02
Waktu pun berlalu. Setelah dua hari lalu tempat duduk kelas 10 MIPA 2 diacak. Baru selama itu pula Nilam dan Mikha duduk bersebelahan, tetapi Nilam sudah merasakan kepalanya berdenyut hebat hanya dengan berada di samping laki-laki itu.
Dua hari saja sudah bikin sakit kepala, bagaimana dengan sisa semester ini?
Sebelumnya, Zia memang bukanlah teman sebangku yang pendiam, dia senang bercerita di sela jam pelajaran jika memungkinkan, tetapi perempuan itu tidak pernah menonton video pendek dengan volume cukup besar dan berulang. Zia cukup paham, juga pengertian pada ruang personal Nilam yang senang ketenangan.
Di sisi lain, Mikha mungkin tidak banyak berbicara selama jam pelajaran. Namun karena jam belajar-mengajar belum sepenuhnya efektif, Mikha akan membuka ponsel pintarnya pada waktu bebas belajar, kemudian mengedit atau menonton beberapa video. Sudah dengan volume cukup kencang, musiknya berulang, ditambah debuman tidak nyaman yang sangat menganggu.
Nilam juga tidak bisa dibilang sebagai siswa rajin yang selalu belajar jika ada waktu luang, tetapi dia punya hobi membaca yang terbilang ekstrem. Saking akutnya, dia butuh ketenangan agar bisa membaca dengan nyaman.
Hari ini dia bahkan sengaja membawa novel baru yang belum sempat dia baca. Sementara teman sebangkunya, tentu saja masih melakukan kebiasaan yang mengganggu Nilam—Mikha beserta video-video berisiknya.
Lagu berbahasa Korea bertempo cepat kembali terdengar, setelah diulang beberapa kali, Mikha sepertinya juga tidak berencana memakai earset atau alat lain agar suara tersebut hanya didengar olehnya. Kesabaran Nilam pun seolah habis hari ini.
"Mikha, bisa nggak, volumenya dikecilkan sedikit?" tanya Nilam dengan sopan sambil tersenyum, berusaha tidak menyinggung laki-laki itu.
Mikha tidak menjawab, apalagi menoleh, tatapannya masih tertuju pada telepon genggam. Ia tampak sedang mengutak-atik benda itu, mengabaikan permintaan Nilam.
"Mikha?"
Baru laki-laki berambut hitam itu menoleh. Sebelah alisnya naik dengan wajah kebingungan, mungkin karena ini pertama kali Nilam mengajaknya berbicara setelah terakhir saat bangku mereka diganti, "Iya?" Masih dengan wajah kebingungannya, "sorry, Nilam, aku lagi ngedit dance cover-ku."
Melihat Mikha yang seolah tidak merasa ada yang salah, membuat Nilam menghela napas, "Videomu," Nilam berusaha menahan amarah, "bisa dikecilin, nggak?" tanya Nilam sekali lagi.
"Kayaknya nggak bisa, deh," jawab Mikha tanpa ragu, ia bahkan langsung kembali menatap ke arah ponselnya, "ini video dance cover yang jadi syarat buat daftar kompetisi. Harus diedit sekarang, aku nggak yakin bakalan keburu. Suaranya juga nggak semengganggu itu, kok."
Nilam nyaris melayangkan buku novelnya pada kepala Mikha, tetapi sisi warasnya menahan.
Tidak semengganggu itu katanya? Bahkan teman sekelas yang duduk di depan mereka, sudah beberapa kali menoleh ke belakang karena tidak nyaman, lalu teman di seberang bangku mereka juga melirik. Apalagi Nilam yang sebagai teman sebangku langsung?
Perempuan berambut hitam itu tidak menyerah, "Sedikit aja, Mikha, turun satu atau dua tingkat pun nggak masalah," Nilam masih menawar, karena jujur suara dari video Mikha sangat mengusik.
"Aku nggak dengar kalau dikurangin," Lagi-lagi Mikha menjawab tanpa ragu, "takutnya editan videonya juga nggak sesuai sama tempo lagu."
Mendengar jawaban Mikha membuat Nilam berdiri, ia nyaris merebut ponsel Mikha dengan paksa, lalu mengecilkan volumenya secara brutal karena laki-laki itu enggan setuju pada permintaan sopan Nilam.
Kriiing!
Tetapi, sepertinya Mikha sedang beruntung. Saat Nilam berdiri dan berniat melakukan aksinya, bel pertanda jam istirahat berdering kencang. Sehingga Nilam pun mengurungkan niat untuk memakai kekerasan dan meletakkan novelnya di laci meja, lalu segera pergi ke meja Zia, yang kini pindah di meja kedua dari baris bangku dekat pintu.
Mikha sepertinya tidak acuh, malah tidak terusik dan tetap bergelut pada ponsel. Melihat laki-laki itu yang memilih acuh tak acuh, malah membuat Nilam semakin sebal.
Zia menaikkan sebelah alis, tatkala melihat Nilam yang kini sudah berdiri di sisi bangkunya. Padahal, selama ini Zia yang menghampiri perempuan itu dan mengajaknya ke kantin atau makan bersama jika keduanya janji membawa bekal.
"Mau ke kantin sekarang?" Suara Nilam sarat akan amarah, tangannya pun dilipat ke dada dengan kaki yang terentak cepat dan tidak nyaman.
Masih kebingungan, Zia tertawa canggung, "Boleh," jawabnya, tetapi ia melirik teman sebangku barunya, Tris, yang masih sibuk mencatat materi yang sempat diberikan guru sebelum keluar di pertengahan jam tadi, "Tris mau ikut?"
Tris menengadah, dia menatap Zia dan Nilam secara bergantian sebelum menggeleng, "Enggak, deh," ungkapnya pelan, "ini masih banyak, soalnya."
Zia mengangguk, sebelum berdiri dari tempatnya, "Yaudah, kami duluan, ya, Tris," ujar Zia dan dibalas anggukan serta jempol singkat oleh Tris.
Setelah keluar dari kelas, Nilam mendecakkan lidahnya begitu kencang, ekpresi wajahnya pun terlihat tidak senang, seolah ingin mencekik seseorang saat itu juga.
Zia, yang paham betul alasan temannya itu terkikik pelan, "Mikha berisik lagi?" tebaknya, membuat Nilam langsung mengangguk.
"Bahkan tadi aku udah sampai negur," papar Nilam, masih merasakan amarahnya tidak kunjung tenang, "tapi dia nyangkal kalau handphone-nya tuh berisik! Padahal temen-temen yang lain juga udah nyindir halus gitu, loh."
Tampaknya Zia begitu menikmati keluhan Nilam. Mungkin karena selama ini perempuan itu jarang berbicara banyak, tetapi semenjak sebangku dengan Mikha, obrolannya dan Nilam semakin panjang saja. Meskipun ia harus mendengarkan keluhan yang sama tiap mereka bertemu.
"Katanya buat kompetisi, lah, tapi nggak sampai volumenya segede itu, kan?" lanjut Nilam sambil memijat kepalanya.
Zia masih tersenyum, "Mungkin karena Mikha emang lagi ikut kompetisi kali?" tanyanya, "kan Mikha selain seleb sekolah, dia jadi seleb TikTok juga karena dance cover?"
"Oh, dia juga dancer, loh, sering tampil sana-sini," paparnya lalu Zia menatap Nilam, "kamu tahu ini nggak, sih?"
Kepala Nilam menggeleng, wajahnya yang tadi hanya dipenuhi ekpresi kesal kini berubah menjadi datar, nyaris bingung. Ia tidak tahu jika Mikha punya sisi lain selain tetangga rumah dan teman sebangku menyebalkan.
Tetapi dancer? Di saat orang lain beramai-ramai ingin menjadi dokter atau profesi lain yang stabil dan masuk di akal untuk dicapai? Sepertinya laki-laki itu memang terlalu bebas. Senang pasti menjadi dirinya itu.
"Kamu teman sebangku Mikha, tapi nggak tahu apa-apa soal si Mikha," tutur Zia lagi.
Nilam tidak terlalu peduli, pasalnya dari awal dia memang tidak berniat untuk dekat dengan Mikha. Kalau dari awal ingin dekat, sejak tahu mereka bertetangga pasti Nilam sudah mencari tahu pasal pada laki-laki itu.
Kalau pun dia tahu sesuatu tentang Mikha, pasti tidak jauh-jauh dari hasil percakapannya bersama Zia seperti hari ini.
"Oh, gimana sama seleksi paskibraka?" tanya Zia penasaran, mengingat semester kemarin Nilam gencar-gencarnya mengurus beberapa berkas untuk seleksi tersebut, "bentar lagi latihan buat tujuh belasan, kan?"
Senyum Nilam merekah mendengar pertanyaan Zia. Meskipun terlihat seperti siswi yang langsung pulang saat bel berbunyi dan anti dengan siswa lain, Nilam sebenarnya adalah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka sekolah. Walau hanya sekadar formalitas dari aturan sekolah, tetapi perempuan itu cukup menikmati menjadi anggota ekstra kurikuler tersebut.
Bibir Nilam masih membuat lengkungan, "Nggak lolos buat tujuh belasan kota atau provinsi sih, tapi tetep masuk barisan buat sekolah," jelasnya bangga, karena meskipun masih di tahun pertama, dia sudah menjadi anggota paskibraka yang bertugas saat tujuh belasan nanti.
Zia bertepuk tangan pelan, "Wih, bagus dong, pakai seragam putih-putih," ungkap perempuan itu ikut senang.
Senyum Nilam tidak kunjung luntur, malah semakin melebar hingga pipinya naik membuat matanya menyipit. Ia bahkan tidak menambahkan detail bahwa hal tersebut bisa terjadi karena kelas tiga sudah lulus serta berkasnya tidak sampai tahap selanjutnya karena belum kelas dua. Nilam telanjur senang.
"Bareng Kak Rafa kalau gitu?"
Mendengar nama itu keluar dari mulut Zia, membuatnya mematung serta wajah kemudian terasa menghangat. Namun buru-buru Nilam menutup mulut Zia dan melirik sekitar, setelah yakin tidak ada yang mendengar ia menghela napas lega.
Rafa yang dimaksud Zia adalah Rafandra Kiran, kakak kelas sebelas dari jurusan IPS, anggota OSIS juga paskibraka sekolah. Sekaligus orang yang sedang berpacaran dengan Nilam secara diam-diam.
Sebenarnya hubungan mereka sudah sejak Nilam kelas dua SMP dan laki-laki itu kelas tiga. Namun, mereka merahasiakannya karena orangtua Nilam yang cukup tegas, juga kaku akan hal macam ini, apalagi sang Ayah adalah guru di SMPnya dulu. Ia tidak mau ambil risiko jika sampai ketahuan.
Seperti pasangan yang dimabuk kasmaran, Nilam pun menyusul Rafa ke SMA Aurich, sekolah di mana laki-laki itu berada dan hubungan mereka pun berlanjut sampai sekarang—meski harus memohon dulu pada orangtuanya. Lalu karena terbiasa tidak mengungkapkan hubungan mereka, jadilah mereka berpacaran diam-diam sampai sekarang. Bahkan yang tahu hubungan itu pun hanya Zia dan beberapa teman dekat Rafa.
"Kalau ada yang denger, bisa jadi masalah, tahu," protes Nilam, tetapi wajahnya masih terasa menghangat, "standar dia tuh, provinsi tahun ini, mana ada tujuh belasan di sekolah."
Zia tidak menjawab, tetapi tetap memberikan senyum seolah ikut senang dengan apa pun yang Nilam capai saat ini. Perempuan itu pun merangkul lengan Nilam dan memeluknya erat. "Kalau gitu, aku doain semoga lancar terus sampai tujuh belasannya, ya, Nilam," ujar Zia terdengar tulus.
"Iya, makasih, ya," jawab Nilam ikut memeluk Zia dan tersenyum senang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top