahnya. Dia melebarkan matanya, seolah tiba-tiba mendapat pencerahan, "Bibi Heather."
Toby mengangkat alis, dan Anna segera berimprovisasi, "Eh, kau mau mampir? Ke rumah Bibi Heather, maksudku."
Anna menggigit bibir. Jika saja ajakan ini diutarakannya pada situasi yang berbeda dengan saat ini, pasti kejadiannya akan luar biasa canggung.
"Bolehkah?" Toby bertanya. Anna mengangguk. Cowok itu kemudian menaiki sepedanya dan mulai mengayuh, "Kalau begitu kita bertemu lagi sepulang sekolah di gerbang utama. Sampai nanti, Anna."
Anna hanya mampu mengawasi Toby dan sepedanya menjauh hingga menghilang dari pandangan. Tobias—Toby—Mozkovitz, cowok imut dari kelas dua belas. Setahun di atas Anna. Dulu mereka pernah satu SMP. Dan kebetulan selama dua tahun terakhir ini diam-diam Anna taksir, walaupun sebelumnya mereka sama sekali belum pernah saling bicara.
Toby Mozkovitz, si bintang sekolah yang disenangi semua orang.
Anna bergumam pelan, lebih kepada udara kosong.
"Halo lagi, Toby."
***
Belum pernah Anna menantikan sekaligus membenci bel usai sekolah seperti sekarang. Sepertinya seseorang yang bertugas membunyikan bel ketiduran dan melupakan tugasnya. Lama sekali hingga akhirnya bunyi itu benar-benar terdengar; melegakan sekaligus menegangkan. Di satu sisi, dia terbebas dari kelas Sejarah Mr. Fletcher yang menyiksa serta rutinitas membosankannya. Namun di sisi lain dia akan berhadapan kembali dengan masalahnya.
Masalah yang benar-benar sulit diabaikan.
Sesuai janjinya, Toby sudah berdiri menunggu di luar gerbang-kali ini tanpa sepedanya, yang membuat Anna agak heran-dan tersenyum ketika melihat Anna datang.
"Bukankah aneh," gumam Anna tanpa ba-bi-bu ketika mendatangi Toby, "...mendapati cowok sepopuler dirimu mau jalan dengan cewek sepertiku?"
"Aku tidak tahu apa maksudmu." kata Toby tulus, bahkan tidak terlihat tersinggung sedikitpun. "Aku tidak populer."
Itu kebohongan besar.
Kata 'bintang sekolah' seolah-olah menjadi nama tengah Toby Mozkovitz. Dia hanya beberapa inci lebih tinggi dari Anna, namun berhasil masuk tim futbol sekolah sebagai pemain inti karena lengan-lengannya yang kuat dan larinya yang cepat. Dia tidak setegap dan sekekar teman-temannya, tetapi dia memiliki semacam aura ini... aura pemimpin yang membawanya menjadi ketua tim futbol Hendersonville. Dia pernah pacaran sekali dengan junior anggota tim pemandu sorak tercantik, Amber Mills, namun putus selang beberapa bulan karena rumor perselingkuhan Amber dengan senior kelas dua belas. Ditambah, nilai-nilai mata pelajaran eksaktanya di atas rata-rata.
Dia jenius, karismatik, dan tidak besar kepala. Itulah yang menyebabkan Anna menaruh perhatian pada cowok itu. Atau awalnya begitu, karena rasa respek itu perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lain.
Tapi itu adalah cerita setengah tahun yang lalu.
Sebelum... hal-hal berubah.
Kembali ke trotoar depan gerbang Hendersonville High. Toby berdiri di hadapan Anna, mengenakan jaket tim futbol kebanggaannya dan kaus print cokelat tua di baliknya. Jinsnya agak robek di bagian tumit dan tali sepatunya longgar. Dia tampak sangat normal dan sangat imut dengan rambut hitamnya yang sedikit gondrong. Sulit rasanya mempercayai betapa serius masalah yang sedang dihadapi Anna jika melihat cowok itu dalam jarak sedekat ini.
Dan situasi sekitar memang sedang tidak memadai bagi Anna untuk menginterogasi Toby. Motivasinya. Tujuannya. Karena cowok itu pasti punya alasan untuk muncul mendadak di depan rumahnya pagi ini. Tidak mungkin tidak.
"Kita naik apa ke rumah bibimu?" Toby bertanya, membuyarkan lamunan Anna.
"Eh... jalan kaki." gumam Anna tak jelas.
"Apa? Kenapa kau bicara bisik-bisik begitu?"
"Jalan kaki. Rumahnya tidak terlalu jauh." Anna mengulang, lalu dia menyeberang jalan meninggalkan Toby.
"Hei, tunggu! Kenapa sih? Kau malu dilihat temanmu jalan denganku?" cowok itu buru-buru menyusul dan bertanya heran. Dari nadanya suaranya, Anna tahu dia agak sakit hati.
"Ralat. Tidak ada yang mau dilihat jalan denganku. Ditambah, aku tidak punya teman."
Tidak terdengar sahutan dari Toby. Ketika Anna menoleh, cowok itu sedang memandanginya. Menilainya. Ekpresinya tak terbaca.
"Omong kosong." kata Toby akhirnya seraya mengangkat bahu.
"Kau sendiri?" Anna habis kesabaran dan balik bertanya sinis, "Kenapa tidak berada di balik kerumunan teman-teman gengmu saja kayak dulu?"
Sedetik kemudian, Anna langsung menyadari ucapannya sudah kelewatan. Ragu-ragu, dia kembali menoleh menatap Toby. Cowok itu masih berjalan merendenginya, namun dia tertunduk menatap sepatunya.
"Entahlah," jawab Toby pelan, "Rasanya sekarang mereka terlalu jauh... dan..."
Toby tak melanjutkan. Mereka berhenti sebelum penyeberangan.
"Kau tidak ingat?" Anna bertanya tiba-tiba, membuat Toby mendongak.
"Ingat?" dia balik bertanya.
"Mengapa mereka sekarang terasa jauh?" Anna memandangnya lurus-lurus.
Seorang nenek yang baru saja keluar dari toko sayuran di belakang mereka memandangi Anna dengan tatapan ganjil. Ketika nenek itu berdiri di sebelahnya, hendak menyeberang juga, Anna merutuk dalam hati.
"Sore yang cerah." Anna menyapa si nenek, yang tersenyum ragu-ragu.
"Ya." Nenek itu menyahut.
"Aku payah dalam menghapal." kata Anna lagi, "Klub drama minggu depan."
Ekspresi si nenek seketika berubah diliputi pemahaman dan dia menyunggingkan senyum ramah, "Semoga beruntung."
Kemudian lampu berubah hijau. Musik mulai melantun, Anna membiarkan si nenek menyeberang duluan, sebelum dia dan Toby bersama-sama menyusul.
"Kenalanmu?" tanya Toby penasaran.
"Semacam itulah." Anna menyahut asal.
"Percakapan kita yang terlalu berat?" tanya Toby lagi.
"Mungkin."
Sepanjang sisa perjalanan, Toby tidak banyak bicara. Bahkan ketika mereka mampir sejenak di apotek untuk menebus obat Bibi Heather, cowok itu hanya menunggu di luar. Mereka tiba di salah satu bagian perumahan yang sudah sangat dihapal Anna sekitar sepuluh menit kemudian, dengan deretan perumahan mungil berhalaman kecil dengan pagar-pagar rendah dan pintu-pintu putih yang cantik.
Anna dan Toby berjalan menuju salah satu rumah, rumah ketiga di sisi kanan jalan belokan pertama. Rumah manis nomor 16 yang halamannya dipenuhi petak-petak bunga dandelion segar.
Ketika melewati pagar batu rendahnya, Toby mendadak terhenti.
"Ada apa?" tanya Anna.
"Rumah ini agak..." Toby menatap jalan setapak dengan pandangan ragu-ragu lalu memandangi sekelilingnya. Ekspresinya ganjil. Dia tampak memikirkan sejenak kata-kata apa yang tepat untuk digunakannya, "...aneh."
"Seperti pemiliknya. Kau akan tahu sebentar lagi." Anna berjalan menuju teras, menaiki undakan, dan mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Namun pintu bergerak terbuka bahkan sebelum Anna sempat menyentuh pengetuknya, membuatnya lonjak. Seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu. Wanita itu mengenakan gaun rumah yang panjangnya mencapai lantai, rambut kemerahannya—yang sudah dihiasi semburat-semburat putih pada beberapa bagian—dikepang satu dan disampirkan di bahu kirinya, sehingga Anna bisa melihat ujungnya yang nyaris mencapai lutut. Ketika wanita itu tersenyum, tampak jelas kemiripannya dengan Carol—ibu Anna. Anna mengenali itu, jenis senyuman sama yang dimiliki Carol dan semua saudari-saudarinya. Lebar, penuh, dan cerah.
"Sudah berulang kali kubilang, langsung masuk saja lain kali." Bibi Heather mengecup kedua pipi Anna dengan penuh sayang dan menepuk-nepuk celemek yang dikenakannya diluar gaun birunya, "Masuklah, aku sedang membuat kue jahe."
"Bibi Heather, sebelumnya—" Anna berbalik untuk mengenalkan Toby kepadanya, namun cowok itu sudah tidak ada. Anna celingukan dan berjalan kembali ke trotoar, menyusuri sepanjang jalan, namun Toby tidak kelihatan di manapun.
"Dan... dia menghilang." Anna mendesah panjang dan kembali ke dalam rumah, untuk segera disambut tatapan penasaran bibinya.
"Ada apa?" tanya wanita itu curiga.
"Bukan apa-apa." Anna menggeleng cepat seraya menutup pintu di belakangnya, "Bukan hal penting."
Bibi Heather menatap Anna dengan tatapan menyelidik.
"Aku tahu kapan keponakan kesayanganku tidak mengatakan yang sebenarnya." katanya seraya tersenyum, "Dan sekarang, kau melakukannya."
Anna memutar bola mata, "Apakah ini 'radar'mu lagi?"
Bibi Heather mengangkat bahu, "Oh, jangan konyol." dia mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk, "Kau dan aku sama-sama tahu kita peka soal itu. Kemarilah. Bantu aku memasukkan kue-kue ke dalam toples."
Anna mengikuti bibinya menuju dapurnya di belakang. Selama bertahun-tahun, tidak ada yang berubah dari rumah itu. Dekorasinya sama. Foto-foto di dindingnya sama. Perabotnya sama. Dan bahkan aromanya tidak berubah, selalu bernuansa kayu lama—aroma yang entah mengapa Anna sukai karena memberinya perasaan nyaman—terkadang berbau lavender—karena Bibi Heather suka sekali dengan lavender—atau sesekali aroma kue di panggangan yang menerbitkan liur, seperti saat ini.
"Obatmu kutaruh di meja makan." kata Anna seraya memperhatikan bibinya menuang seloyang kue jahe yang sudah agak dingin ke wadah keranjang, untuk kemudian dimasukkan ke dalam toples.
"Oh, ya. Hampir lupa. Terima kasih." Bibi Heather terdengar ceria, padahal ekspresinya menyiratkan sebaliknya, "Apakah kau menebus resep Dr. Eyman juga?"
Anna terpaksa membuka kembali bungkusan plastik di meja makan dan meneliti secarik kertas di dalamnya, "Ini juga untuk jantungmu? Uh... namanya susah sekali. Que... uh ..."
"Quetiapine. Dari psikiaterku. 'Mengurangi halusinasi', katanya." kata Bibi Heather, bibirnya mengerucut dan kali ini dia tidak berusaha menutupi kejengkelannya, "Tidak sopan."
Anna hanya tersenyum geli seraya menggeleng-geleng. Dia meneliti obat itu, "Kau tidak harus meminumnya kalau kau tak mau."
"Oh, aku tahu itu, Sayang. Tong sampahku penuh Quetiapine beberapa bulan belakangan. Hanya saja menyebalkan kalau kau harus terus membayar untuk sesuatu yang tidak berguna." wanita itu mengelap tangannya di celemek dan meraih dompetnya dari atas konter, lalu menyerahkan beberapa ratus dolar kepada Anna, "Bilang pada Carol kembalinya untukmu."
"Trims." Anna nyengir, dia meraih toples terdekat dan mulai memasuk-masukkan keping demi keping kue jahe ke dalamnya. "Ingatkan aku lagi mengapa kau tidak menebus sendiri obatmu?"
Bibi Heather memutar bola mata sambil menuang loyang kedua ke dalam keranjang, "Apotekernya membenciku karena kubilang ada seseorang yang selalu mengawasinya selagi dia bekerja, dan orang itu menitipkan pesan padaku. Dia kecewa karena si apoteker memutuskan menebar abunya ke laut. Seharusnya apoteker itu tahu suaminya lebih suka berada di dalam rumah, mungkin di atas perapian, aman dan nyaman."
Selama beberapa saat, Anna dan bibinya hanya saling berpandangan. Hingga detik berikutnya keduanya meledak tertawa. Anna sudah mendengarkan kisah itu berpuluh-puluh kali, namun sekalipun tidak pernah merasa bosan mendengarnya. Bahkan saat ini, Anna terbahak keras sekali sampai-sampai bibinya terpaksa menjejali mulutnya dengan kue jahe.
---
:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top