03

Langit ternyata sudah berubah menjadi jingga, ketika Nilam sadar sudah sampai di blok rumahnya. Sepertinya saat pulang menggunakan kendaraan umum tadi, dia mengkhayal sampai lupa bahwa dirinya sudah berada tidak jauh dari rumah.

Mungkin karena kelelahan akibat latihan paskibraka yang sudah cukup intens, padahal Agustus masih ada beberapa bulan. Namun tentu saja pelatihnya, yang masih di awal dua puluhan dan sedang semangat-semangatnya itu, sangat ambisius sehingga sudah memulai latihan di minggu kedua pembelajaran berlangsung.

Nilam memang bukan bagian penting seperti pembawa baki, tetapi tetap saja menyesuaikan serta menyelaraskan kembali barisan yang tidak latihan selama nyaris sebulan tidak bisa dibilang mudah. Ditambah lagi tanpa adanya anak kelas tiga, membuat anggota paskibraka tampak sangat kewalahan.

Pinggang dan telapak kaki Nilam jelas pegal, apalagi rasa gerah dari baju kaus yang dipakai latihan juga memperburuk suasana hati. Ia merasa ingin langsung melompat ke bak mandi saat sampai di rumah, lalu berbaring di tempat tidur.

Saat hampir sampai dan membuka bagian depan rumah yang merupakan pagar besi, Nilam mendengar samar-samar suara berisik familier yang hampir didengarnya setiap hari di kelas. Ketika sampai di halaman rumah dan menyadari suara itu dari rumah seberang, Nilam mendengkus kesal.

Siapa lagi orang yang memutar lagu familier itu kalau bukan Mikha, sang teman sebangku sekaligus tetangganya? Nilam harusnya tahu perjumpaan tidak sengaja ini cepat atau lambat akan terjadi.

Bukan hanya harus mendengar lagu berisik dan mengganggu ini selama seminggu kemarin, sekarang dia juga harus mendengarnya di rumah, di mana seharusnya ia bisa bersantai tanpa ada Mikha. Sialnya, Nilam lupa kalau mereka juga bertetangga.

Berusaha tidak memedulikan laki-laki itu seperti biasa, Nilam memilih untuk mencari kunci rumah cadangan yang sengaja ditinggalkan karena orangtuanya belum pulang. Mereka pasti masih terjebak macet di jalan, seperti biasa.

Ia mencari kunci di tempat sewajarnya sang orangtua menyimpan; jendela berlapis teralis yang tidak tertutup rapat, bawah keset, hingga di rak sepatu. Nihil, benda itu tidak dapat ia temukan di mana pun.

Nilam tidak pantang menyerah. Setelah meletakkan tas pada kursi teras, sebelum kembali mencari benda itu di tempat yang mungkin saja biasa benda itu bisa disimpan. Sayangnya sampai ia mengorek pot tanaman hias milik sang Ibu, benda itu masih tidak terlihat wujudnya.

Seperti manusia pada umumnya, Nilam ingin menghubungi orangtuanya mengenai kunci cadangan yang tidak ada di mana pun. Namun ketika ia berusaha meraih ponselnya dalam kantong, ia lupa benda itu sudah kehabisan daya sesaat setelah latihan.

Padahal Nilam sudah berangan-angan ingin minum air dingin dulu karena airnya sudah lama habis, lalu mandi hingga peluh di tubuhnya menghilang, kemudian beristirahat sebelum mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sepertinya ia harus menunggu orangtuanya pulang di depan teras yang akan gelap dan dikerumuni nyamuk karena keringatnya.

"Yo, tetangga!"

Mendengar suara itu, Nilam menoleh, mendapati kepala Mikha yang muncul dari atas pagar temboknya sambil tersenyum. Padahal jarang-jarang laki-laki itu mengajaknya bicara di sekolah, "Nggak masuk?" tanya laki-laki itu.

Rumah-rumah di dalam blok rumah orangtua Nilam memiliki pagar yang sejajar kepala orang dewasa, dibilang menutupi pun tidak, hanya seperti formalitas untuk membanguni pagar. Meskipun ada yang tidak memilikinya, tetapi sebagian besar rumah seperti itu, termasuk rumah Nilam.

Nilam menghela napas, sembari menyandarkan punggungnya pada kursi teras, "Nggak," jawabnya singkat.

Sebelah alis laki-laki itu naik, "Kok gitu? Udah mau malem, loh," ungkapnya lalu menatap sekeliling, "ortumu belum pulang, ya?"

Jujur saja, Nilam sudah tidak punya tenaga untuk menghadapi Mikha. Cukuplah berjam-jam pelajaran di sekolah itu, apalagi dengan tambahan video berisik setiap jam kosong serta waktu istirahat, Nilam tidak bisa menghadapinya lagi.

"Mau ke rumahku, nggak?" Laki-laki itu menawarkan, mungkin karena Nilam diam terlalu lama dalam keheningan, "kamu bisa minum dan istirahat juga kalau mau, orangtuaku juga belum pulang, kok."

Mendengar perkataan laki-laki itu, alis Nilam saling bertaut, "Kamu ngajak aku masuk ke rumahmu?" tanya Nilam tidak percaya, "waktu orangtuamu nggak ada?"

"Apa?!" Mikha terkejut, ia bahkan nyaris tersungkur saking kagetnya, tidak percaya ajakannya bisa terdengar senegatif itu, "aku nggak maksud gitu, ya!"

"Terus?"

Mikha terlihat frustrasi, tetapi berusaha tenang dan seolah sedang berpikir, "Kamu bisa nunggu orangtuamu di teras rumahku," ungkapnya pelan, tanpa bermaksud menimbulkan kesalah pahaman, "aku suguhin kamu minum, deh."

"Gimana?" tanya Mikha lagi sambil tersenyum gugup.

Menolak tawaran Mikha adalah pilihan paling rasional untuk Nilam, tetapi kerongkongan keringnya serta suara kawanan nyamuk yang kini terdengar di sekitar telinga, membuat Nilam mau tidak mau menerima usulan laki-laki itu. Lagipula ia yakin orangtuanya akan kembali sebentar lagi, "Oke."

Tidak butuh waktu lama untuk Nilam berada di teras rumah Mikha dan duduk pada kursi kayu di sana. Bahkan, laki-laki itu sudah kembali dengan nampan berisi dua gelas serta cerek berisi air dingin.

"Aku kira kamu bakalan kaget pas tahu kita tetanggaan," ujar Mikha setelah meletakkan benda tadi di atas meja terasnya, "ternyata kamu biasa aja."

Dahi Nilam mengerut, "Kamu baru tahu kita tetanggaan?" tanya perempuan itu tidak percaya.

Kepala laki-laki itu menggeleng, "Nggak, udah lama, kok, mama kita juga searisan bareng," balas Mikha yang kini tengah sibuk pada sebuah laptop dan kursi, sebelum membawa dua benda itu ke halaman berbata beton yang berada tidak jauh di hadapan Nilam, "aku kira kamu yang baru tahu, soalnya di sekolah kamu kayak nggak kenal aku."

Nilam menghela napas, "Dari awal kita emang nggak pernah dekat, kan? Saling nyapa aja hampir nggak pernah," ungkapnya, "nanti kamu bilang aku aneh lagi, ngaku-ngaku kita tetanggaan."

Mikha tertawa pelan, "Iya juga, ya."

Nilam lalu menuangkan air dalam cerek ke dalam gelas, sebelum meminumnya dengan serakah, untungnya tidak sampai tersedak, hingga mendesah puas ketika benda itu telah mengaliri kerongkongannya. Sebelum sadar, Mikha sedari tadi sudah memandanginya.

Laki-laki itu kembali tertawa, lebih keras dari sebelumnya, serta masih di halaman tadi dan kini menghadap ke arah laptop, membuat Nilam kini di sisi kanannya, "Untung aja aku tawarin, kan?" ujar Mikha di sela tawa, "kalau nggak, kamu bisa pingsan karena dehidrasi di sebelah."

Sebenarnya Nilam ingin membantah, karena perkataan Mikha cukup berlebihan. Namun, ia tidak punya tenaga dan terlalu gerah untuk memprotes, jadilah dia kembali menuangkan air ke dalam gelas.

Di sisi lain, Mikha mulai tidak memedulikan Nilam dan sibuk pada kegiatannya sendiri; melihat video dengan volume super kencang lewat laptop, sambil berdiri dan mengentakkan kaki sesuai irama. Sepertinya sedang menghafal gerakan pada video.

Meskipun Nilam sudah melihat dance cover laki-laki itu pada media sosial—hasil paksaan Zia agar dia dan Mikha menjadi cukup akrab atau setidaknya ada bahasan, tetapi ini adalah kali pertama ia menyaksikan laki-laki itu melakukannya secara langsung.

Awalnya Mikha hanya menatap laptop itu dengan serius bersama entakan kaki, lalu perlahan diikuti gerakan tangan, sebelum berhenti lalu menyentuh laptop itu. Sepertinya mengulang video dari awal.

"Sorry, ya, Nilam aku harus ninggalin kamu buat latihan," ungkap laki-laki itu dengan tatapan tidak enak, "tenang aja, ini cuma intro-nya. Nggak lama kok."

Nilam mengangguk, tidak keberatan karena dia juga tidak punya hal untuk dibicarakan, dan laki-laki itu pun mulai menekan kembali laptopnya.

Musik dari dalam laptop kembali berulang dan Mikha seperti berada dalam posisi bersiap. Musik dimulai, lalu laki-laki itu tampak seperti orang lain; tatapan serius juga tajam, seolah halaman itu adalah panggungnya.

Badan Mikha bergerak sesuai irama, manuver kaki, gerakan tangan, semuanya terasa pasti tanpa keraguan seperti ia sedang menunjukkan bahwa dialah yang hebat dan lagu itu adalah pengiring terbaiknya.

Jelas Nilam kagum akan gerakan Mikha yang memang terlihat luar biasa itu. Tidak seperti gerakan paskibraka yang kaku juga itu-itu saja, variasi pun tidak bisa sebebas tarian, dan Mikha mengeksekusi gerakan itu dengan hebat hingga Nilam tanpa sadar terlarut pada penampilannya.

Laki-laki itu langsung berhenti tidak lama kemudian. Meski tidak ingin mengakuinya, tetapi Mikha tampak mengagumkan dalam beberapa saat tadi. Seperti sebuah bintang yang bersinar.

"Aku keren, kan?" Mendengar perkataan itu dari mulut Mikha membuat Nilam ingin menelan semua pujian yang sempat ia pikirkan dalam kepala.

Nilam tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat bahu sebagai gestur ambigu pada pertanyaan Mikha. Entah setuju atau tidak, ia enggan mengutarakannya langsung.

Selanjutnya, Mikha duduk di lantai karena kursi lain sudah dipakai untuk meletakkan laptop, "Tadi belum semuanya sih, wajar kalau kamu belum ngasih penialaian," ujar laki-laki itu sembari meluruskan kaki, "kalau udah bagus, nanti aku panggil kamu, deh, kan gampang tinggal ke sebelah."

"Emang aku mau?" balas Nilam, "cukup di sekolah aja aku dengerin musik berisikmu, ya."

Mikha berbalik, menatap Nilam tajam seolah tersinggung, "Padahal nggak seberisik itu, kok," bantah laki-laki itu tidak terima.

"Iya, kan, menurutmu?" papar Nilam acuh tidak acuh, tahu arah keberisikan ini akan berakhir seperti sebelumnya di dalam kelas. Mikha yang bersikukuh dan dirinya akan mengalah demi kedamaian.

Meskipun Nilam harus mengeluhkannya pada Zia nanti.

Tidak lama, suara pagar rumah Nilam terbuka dan perempuan itu yakin orangtuanya telah kembali. Setelah membereskan gelas; meletakkannya kembali di atas nampan, ia langsung berdiri dari kursi.

"Makasih buat airnya," ucap Nilam, sebelum berjalan melewati Mikha yang masih duduk di lantai, "sampai ketemu di sekolah."

Tanpa berbalik, Nilam pergi begitu saja melewati pagar depan rumah Mikha, tanpa memedulikan raut terluka dari laki-laki itu dan pulang begitu saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top