8. Lamaran luar biasa

Satu persatu orang yang tidur didalam tenda mulai membuka mata. Beberapa dari mereka bangun dengan kepala yang terasa pening. Efek alkohol semalam. Bahkan Hani, yang hanya minum sedikit sudah muntah. Mita yang berada dibelakangnya memijat tengkuk gadis itu. Merasa tidak tega meski sahabatnya yang satu itu sangat menyebalkan.

Sebagian yang masih cukup waras, mulai membongkar tenda-tenda dibantu para pengawal. Hingga kemudian teriakan Pras menarik perhatian semua orang. Disusul teriakan Andrian yang diramaikan juga oleh Leo. Kehebohan dipagi hari yang disebabkan ketidak-nampakan April. Membuat semua orang di sana ikut mencari April. 

Pras menuju salah satu tenda yang belum dibongkar. Tak lama setelah tenda dibuka, teriakan Pras kembali menggema. Membuat kedua orang yang sedang tidur nyenyak itu menggeliat namun terlihat enggan untuk bangun. Rian bahkan mengeratkan pelukannya pada April.

Teriakan Pras mungkin tidak mampu membangunkan Rian dan adiknya. Tapi tidak dengan Adrian. Deheman kuat yang Adrian lakukan, lebih dari mampu untuk membangunkan keduanya yang langsung terlonjak kaget. Keduanya langsung bangkit dan keluar dari tenda. Rian meringis meratapi nasibnya yang entah ke berapa kali, kepergok oleh calon mertua. Lain dengan April yang begitu keluar, langsung melenggang santai. Meninggalkan nya yang dikelilingi para Hulk yang seolah siap untuk membantainya. 

"A-AW! Sakit Om." Rian pasrah, hanya bisa menjerit dan meringis saat telinga kirinya ditarik kencang oleh Adrian. 

Plak

Tangan Adrian yang bebas tak tinggal diam. Pantat Rian jadi sasaran empuk. Sebenarnya Adrian bisa melakukan kekerasan yang lebih dari ini. Tapi akan repot kalau April tahu nanti. Jadi ia cari aman saja.

Melalui tatapan mata, Rian meminta tolong kepada siapapun yang bisa melepaskannya dari sang calon mertua. Namun seolah apa yang dialaminya ini sebuah hiburan, mereka justru sibuk menahan tawa sembari pura-pura melakukan kesibukan lain. Hingga tatapannya ditujukan kepada Devina yang datang layaknya malaikat. Berbeda dengan sang suami yang sedang menyiksanya. Pun dengan April yang malah menumbalkan dirinya disini.

"Udah dong Mas, kasian calon menantuku."

"GAK SUDI AKU PUNYA CALON MANTU KAYAK DIA!" Teriakan Adrian dibarengi tarikan ditelinga Rian yang makin menjadi.

Tidak berlangsung lama, karena Devina menarik tangan Adrian dan menariknya menjauhi Rian. "Bisa putus telinganya nanti."

"BIAR PUTUS AJA SEKALIAN. GAK CUMA TELINGANYA TAPI HUBUNGANNYA SAMA APRIL JUGA!" Teriak Adrian murka membuat Rian tergelak.

"Ya ampun Om, itu mulut pedes kayak cabe."

"Siapa suruh kamu macam-macam sama April."

Siapa yang macam-macam. Mereka hanya tidur, tapi bagaimana menjelaskan hal itu kepada Adrian. Yang jelas tidak akan mau mendengarnya. Beruntung Devina membantu menjelaskan kalau tidak ada yang terjadi apa-apa antara dirinya dengan April. Tidak bisa mendebat sang isteri tercinta, Adrian pergi dengan perasaan dongkol. Tak lupa melirik Rian dengan tajam sebelum pergi. Disusul Devina yang sebelum pergi memperingati Pras dan Leo agar tidak bertindak macam-macam lewat tatapannya.

Sepeninggal Devina, Rian membantu yang lain untuk membongkar tenda. Masih terdengar jelas olehnya, beberapa orang cekikikan usai menyaksikan drama pagi. Salahnya juga semalam yang tidak mau melepaskan April bahkan setelah gadis itu tertidur. Setelah April tertidur pun, ia malah membawa gadis itu ke tendanya. Hingga berakhir seperti ini.

Usai merapikan tenda, mereka segera menuju ruang makan untuk sarapan. Meja makan itu tampak lebih penuh dari biasanya. Hampir semua orang sudah menempati kursi yang kosong. Termasuk Rian yang sebenarnya ingin duduk disebelah April. Tapi pacarnya itu diapit oleh Pras juga Leo dan diujung sana ada Adrian. Maka, ia mengambil tempat duduk terjauh agar tidak bisa dijangkau oleh Adrian.

Seperti biasa, suasana hangat selalu menyelimuti meja makan ini. Rian yang hanya orang luar pun jelas bisa merasakannya. Karena sekalipun Rian berada ditengah-tengah keluarganya sendiri, kehangatan seperti ini masih belum bisa ia rasakan. Mungkin karena pernah merasa tak diharapkan, perasaan canggung itu masih ada. Orang tuanya jelas sudah berusaha membuatnya nyaman, tapi tetap saja ada yang kurang.

Matanya mengedar melihat sekeliling. Keluarga ini, sama sekali tidak pernah berusaha membuatnya nyaman. Tapi rasa nyaman itu datang dengan sendirinya karena keluarga ini jelas menerimanya. Sekalipun Adrian yang tampak sangat memusuhinya, bisa ia rasakan lelaki penjaga April nomor satu itu, tidak menolak kehadirannya. Mungkin inilah yang membuatnya merasa berbeda bahkan ditengah-tengah keluarganya sendiri.

"Rian mau sarapan apa?" 

Suara lembut Devina menarik penuh atensinya yang hilang dalam lamunan. Perempuan dengan perangai lembut itu, entah sejak kapan berdiri disampingnya. Tergagap sebelum menjawab menu apa yang akan jadi sarapannya pagi ini. Dengan telaten, Devina mengambilkan sarapan ke piringnya. Membuat Adrian diujung sana mendengus keras yang dibalas senyuman olehnya. 

Usai sarapan, setiap orang kembali dengan aktivitas masing-masing. Rian sendiri memutuskan untuk pulang ke apartemen. Dengan April yang ikut bersamanya. Gadis itu langsung merebahkan diri di sofa begitu tiba. Matanya terpejam karena rasa kantuk yang belum hilang. Tidak ingat tidur jam berapa, yang jelas April tahu dirinya tidur lewat tengah malam.

"Tidur di kamar sana," ucap Rian. Tangannya mengelus kepala April. Kasihan melihat pacarnya yang masih mengantuk dan tidur di sofa hanya akan membuat tubuh pegal nantinya.

Mata April langsung terbuka. Menegakkan tubuh, April menatap Rian skeptis "gue enggak mau tidur dikamar perempuan itu."

"Ap-oh ... Pril, apartemen ini cuma ada dua kamar. Kamar gue sama kamar lo, bukan perempuan itu."

April memandang Rian dengan malas. Apakah ia harus memperjelas ucapannya. "Lo jelas ngerti maksud gue."

Menghela napas, Rian bangkit dan setengah menyeret April agar mengikutinya. Gadis itu hendak protes tepat sebelum mereka tiba didepan pintu kamar yang ditempatinya dulu. Begitu pintu dibuka, April terdiam ditempat. Matanya memindai kedalam kamar. Dengan ragu kakinya melangkah, rasa tak percaya menghampirinya. Namun apa yang ada didepan matanya ini nyata.

Tiga bulan lebih, April tidak pernah menginjakkan kaki di apartemen Rian, terlebih dikamar yang ia tempati dulu. Meski begitu, ingatan tentang bagaimana keadaan kamar ini saat terakhir kali ia tempati masih terpatri jelas olehnya. Tak ada yang berubah dari kamar ini, selain ada banyak fotonya yang dipajang didinding. Foto yang bahkan ia sendiri tak tahu kapan foto itu diambil. Bagaimana bisa? Itu pertanyaannya didepan semua fotonya yang terpajang.

Rian mendekat, tanpa ragu memeluk gadis yang dicintainya dari belakang. Matanya ikut memandang ke depan. Ke foto yang diambilnya secaa diam-diam.

"Karena gue enggak pernah biarin orang lain tidur disini. Bahkan Manda sekalipun." Di samping telinga April, Rian berucap pelan namun serius.

"Kenapa?"

"Selama ini gue enggak pernah bisa tidur nyenyak, tapi gue bisa saat ada lo. Dan meski lo enggak ada, seenggaknya tidur disini bikin gue lebih tenang. Selama tiga bulan Manda tinggal disini, dia tidur dikamar gue. Enggak pernah sekalipun gue biarin dia masuk ke kamar ini," ucap Rian lalu mempererat pelukannya.

Perasaan senang itu melingkupinya lalu membuncah begitu saja. Bisa dibayangkan olehnya bagaimana Rian yang tidur di kamarnya. Tanpa merubah apa yang ada disini sebelumnya. Rian tidak pernah memberikan bunga atau menyanyikan lagu romantis untuknya. Tapi apa yang dilakukannya lebih dari cukup. Bagaimana caranya merawat dan menjaga kenangannya dikamar ini bukanlah hal yang mudah. Tidak membiarkan kamarnya ditempati perempuan lain sungguh membuatnya tersentuh. Rian menjaga perasaannya Sampai seperti ini.

"Kenapa lo larang perempuan itu masuk ke kamar ini?" 

Tepat ketika pertanyaan itu selesai diucapkan, April tersentak saat Rian membalik tubuhnya dengan sekali gerakan. Ditatapnya mata gadis itu dengan dalam sebelum berucap, "Karena dia enggak berhak menggantikan lo disini."

Rian menunduk, menempelkan bibirnya dengan April. Mencium bibir mungil itu dengan lembut dan perlahan. Membiarkan April merasa rileks tanpa harus terkejut hingga mendorongnya. Dan ketika gadis itu membalasnya, Rian tidak punya alasan untuk menahan diri.

Tangannya memeluk tubuh April semakin erat hingga tubuh mereka menempel. Ketika April mengalungkan tangan dilehernya, Rian mulai bergerak. Membawa April hingga terdesak dipinggir ranjang sampai membiarkan tubuh mereka terhempas di kasur. Ciuman itu tidak terputus, justru terasa semakin dalam dan menuntut. Keduanya saling mengisi juga menikmati hingga entah berapa lama. 

Sampai akhirnya ketika tangan Rian menjelajah, berusaha membuka kancing kemeja yang April kenakan. Saat itulah April mendorong Rian sekuat tenaga, hingga lelaki itu terhempas ke dinding. Menyebabkan bunyi yang nyaring dan terdengar menyakitkan. Rintihan sakit itu tak hanya keluar dari bibir Rian, tapi juga April. Gadis itu mengerahkan segenap tenaganya untuk melakukan itu.

"Sorry," ucap April penuh penyesalan.

Rian menggelengkan kepala, berjalan tertatih lalu berlutut didepan April yang duduk pinggir kasur. Digenggamnya tangan April sebelum mencium kedua tangan itu.

"Lo udah melakukan hal yang benar.  Seharusnya gue yang bilang maaf. Sorry, i'm really sorry."

"Apa lo menyesal?" Dari sekian banyaknya respon yang bisa diberikan, entah apa yang mendasari April bertanya hal itu.

Riang menggeleng dengan tegas. Yang benar saja, menyesal adalah hal terakhir yang akan pikirkan. "Enggak mungkin, tapi gue akan menyesal kalau kita lebih dari tadi."

Dengan gerakan cepat, April menarik kedua tangannya yang digenggam Rian. Matanya memicing menatap lelaki yang masih berlutut didepannya. Merasa tidak percaya jika lelaki mesum ini adalah pacarnya. Sekaligus menyesal karena merasa bersalah telah mendorongnya. Seharusnya ia juga menendang lelaki itu tadi.

Mendapati Respon April, Rian tertawa ringan. Tidak tahukah gadis itu, jika ia sedang menahan diri. Beruntung April mendorongnya tadi karena jika tidak, bukan hanya kepalanya bahkan anggota tubuh yang lainnya tidak akan selamat. Jangan paksa dirinya untuk membayangkan hal mengerikan itu. Terlebih, ia juga tidak mau harus jadi orang brengsek untuk yang kedua kalinya.

Ketika tawanya berhenti, Rian merogoh kantong celananya. Mengeluarkan sesuatu yang langsung mendapatkan respon berupa tatapan ngeri dari April. Mulut gadis itu terbuka beberapa kali, seolah siap melontarkan umpatan paling kasar di dunia. Namun tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari bibir mungilnya.

Seolah, tidak mempedulikan respon April yang matanya sudah siap lepas kapan saja, Rian membuka kotak yang dipegangnya. Menunjukan jika apa yang sedang ia lakukan saat ini bukan sekedar lelucon. Ditambah kalimat yang selanjutnya keluar dengan lancar membuat April menahan napas. "Lo mau nikah sama gue?"

Pandangan April beralih dari kotak yang dipegang pacarnya juga wajahnya. Berungkali hingga ...

Bugh

Semuanya berubah gelap bagi Rian.

***

Hal yang pertama kali Rian lihat ketika membuka mata adalah langit-langit kamar. Butuh beberapa waktu sampai dirinya menyadari apa yang terjadi. Hingga akhirnya ia terlonjak sampai posisinya terduduk dilantai. Matanya langsung bertatapan dengan April yang tampaknya tidak berubah posisi sedikitpun.

"Lo masih hidup ternyata," gumam April pelan, namun masih terdengar oleh Rian.

"Lo berharap gue mati," ucap Rian sinis.

Astaga gadis ini. Bagaimana mungkin April menonjok wajahnya, disaat ia sedang menunjukkan keseriusan dalam hubungan mereka. Bukankah seharusnya respon yang diberikan April terkejut, lalu senang dan terharu kemudian menerimanya. Itu respon umum yang diberikan perempuan saat dilamar, kan? Tapi ini ...

Ah! Rian hampir melupakan fakta itu. Pacarnya jelas tidak termasuk dalam kategori perempuan umum. Jadi pasti responnya luar biasa. Tapi mendapat pukulan tepat diwajah, jelas bukan respon yang ia perhitungkan.

Seharusnya Rian memakai pelindung kepala dan wajah, sarung tangan dan pelindung tubuh. Tapi dirinya bukan mau mengikuti pertandingan olahraga ekstrim. Ia mau melamar seorang gadis! Bukankah setelan jas akan membuatnya terlihat keren?

Menarik napas, Rian mendekati April secara perlahan. Antisipasi kalau tiba-tiba April memukulnya lagi. Karena kalau April memukulnya lagi, mungkin ia akan berakhir di rumah sakit. Pukulan pacarnya itu tidak main-main. Rasanya lebih menyakitkan daripada saat ia terhempas ke dinding. Melihat April yang tenang, Rian memberanikan diri untuk meraih kedua tangan gadis itu.

"Kenapa lo mukul gue?"

April menggigit bibir sebelum menjawab, "gue kaget."

Rian mengangguk, mengerti jika April mungkin terkejut dengan apa yang dilakukannya tadi. Jadi sekarang ia harus berusaha membuat gadis dihadapannya mengerti maksudnya.

"Pril ... Mungkin ini tiba-tiba-"

"Emang!" April menyahut cepat, lalu diam. Sadar jika Rian belum selesai bicara.

"Dan lo pasti kaget-"

"Iyalah!" Lagi April merespon, memotong ucapan Rian yang belum selesai.

Rain memejamkan mata lalu menarik napas sebelum mulai melanjutkan.

"Tapi gue serius-diam Pril gue belum selesai!"

April kembali merapatkan bibirnya yang sudah siap untuk menyela. Geraman Rian dengan nada rendah itu, membuat nyalinya menciut. Lewat tatapan, ia mempersilahkan Rian untuk melanjutkan.

"Kita mungkin belum lama saling mengenal. Tapi, perasaan gue enggak main-main, termasuk hubungan kita. Gue mau serius sama lo Pril. So please, merry me."

Tidak perlu menunggu lama untuk Rian mendapat respon dari April. Gadis itu menggigit bibirnya kemudian menggeleng ragu.

Menghela napas, Rian berdiri. Tangannya menangkup wajah April. Memaksa gadis itu untuk menatapnya. "Kenapa, apa yang bikin lo ragu?"

"Ini ... Ini terlalu cepat Yan."

Rian tersenyum mendengar jawaban April. "Kita enggak akan nikah besok, Pril."

"Tapi gue bukan perempuan sempurna-ssstt-biarin gue ngomong dulu." April menempelkan jari telunjuknya didepan bibir Rian, saat lelaki itu akan menyela. Setelah memastikan Rian diam, ia kembali melanjutkan.

"Masih banyak yang pengen gue lakuin. Gue bahkan ga bisa masak. gue cuma bisa ngancurin dapur. Gue enggak bisa ngurus rumah. Bahkan gue enggak yakin apa gue bisa ngurus lo dan anak kita nantinya. Gue punya banyak kekurangan, Yan. Apa sebenarnya yang lo harapkan dari gue." April melirih diakhir kalimat. Segala bentuk kecemasan dan kekhawatiran terpancar jelas dari tatapan matanya. Membuat Rian bisa ikut merasakan ketakutan gadis itu.

"Raditha Aprilia Azhair, seperti yang gue bilang kita enggak akan menikah besok. Gue enggak akan membatasi keinginan lo. Lo masih bebas melakukan apa yang lo mau. Dan untuk semua ketakutan lo itu, kita bisa belajar bersama. Lagi pula gue cari isteri, bukan pembantu. Dan gue mengharapkan lo, cuma lo untuk menemani gue sampai tua nanti."

Keduanya saling menatap. Perlahan ketakutan yang April rasakan memudar. Kecemasan yang melingkupinya menguar. Rian berhasil meyakinkannya. Menekan ketakutannya, menghasilkan kepercayaan jika mereka bisa melaluinya.

"Jadi, lo mau nikah sama gue?" Rian mengulangi pertanyaannya. Pertanyaan yang sudah tiga kali ia ucapkan dalam sehari ini. Rian hanya berharap, dikali ketiga ini April akan menerimanya. Dan harapan Rian terkabul ketika April mengangguk.

"Gue mau," jawab April dengan senyuman. Mereka akan menghadapinya bersama. Kalau ia tidak kuat nantinya, akan ada Rian yang mendampingi. Jadi ia tidak perlu takut lagi.

Jawaban dari April memberikan efek yang luar biasa bagi Rian. Perasaan senang itu membuncah memenuhi hatinya. Dipeluknya April dengan erat. Hari ini status mereka berubah. April, calon isterinya. Bukankah terasa pas untuk diucapkan. Tapi ... Seperti ada yang kurang.

Rian melotot dan langsung melepaskan pelukannya. Matanya langsung memindai seluruh kamar. Mencari benda penting untuk hari ini. Tapi setelah lama mencari, ia tidak menemukannya.

"Lo nyari apa?" Pertanyaan itu April ajukan, karena Rian tampak sibuk mengacak-acak kamar untuk mencari sesuatu.

"Cincin," jawab Rian pendek sambil terus mencari.

"Oh ... Cincin yang tadi ya?"

Refleks Rian menoleh. Ia segera menghampiri April dan bernapas lega. Bersyukur cincinnya tidak hilang.

"Mana cincinnya?"

"E-eh anu ... Gue buang," cicit April menghilangkan binar penuh harap Dimata Rian.

"Buang. Ya ampun Pril! Itu bukan cincin plastik."

Rian mengacak rambutnya frustasi. Tidak mengerti lagi jalan pikiran April yang diluar manusia normal. Bagaimana mungkin gadis itu membuang cincin lamarannya. Apa ia tidak tahu berapa harga cincinnya.

"Ya abis lo nyeremin waktu pegang cincinnya tadi."

Tarik napas, buang. Itu Rian lakukan untuk menenangkan diri. Baru saja dirinya merasa senang, sekarang April mengejutkannya.

"Dimana lo buang cincinnya?"

"Dibalkon," jawab April lugas, tanpa rasa bersalah.

"HAH! LO BUANG CINCIN TUJUH PULUH JUTA DIBALKON. LO GILA YA!"

Usai berteriak, Rian segera keluar dari apartemennya. Berlari menuju lift yang akan membawanya kelantai dasar. Berkeliling diluar, berharap cincin itu bisa ditemukan.

Sementara itu April melongo dikamar sebelum berseru, "wah!"

Kemudian April mengambil handphone, menghubungi Andra. Meminta lelaki itu untuk mencari cincin yang tadi di buangnya. Sayang kan kalau hilang.

Sekitar satu jam Rian baru kembali. Keringat meluncur deras diwajahnya. Untungnya Rian tidak kembali dengan tangan kosong. Tadi dibawah, dibantu Andra dan beberapa orang pengawal April, ia bisa menemukan cincin yang sengaja ia pesan untuk gadis itu. Maka begitu tiba di apartemennya, Rian langsung meraih tangan April yang terkejut saat sedang santai menonton tv. Membuka kotak cincin, lalu memasangkannya dijari manis April. Kemudian merebahkan dirinya disamping gadis itu.

April menatap jari manisnya. Sebuah cincin bertengger manis disana. Cincin yang tadi dibuangnya dan kini berhasil merubah statusnya. Secepat inikah? Mereka baru kenal beberapa bulan, dan keputusan sebesar ini sudah disepakati. Teringat sesuatu, April menjulurkan tangannya kewajah Rian.

"Kotaknya."

Tidak butuh waktu lama bagi Rian untuk menyerahkan kotak cincin itu kepada April. Tapi yang membuatnya terkejut, April melepas cincin itu dan menyimpannya didalam kotak.

"Lo enggak suka cincinnya?" Tanya Rian tanpa melepaskan tatapannya dari April.

"Suka kok, cincinnya bagus."

"Terus, kenapa lo lepas?"

"Gue enggak mau bikin heboh orang rumah."

Tanpa aba-aba keduanya tertawa bersama. Yah, bagaimana mungkin Rian melupakan keluarga April. Jika gadis itu pulang dengan memakai cincin lamarannya, maka seisi rumah besar beserta Green Area akan terguncang. Bagaimana nanti wajah murka Adrian menanti. Belum lagi para Hulk yang sudah berubah siap menghadangnya.

"Enggak sekarang, Yan," ujar April saat tawanya berhenti.

Rian mengangguk mengerti. Mereka harus mencari waktu yang tepat untuk memberitahukan masalah ini.

"Gimana sama Erin?" 

Tersenyum mendengar pertanyaan April. Mengerti akan kekhawatiran gadis itu. Tapi justru Erinlah yang membuat nya berani melamar April. Adiknya itu berkata akan mencoba untuk menerima April. Itu sudah lebih dari cukup untuknya. Mereka berdua berselisih selama bertahun-tahun, jadi wajar jika adiknya sulit menerima April. Tapi, sekarang itu bukan masalah lagi.

"Dia mau menerima lo."

April tersenyum dan mengangguk. Meski, senyum itu tidak sampai kematanya. Erin tidak akan semudah itu menerimanya. Karena kalau semudah itu, mereka tidak akan terlibat permusuhan selama bertahun-tahun. Entah apa yang direncanakan Erin, tapi apapun itu ia harus waspada. Satu hal yang bisa membuatnya tenang, Erin tidak akan mencelakai kakaknya untuk mencelakainya kan?

Dering handphone membuat semua pemikiran April terhenti. Diraihnya benda persegi panjang itu dimeja. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, jarinya menggeser tombol hijau.

"Nona, apa kamu sudah selesai? Tuan meminta kita untuk kembali."

"Ya, aku turun sebentar lagi."

Begitu sambungan terputus, April meraih tas kecil yang tadi dibawanya. Memasukan kotak cincin itu kedalam, lalu berdiri.

"Gue harus pulang," ucap April dan tanpa menunggu jawaban Rian, ia melenggang pergi. Namun ketika akan mencapai lift, suara Rian memanggilnya. Membuatnya menoleh dan menunggu Rian yang berlari kearahnya.

"Akhir tahun ini perusahaan akan sibuk, jadi yah ..."

"Kita enggak jadi liburan?"

Rian mengangguk dengan penuh penyesalan. Liburan yang ia janjikan untuk April tidak bisa dipenuhi diakhir tahun ini. Tapi perusahan benar-benar tidak bisa ditinggalkan disituasi seperti ini.

Mendengus sebelum berucap April lakukan. Yah, dirinya harus bisa mengerti jika Rian bukan pengangguran yang akan bermalas-malasan. 

"Fine, gue enggak akan ganggu lo. Tapi sebisa mungkin, lo kasih kabar."

"Ya. Dan untuk liburannya, gue akan ganti lain waktu."

Denting lift membuat atensi April teralih. Ia segera memasuki lift. Tersenyum seraya melambaikan tangan sebelum pintu lift tertutup dan membawanya kelantai dasar. Tempat dimana Andra sudah menunggunya.

Sepanjang perjalanan April terus tersenyum seraya menatap keluar jendela. Menyebabkan keheranan bagi Andra yang sejak tadi membagi fokus antara jalan dengan nonanya. Khawatir jika sesuatu terjadi kepada April. Tapi hingga mereka tiba dirumah, gadis itu tidak bicara apapun. Senyum yang tersungging diwajahnya tidak surut sedikitpun, pun dengan binar dimatanya. Ia bahkan membalas sapaan para pegawai yang berpapasan. Membuat mereka merasa aneh, juga turut bahagia karena nonanya tampak begitu senang. Bahkan Devina yang mendapati kelakuan tak biasa dari puterinya merasa heran. Hingga menghadang Andra yang akan pergi entah kemana.

"Saya tidak tahu Nyonya, nona begitu sejak dimobil," jawab Andra saat Devina bertanya tentang April.

Devina mengangguk dan mempersilakan Andra untuk melanjutkan kegiatannya. Matanya memandang kearah tangga yang tadi dilalui April untuk menuju ke kamar. Apapun yang terjadi pastilah hal yang baik, mengingat bagaimana wajah berseri puterinya. Jadi, ia tidak perlu khawatir bukan.

Malamnya setelah makan malam, Pras mendatangi April dilamarnya. Tidak menemukan April disana, ia menuju ke pintu balkon yang terbuka. Desas-desus tentang sikap adiknya yang hari ini begitu ceria menyebar luas dirumahnya. Banyak pegawai yang membicarakan hal ini membuatnya penasaran, apa yang sebenarnya menjadi penyebab dari perubahan sikap adiknya. Bukannya Pras tak senang jika April bahagia, hanya saja melihat gadis itu terus tersenyum saat makan malam, membuatnya bergidik juga. Khawatir ada sesuatu yang tidak beres dengan adik perempuan juga satu-satunya itu.

Sekarang mendapati April duduk dikursi balkon sembari tersenyum. Membuat Pras mulai menanyakan dimana kewarasannya. Haruskah besok, ia membawa April keruang kesehatan untuk diperiksa. Siapa tahu ada saraf otaknya yang putus. Mendudukkan diri di kursi yang kosong, Pras menatap April dari samping. Yang meski sudah menyadari kehadirannya tampak tak peduli.

"Lo enggak gila kan?"

Memutar mata, April kemudian mendelik tajam. Apa abangnya yang gila itu baru saja mengejeknya gila. Hah, yang benar saja. Tidakkah Pras melihat kalau suasana hatinya sedang baik? Atau lelaki yang lebih tua darinya itu memang sengaja ingin merusaknya.

"Gue baru tahu kalau orang gila, bisa ngatain orang lain gila juga."

"LO ..." Pras menurunkan telunjuknya begitu April membelalakkan mata. Mendengus kasar, karena jawaban April tidak memenuhi rasa penasarannya. Gadis itu malah balas mengejeknya.

"Serius deh, lo kenapa? Seisi rumah heboh karena kelakuan lo?"

"Lah emang gue kenapa?" April mengangkat bahunya acuh. Tidak merasa ada yang salah dengan dirinya. Kalaupun seisi rumah heboh, kenapa juga Pras bertanya padanya. Seharusnya Pras bertanya kepada penghuni rumah kan?

"Lo mau gue tanya Andra?"

Mendengar ultimatum dari Pras, April menggigit bibirnya. Sebenarnya dari awal April tahu maksud ucapan Pras, tapi tidak mungkin kan kalau ia menceritakan semuanya. Tapi membiarkan Pras bertanya kepada Andra bukan hal yang bijak. Andra mungkin tidak mengetahui apa yang terjadi secara detail, tapi mengingat tadi ia meminta bagaimana lelaki itu untuk membantu Rian. Pras dengan segala intuisinya pasti bisa menebak akhirnya.

Maka ketika Pras berdiri karena tidak mendapat respon, April menahan tangan Pras. Meminta agar lelaki itu tidak pergi. Sementara ia masuk kekamar dan keluar dengan menyembunyikan sesuatu dibalik tubuhnya.

Rasa penasaran sudah memenuhi Pras. Maka ketika adiknya itu mengangsurkan tangan yang entah memegang apa, ia segera menyambarnya. Sebuah kotak berwarna merah muda ada ditangannya. Matanya melirik bergantian kotak itu dengan April. Dan ketika kotak itu terbuka, napasnya tertahan. April tertunduk tidak berani melihatnya.

Apa-apaan ini, isi kotak itu cincin. Terang saja, Pras akan bersikap biasa jika ini juga hanya cincin biasa. Tapi melihat bagaimana sikap April yang berubah gugup dan tak berani menatapnya, membuatnya sampai disatu kesimpulan. Kesimpulan yang tidak ingin ia bayangkan tapi seolah berteriak dikedua telinganya.

Sebelah tangannya yang bebas meraih lengan April, mencengkeramnya. Memaksa gadis itu untuk menatapnya. Kemudian pertanyaan yang sebenarnya sulit ia ucapkan, keluar juga meski tersendat.

"Rian, di-dia ngelamar lo?"

Anggukan pelan dari April seharusnya sudah bisa diprediksi. Tapi tetap saja, melihatnya langsung membuat Pras benar-benar kehilangan napasnya untuk sesaat. Dan Pras tidak perlu bertanya lagi akan jawaban April, bukan? Semuanya sudah jelas.

Menarik April ke kamarnya lalu mengunci pintu balkon. Pras juga mengunci pintu kamar April dan pintu yang menghubungkan kamar April dengan kamarnya serta kamar Leo. Memastikan tidak ada siapapun yang akan mendengar pembicaraan mereka. Setelah itu ia menyandarkan dirinya ditembok, menghadap April yang duduk ditepi ranjang.

"Gimana kalau Rian tahu semuanya?"

"Gue enggak biarin Rian tahu."

Jawaban pasti yang terdengar tanpa keraguan itu justru membuat Pras mengerang frustasi. Kini ia yakin kalau April benar-benar gila.

"Lo enggak bisa melakukan itu Pril." Pras menjaga suaranya agar tidak berteriak kepada April. Kamar ini memang kedap suara, tapi berteriak kepada April tidak akan menyelesaikan pembicaraan mereka.

"Gak bisa kalau sendiri bang. Gue butuh bantuan lo." April berucap sungguh, matanya menatap penuh permohonan kepada Pras.

"Enggak Pril." Pras menjawab tegas.

"Bang-"

"ENGGAK PRIL, KALAUPUN GUE MAU, APA LO TEGA? LO TEGA MISAHIN RIAN DARI ANAKNYA!!"

"Kita cuma menutupinya, bang."

"SAMA AJA PRIL!" Pras tidak lagi bisa mengontrol diri. Nafasnya menderu tidak beraturan. "Sampai kapan lo akan menutupi fakta itu?"

Tidak mendapat jawaban dari April, Pras tertawa. "See, lo enggak bisa menjamin waktunya."

"Bang ... Tolong, cuma lo sama om Harun yang tahu tentang hal ini. Cuma kalian yang bisa bantu gue."

April menatap Pras penuh permohonan. Yah, dirinya tahu jika permintaannya ini gila. Tapi tidak ada alasan baginya untuk mundur. Dan ia perlu bantuan Pras.

Sementara Pras hanya bergeming ditempat. Selama ini adiknya itu tidak pernah meminta sesuatu seperti ini. Biasanya, ia bisa dengan mudah memenuhi permintaan April, tanpa gadis itu harus memohon seperti ini. Tapi, permintaan April hari ini sungguh kelewatan. Meski begitu membuat adiknya bahagia, adalah salah satu tujuan hidupnya. Maka, akhirnya Pras mengangguk.

"Tapi, gue minta lo berhenti kalau keadaannya enggak memungkinkan. Karena Pril ... Takdir terkadang enggak berpihak sama kita."

Pras melangkah mendekati April. Tubuhnya sedikit terhuyung ketika gadis itu memeluknya. Kebahagiaan April salah satu prioritas utamanya. Maka, jika dengan begini adiknya itu akan bahagia, Pras akan membantunya.

***
Jangan lupa vote dan coment ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top