12. Jadi Kesel? (revisi)
Saat ini April sedang men-drible bola yang sebelumnya ia ambil diruang olahraga. Kala kembali ke kelas, April mendapati gurunya di pelajaran terakhir tidak masuk. Sehingga gadis ini memutuskan untuk pergi ke lapangan. Diawal-awal kakinya memang terasa sakit, tapi lama-kelamaan dia tidak merasa sakit lagi ketika berlarian bersama bola
Kini April tengab bersiap untuk melakukan medium shoot, namun gagal. Bolanya hanya mengenai papan Ring bagian bawah lalu terpental. Membuat April berdecak karena tembakannya gagal. Segera saja ia melangkah untuk mengambil bola. Namun langkahnya terhenti ketika seorang laki-laki sudah mengambil bola dan berjalan mendekat.
"Kamu tidak masuk kelas?"
"Tolong jangan hukum saya lagi," peringat April sebelumnya. "Gurunya enggak masuk, Bapak sendiri gak ngajar?"
"Saya sudah tidak ada jam."
"Mau main?" tantang Rian tiba-tiba
"Emang Bapak bisa?" tanya April dengan alis bertaut.
"Kamu meremehkan saya?"
April hanya mengangkat bahunya dengan gerakan ringan. Dia kan hanya bertanya, sama sekali tidak bermaksud meremehkan. Tapi April tidak menanggapi dan langsung mengambil posisi. Rian pun segera memulai permainan karena bola ada padanya. Sekitar lima menit berlalu, April tahu jika Rian bukan hanya sekedar bisa. Lelaki itu cukup jago. Di awal saja dia sudah ketinggalan poin.
Saat permainan berakhir, April duduk di tepi lapangan. Sementara Rian sedang membeli minum. Meskipun harus rela kalah, paling tidak April senang karena menemukan lawan yang hebat. Ingatannya melayang kepada beberapa saat lalu. Ketika Rian berusaha merebut bola darinya atau sebaliknya. Jarak mereka begitu dekat, dan sebenarnya itu hal wajar mengingat mereka sedang saling berebut bola. Namun ada yang tidak wajar pada kerja Jantungnya. Bahkan kini ia merasa pipinya sudah memanas.
Terlebih ketika April mendarat setelah melakukan lay up shoot, dia kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Tetapi Rian dengan gesit menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Jadi kekalahannya kali ini bukan karena Rian saja yang hebat. Beberapa faktor diatas membuat April terkecoh dan tidak bisa fokus tadi.
"Nih."
April tersentak. Dilihatnya Rian menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Makasih,” ucapnya setelah menerima air mineral itu. Selagi ia membuka dan meminum air, Rian duduk di sampingnya.
Ketika teringat sesuatu, April menepuk jidatnya sendiri. Teringat sesuatu yang seharusnya di lakukan sejak pagi. Segera ia mengubah posisi duduknya menghadap Rian. Lelaki itu mengangkat alisnya bingung dengan gerakan April yang tiba-tiba.
"Makasih sepatunya, saya suka." April berucap tulus sambil tersenyum.
Sebenarnya Rian bisa menemukan ketulusan dimata gadis itu. Namun mengingat kejadian di kantin dia jadi ragu. Bukankah April tidak suka dengan sepatu itu? Maka matanya menelisik wajah April selama beberapa saat, sebelum mengalihkan tatapannya ketika melihat gadis itu tidak nyaman dengan tatapannya.
"Hmm." Akhirnya anya itu yang keluar dari mulut Rian pada akhirnya.
April mengernyitkan kening, tidak suka dengan respon Rian. Namun karena Rian baru saja memberikannya sepatu, i memilih mengabaikan dan bertanya hal lain. "Kok Bapak tahu ukuran sepatu saya?"
"Saya enggak tahu," aku Rian sambil masih menatap ke depan. "Itu ukuran sepatu adik saya, sebenarnya saya mau memberikan itu untuknya tapi dia tidak mau jadi saya kasih sama kamu. Syukurlah kalau pas, jadi saya tidak perlu membelikan lagi."
April dibuat melongo selama beberapa saat. Tidak suka dengan jawaban Rian yang sangat santai itu. Tidak modal sekali memberikannya sepatu bekas, yah meskipun masih baru tapi kan ... tetap saja.
Yang April tidak tahu Rian sedang berbohong. Kemarin sepulang dari rumah gadis itu dia langsung pergi ke mall. Pergi ke toko sepatu dan memilih sendiri sepatu itu dengan menebak ukuran kaki April. Bahkan hari ini, Rian rela bangun lebih pagi hanya untuk menaruh sepatu itu di laci meja April.
"Kalo enggak ikhlas ngapain ngasih." April berucap ketus.
"Kan kamu yang minta."
Ucapan Rian cukup untuk membuat April terdiam untuk sesaat. Hanya sesaat sebelum membalas tak kalah. "Tapi kan Bapak yang janji."
"Nah itu, Janji adalah hutang dan saya tidak mau memiliki hutang."
"Kok saya berasa jadi rentenir ya Pak?" tanyanya sinis.
"Mirip kan."
April menatap Rian dengan tajam. Semakin tak suka dengan pembicaraan mereka. "Jadi sebenarnya Bapak ikhlas gak sih ngasih sepatu itu?"
"Ikhlas kok, hitung-hitung sedekah biar dapat pahala."
"Emang saya pengemis dikasih sedekah?"
"Siapa yang bilang?"
"Ishh kok ngomong sama lo jadi kesel sih." Setelah mengatakan itu April langsung bangkit. Sungguh dia kesal karena Rian selalu menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang menyebalkan. Kesopanannya sudah menghilang entah kemana. Selain itu juga dia merasa kecewa. Kecewa saat tahu kalau sepatu itu adalah sepatu yang akan diberikan kepada adiknya.
Namun ketika baru beberapa langkah, April berhenti. Kakinya yang sebelah kanan terasa nyeri. April berusaha berjalan namun sulit. Kakinya saat ini benar-benar terasa sakit. Disaat kembali mencoba melangkah, rupanya Rian sudah bangkit dan mencekal lengannya. Lelaki itu kemudian memaksanya untuk duduk.
"Tunggu di sini!" Rian berkata tegas, tak ingin dibantah sebelum pergi dari sana. April pun hanya bisa menurut, toh kakinya juga sedang sakit. Dia hanya bisa berharap kakinya akan segera membaik. April lalu merogoh sakunya namun tak menemukan benda yang ia cari. Niatnya ingin menghubungi Leo namun tidak jadi karena handphone-nya mungkin ada di kelas.
Tak lama Rian datang sambil membawa sesuatu ditangannya lalu langsung duduk di depan April. "Lurusin kaki lo!" perintah Rian ketika posisi duduk April yang menekuk lututnya.
"Hah! Ngapain?" April bertanya bingung sebelum berseru kaget karena Rian menarik kedua kakinya agar lurus.
Setelah itu Rian membuka sepatu dan kaus kaki April yang sebelah kanan. Tampak kaus kakinya yang berwarna merah. Darah merembes dari luka kakinya yang kembali terbuka. Sekarang April heran sendiri, kenapa setiap dirinya terluka Rian selalu mengetahuinya. Atau mungkin Rian itu UKS berjalan.
"Kalo belum sembuh ngapain main basket." Rian menggerutu sendiri begitu selesai mengobati luka April.
"Kan lo yang ngajakin."
"Ck sebelum gue datang juga lo udah mainkan?"
"Ya tap-"
"Gak usah ngejawab bisa gak sih? Udah salah juga."
April mengerucutkan bibirnya namun tak urung langsung terdiam, tak menyahuti ucapan Rian selanjutnya. “Nanti sepatunya gak usah di pakai."
"Kalau emang masih sakit besok pakai sandal aja atau kalau parah lebih baik gak usah sekolah."
April kembali mengangguk dia malas berdebat dan membantah. Rian tak beda jauh seperti abang dan Papanya jika sudah memerintah, tak ingin dibantah.
"Lo pulang sama siapa?" tanya Rian.
Kini April diam bingung harus menjawab apa. Jadi dia hanya menggeleng membuat Rian bingung. Rian lalu mengulangi pertanyaan, sayangnya jawaban April masih sama yaitu menggeleng. Hingga akhirnya Rian kesal sendiri.
"Kalau ada orang nanya tuh dijawab. Emang pertanyaan gue susah ya kayak soal matematika sampai lo gak bisa jawab."
Dari nada suaranya April bisa tahu kalau Rian sedang kesal. "Gue bingung sama lo. Tadi katanya gak usah jawab sekarang malah suruh jawab."
Rian mengusap wajahnya kasar gadis di depannya ini benar-benar. "Ya maksud gue itu ..."
"Apa! Lo tuh jadi orang ribet tahu gak. Gue jawab salah, gue gak jawab juga salah gue kan jadi kesel lagi."
"Lah bukannya lo udah kesel dari tadi ya?"
"Ya ampun! Otak lo dibuat dari apa sih. Gue jadi gak yakin lo itu beneran guru matematika."
Setelah itu mereka diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. April saat ini benar benar kesal. Jika tadi kesalnya hilang, sekarang kesalnya kembali datang. Sampai Rian bertanya kembali, “masih kesel?”
April memutar kepalanya ke samping, menatap Rian sinis. "Menurut lo?!"
Rian menghela nafas pelan lalu kembali berbicara "sorry deh, jadi nanti lo pulang sama siapa?"
"Jadi sekarang gue boleh jawab pertanyaan lo?"
"Menurut lo?!" Rian menirukan ucapan April dengan tatapan yang lebih sinis.
"Santai sih nanti itu mata keluar. Gue pulang sama Leo. Tapi gue gak bisa ngehubungin Leo, handphone gue ketinggalan di kelas."
"Ya udah gue anter lo ke kelas ya?"
April setuju, tapi kemudian mengingat bel pulang sudah berbunyi ketika mereka tengah bermain basket. Biasanya setiap pulang sekolah Leo akan menunggunya di tempat parkir. Jadi April meminta Rian mengantarnya ke sana.
Rian memapah April hingga ke parkiran. Gadis itu kesakitan saat berjalan sendiri. Rian juga tidak menggendong April karena keadaan sekolah yang belum sepi sejak bel berbunyi. Masih ada beberapa siswa yang berkeliaran dilingkungan sekolah, entah mau ekskul atau kegiatan lainnya. Ditambah jika nanti harus berurusan dengan Leo. Rian sangat sadar kalau Leo tidak menyukainya, maka dia berusaha bersikap biasa agar tidak menimbulkan masalah.
"APRIL!" Leo yang tadinya bersandar di samping mobil langsung berteriak dan mengambil alih April dari Rian. Dia membawa April untuk masuk ke mobil. Saat Leo hendak menutup pintu mobil gerakannya terhenti ketika melihat kaki April yang dililit perban.
"YA AMPUN PRIL! INI KAKI LO KENAPA?"
"GUE KAN UDAH BILANG GAK USAH SEKOLAH."
April memutar kedua matanya saat Leo berteriak panik tepat di depan wajahnya. Untung saja tidak ada air liur yang menyiprat ke wajahnya. April tahu Leo pasti khawatir akan keadaannya. Terlebih tadi pagi dia sudah meyakinkan Leo kalau dirinya akan baik-baik saja.
"Le gue gak papa. Kita pulang ya."
Leo diam masih tidak yakin. Namun setelah beberapa detik, tanpa kata dia menutup pintu mobil. Tapi setelah itu Leo tidak langsung masuk ke dalam mobil.
"LEO!!" April berteriak dari dalam mobil saat sepupunya itu menghampiri Rian dan tiba-tiba menarik kerah bajunya. Leo lalu mendorong Rian hingga punggung lelaki itu membentur bodi samping mobil. April langsung keluar dari mobil. Tentu saja dengan keadaan kakinya yang sama sekali belum membaik.
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE APRIL SAMPE DIA LUKA LAGI?!" Leo berteriak tepat di depan wajah Rian dengan wajahnya yang merah padam.
Rian tidak menjawab. Saat ini jika diberikan penjelasan pun Leo tidak akan percaya. Jadi Rian tak membuka suara. Dia hanya berusaha melepaskan diri dari Leo yang sedang emosi.
"LEO LEPASIN!" April berusaha melepaskan tangan Leo yang mencengkeram erat kerah baju Rian.
"PRIL MINGGIR!"
"ENGGAK SEBELUM LO LEPASIN PAK RIAN!"
"APRIL GUE BILANG MINGGIR!"
April menggeleng, dia menggigit bibir bawahnya, merasa takut. Leo yang tampan terlihat menyeramkan jika sedang marah seperti ini. Sekali lagi ia berusaha menarik tangan Leo. Namun Leo menepisnya. Entah karena Leo yang menepisnya dengan keras atau karena April yang sudah lemas, membuatnya terjatuh ke samping.
Rian yang semula hanya diam bereaksi ketika melihat April jatuh dan meringis menahan sakit. Ia langsung mendorong Leo dengan sekali gerakan sehingga Leo terjengkang ke belakang. Setelah itu Rian langsung menghampiri April.
Leo yang tersadar akan kesalahannya pun langsung menghampiri April. Dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti perempuan yang paling ia sayangi setelah Bunda dan Mamanya itu. Terlebih dahulu Leo mendorong Rian agar menjauh dari April. Kemudian dia menggendong April, membawanya ke dalam mobil.
"Sorry ..." Leo berkata lirih, dia menyesal karena sudah lepas kontrol tadi sehingga menyakiti April
"Lo harus minta maaf sama Pak Rian!"
Leo baru akan membuka mulut untuk berbicara namun April sudah mendahuluinya. "Pak Rian yang ngobatin kaki gue," jelasnya.
"Kaki gue luka lagi karena gue ceroboh. Sorry udah bikin lo khawatir, sorry gue gak nempatin janji," lanjut April.
Sementara itu Leo terdiam, rupanya dia sudah salah paham pada Rian. "Ok, gue minta maaf sama Pak Rian."
Leo adalah orang yang akan mengakui kesalahannya jika ia salah. Disini dia yang salah, maka dirinya akan meminta maaf pada Rian. Yah meski terkesan terpaksa dan tidak tulus. Yang hanya ditanggapi Rian dengan anggukan. Setelah itu Leo masuk ke mobil. Menghidupkan mobil lalu mengemudikannya keluar dari area parkir sekolah.
Rian masih belum beranjak ketika mobil Leo meninggalkan sekolah. Khawatir adalah perasaan dominan yang sedang ia rasakan saat melihat April terluka. Baik ketika kaki gadis itu kembali terluka ataupun ketika tadi Leo tak sengaja mendorong April.
Rian tidak marah atas perbuatan Leo tadi. Rian mengerti Leo tidak ingin April terluka sama sepertinya yang juga tidak ingin gadis itu terluka. Terlebih Rian juga merasakan kekhawatiran yang sama seperti Leo. Tunggu, apanya yang sama? Bagaimana bisa Rian memiliki pikiran seperti itu. Bukankah terdengar aneh jika ia mengkhawatirkan April?
***
Bab 13 selesai di revisi guys. Emang lagi ngebut gitu ceritanya. Semoga bisa cepat selesai ya. Dan buat kalian yang baca jangan lupa vote dan comment oke😁😁😁. Terus kalau kalian masih menemukan typo jangan sungkan untuk kasih tahu aku ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top