18. Menghindar
Empat hari berlalu begitu saja sejak Rian tidak masuk dan mengajar di sekolah. Batang hidung lelaki itu sama sekali tidak terlihat oleh April selama itu. Pesan dan telepon yang dikirimkan tidak ada yang dibalas oleh Rian. Seolah belum cukup membuat April gelisah, pacarnya itu juga tidak pulang ke apartemen. Entah dimana lelaki itu tidur selama beberapa hari ini. Yang pasti April berharap jika Rian tidak ada di kediaman Manda.
"Kalian putus ya?"
Tidak kurang dari dua detik kepala April menoleh ke samping, matanya menghunus Reno yang langsung tersenyum tanpa dosa. "Hehe bercanda gue."
"Gak lucu," balas April ketus.
Reno meringis mendengar nada suara April, tetapi rupanya dia masih nekat untuk menggoda teman sebangkunya itu. "Jadi kalian beneran putus nih. Kalau iya, siapa tahu lo mau gitu jadian sama gue."
"Diam atau mulut lo gue sumpel pake sepatu," ancam April tak main-main. Tidakkah Reno tahu suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik? Untungnya lelaki itu berhenti menggoda April dan memilih melipir ke belakang, bergabung bersama beberapa siswa lain yang sedang melakukan permainan kartu. Teladan sekali murid-murid di sekolah ini, pintar dan bodohnya berjalan seimbang dan saling melengkapi.
"April!"
Merasa namanya disebut, April yang tadinya siap memejamkan mata meski tidak mengantuk, mengangkat kepala. Melihat si pemanggil dari arah pintu kelas yang kini sedang berdiri dan berpegangan pada pintu. Lewat tatapan, ia bertanya maksud Farhan memanggilnya tadi.
"Anak-anak ngajakin tanding tuh."
"Males ah, lagian bel udah bunyi dari tadi," sahut April malas.
"Guru lagi pada rapat, Pril."
"Nah iya tuh, mending lo ajak April pergi dah daripada dalau Mulu di kelas. Suntuk gue ngeliat dia begitu empat hari ini." Reno yang sedang fokus dengan kartu ditangannya bersuara. Mungkin dengan sedikit hiburan, April akan terlihat lebih baik. Setidaknya, muka lesu gadis itu bisa menghilang untuk sehari ini.
Karena tidak melihat pergerakan apa pun dari April, Farhan berinisiatif menghampiri gadis itu dan setengah menyeretnya dari tempat duduk. Pasrah, akhirnya April mengikuti langkah Farhan ke lapangan basket.
"Lo enggak mau ganti baju dulu?" tanya Farhan saat jarak mereka dengan lapangan tinggal beberapa meter lagi. Sebagai jawaban April hanya menggeleng. Rok tidak akan jadi masalah baginya ketika bermain basket. Yang jadi masalah, minatnya untuk bermain itu sekarang sedang tidak ada. Setelah mengundurkan diri sebagai kapten basket, terakhir dia bermain saat pemilihan kapten basket baru.
Memasuki lapangan basket in door itu, keduanya langsung disambut mereka yang sudah lebih dulu berada di sana. Pantas saja April tidak melihat Resta di kelas, rupanya dia ada di sini bersama yang lain. Mengeluarkan handphone dari saku seragam, April lalu meletakan benda itu di tribun sebelum melangkah masuk ke lapangan.
"Udahlah Pril, gak usah galau mulu," ucap Mita yang langsung melemparkan bola oranye ke arah April.
Dengan gerakan malas, April menangkap bola itu dan mulai bergabung dengan mereka. Awalnya gadis itu tampak enggan saat harus berlari saling merebut bola dengan yang lain. Tetapi lama-kelamaan kakinya mulai melangkah cepat mengimbangi permainan. Dalam sekejap Rian hilang dari otak dan pikirannya.
Permainan dua tim dengan tiga orang perempuan dan dua orang laki-laki di setiap itu mulai memanas. Mereka saling merebut bola dan menghadang untuk mencetak skor. Beradu skill dan taktik untuk saling mengungguli satu sama lain.
Memanfaatkan operan dari Hani, April membawa bola mendekati ring hanya dengan beberapa langkah. Nadia yang paling dekat dan tidak satu tim denga April segera menghadang. Berupaya keras untuk merebut bola dari mantan kapten yang sudah lama tidak aktif dalam permainan. Sayangnya itu bukan hal yang mudah. Keabsenan April dari ekstrakulikuler tidak lantas membuat kemampuannya berkurang.
Nadia dibuat kewalahan, beruntung Resta segera datang membantu. Merasa terpojokkan, April melemparkan bola yang dengan sigap langsung diterima Mita. Posisi yang menguntungkan membuat Mita melakukan tembakan dengan mudah. Skor kembali bertambah untuk tim April.
Selanjutnya arah bola berubah. April membalik badan dan langsung mengejar bersama yang lain. Di depan sana Farhan bisa merebut bola dengan mudah. Saling oper dan memghindari lawan terus berlanjut, bersamaan dengan bola yang masuk ke dalam ring secara bergantian. Hampir satu jam permainan itu baru berakhir. Kini mereka duduk disisi lapangan sambil meluruskan kaki. Mengatur napas dan membiarkan keringat mengalir kering dengan sendirinya.
"Nih."
April menerima sebotol air mineral yang disodorkan Farhan lalu meminumnya. Tadi lelaki itu memang pergi ke kantin untuk membelikan minuman bagi mereka. Merasa terlalu gerah, April melepaskan dua kancing seragamnya hingga tank top putihnya terlihat.
"Kalung lo mana, Pril?" tanya Nadia yang kebetulan duduk di sebelah kanan April.
"Eh iya, kok gak ada. Lo jual ya?" Di sebelah kirinya, Hani ikut-ikutan bertanya dengan setengah bercanda.
Secara impulsif April meraba area lehernya. Benar saja, tangannya tidak bisa merasakan apa pun selain bersentuhan dengan kulit lehernya langsung. Kemana kalungnya, pikirnya. Selama ini ia tidak pernah melepaskan kalung pemberian Rian, jadi kenapa bisa tidak ada.
"Hilang, Pril?" tebak Resta.
Sebagai jawaban April menggeleng ragu, tanda tidak tahu. Kalau benar hilang, dimana hilangnya?
"Sejak kapan, Pril?" tanya Farhan. "Mau kita cariin?"
"Enggak usah," jawab April cepat. "Kayaknya bukan di sekolah deh," lanjutnya kemudian.
April memang tidak tahu dimana kalungnya hilang. Tetapi sepertinya sekolah bukan tempat benda tersebut hilang. April Tidak mau membuang-buang waktu mengelilingi sekolah saat yakin jika kalungnya tidak jatuh di sini. Mungkin nanti sepulang sekolah ia akan menyuruh Andra membantunya mencari. Rumah dan green area jelas jadi tempat yang masuk akal untuk ditelusuri.
"Guru rapat ngapain sih?" tanya April tiba-tiba.
"Katanya sih tentang persiapan try out gitu," jelas Farhan.
Benar juga. Mereka sudah kelas dua belas. Hanya tinggal menghitung waktu untuk melaksanakan ujian.
"Ngomong-ngomong bentar lagi April ulang tahun ya. Gimana kalau kita bikin kejutan?" usul Hani dengan antusias.
Saat April berdecak, yang lain pun hanya menggelengkan kepala. Nadia menjadi orang pertama yang merespon. "Kejutan apaan kalau orangnya tau."
"Oh iya ya," balas Hani sambil menggaruk kepalanya. "Ya udah mending April pergi dulu buat jadi kejutannya."
"Mending lo aja deh yang pergi, Han," sambar Mita yang sudah gemas.
"Pokoknya gue enggak mau ada kejutan ya," putus April tanpa persetujuan. Kejutan saat ulang tahun bukan kombinasi yang bagus. Ingatan akan kejutan yang disiapkan untuk Rian saat ulang tahun lelaki itu cukup menimbulkan trauma.
"Yah kenapa," protes beberapa orang secara bersamaan. April tidka mau repot menjelaskan. Ia hanya menegaskan jika tidak ingin ada kejutan saat ulang tahunnya. Kalau ada yang nekat, mereka akan tahu akibatnya.
Selanjutnya mereka hanya duduk-duduk sambil mengobrol hingga bel tanda pulang berbunyi. Semuanya kembali ke kelas masing-masing untuk mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Hanya April seorang diri yang masih betah duduk di sana. Lima menit kemudian barulah April bangkit melangkah keluar dari lapangan. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti karena seseorang menghadangnya.
"Hai Kakak ipar," sapa Erin sembari tersenyum.
Berdecih, April membatin dalam hati. Merasa heran dengan kakak beradik yang sama menyebalkannya ini. Rian hilang tidak ada kabar, lalu Erin yang muncul dengan senyuman memuakkan.
Karena tidak mau meladeni Erin, April memilih menggeser tubuhnya ke samping. Sayangnya Erin bergerak cepat dan kembaling menghadangnya.
"Lo mau apa, sih?" tanya April kesal.
"Duh jangan galak-galak dong Kakak ipar, atau mungkin harus gue panggil mantan calon Kakak ipar ya upss." Erin langsung menutup mulutnya yang kemudian kembali tersenyum.
"Maksud lo apa?" desis April dengan tatapan tajamnya. Keinginan menyumpal Erin dengan benda apa pun dirasa ide yang bagus untuk saat ini.
Masih dengan senyumnya, Erin melangkah, memperpendek jaraknya dengan April. Kepalanya dibawa mendekat ke telinga April, berbisik disana, "Lo enggak penasaran Kak Rian tinggal dimana?"
Kembali Erin membawa kepalanya mundur. Merasa puas dengan ekspresi April, ia berbalik dan melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan April dengan kedua tangan terkepal disisi tubuh, sementara matanya mengikuti pergerakan punggung Erin yang perlahan menghilang oleh belokan gedung kelas.
Penasaran katanya, April lebih dari itu. Memikirkan Rian yang sengaja menghindar dan kini entah tinggal dimana nyaris membuat kepalanya pecah. Kete–dering handphone membuat perhatian April teralih. Tangannya merogoh saku seragam, mengeluarkan benda tersebut dari sana lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari Andra.
"Nona dimana?"
"Aku keluar sebentar lagi."
"Baiklah."
Saat panggilan terputus, April kembali melangkah ke kelas untuk mengambil tas sebelum ke depan tempat Andra menunggu.
"Ke apartemen Rian," ucap April begitu duduk di dalam mobil.
"Lagi?" tanya Andra. Kakinya menginjak pedal gas, melajukan mobil ke arah apartemen Rian yang selama tiga empat hari ini dikunjungi April.
Tidak menjawab pertanyaan Andra, April justru membahas keberadaan kalungnya. "Kamu lihat kalungku?"
Andra melirik April sebelum menjawab, "tidak beberapa hari ini."
"Tepatnya kapan kamu tidak melihatnya?"
Kening Andra tampak mengerut, berusaha mengingat kapan tepatnya tidak melihat kalung yang April kenakan.
"Entahlah," jawabnya kemudian. "Tapi saat Nona berenang dua hari yang lalu, aku tidak melihatnya. Ada apa?"
"Kalungnya hilang."
"Aku akan mencarinya saat pulang nanti."
Gumaman April merespon ucapan Andra. Tidak ada lagi pembicaraan di antar mereka sampai akhirnya tiba di apartemen Rian. Dingin, itulah yang April rasakan saat memasuki apartemen. Sama seperti beberapa hari sebelumnya karena pemiliknya belum juga kembali.
Kaki April melangkah menuju kamar yang pernah ditempatinya dulu. Kamar yang kini dijadikan Rian sebagai kamarnya. Tidak ada yang berubah dari kamar itu. Foto-fotonya masih terpajang menghiasi salah satu bagaian dinding. Bahkan seprainya masih rapi karena tidak ditiduri. Benar-benar tidak ada yang berubah dari sana, tetapi dengan ketidakhadiran pemiliknya, justru itulah yang berubah.
"Sejak kemarin sore sampai hari ini, selain Nona dan aku, tidak ada yang mendatangi apartemen ini," jelas Andra yang dari ambang pintu. Lelaki itu memegang tablet dan memeriksa CCTV untuk mencari tahu apakah Rian pulang atau tidak. "Nona."
April mengalihkan atensinya dari kasur Rian yang rapi, menoleh menatap Andra. "Kenapa?"
"Mau saya cari informasi tentang Tuan Rian?"
Tawaran yang bagus. Tetapi tidak. Rian sudah pernah bilang jika ia tidak suka dengan hal-hal tentang dirinya diselidiki. Lelaki itu pernah berkata untuk langsung bertanya saja. Masalahnya, sekarang jangankan bertanya, kebersamaannya saja April tidak tahu. Kalau mau Sebenarnya April bisa tahu dimana Rian sejak kemarin-kemarin.
"Tidak perlu, kamu cari informasi saja tentang alamat Gista."
Empat hari berlalu, Andra belum bisa memastikan alamat pasti dari daftar yang dibuat April. Gista mengunjungi kesepuluh tempat itu. Tapi setidaknya, Andra berhasil mengerucutkan jumlahnya menjadi tiga. Hanya tinggal menunggu waktu untuk tahu alamat pasti Gista saat ini.
"Kalau begitu, aku akan tunggu di mobil."
Sepeninggal pengawal pribadinya itu, April duduk di di kasur. Matanya kembali memindai ruangan yang sudah beberapa hari ini ia kunjungi. Rian pernah mengatakan akan bisa tidur nyenyak jika tidur di sini. Tetapi nyatanya lelaki itu bahkan tidak pulang kemari. Apakah ucapan Rian saat itu bohong, atau mungkin lelaki itu sudah menemukan alasan lain yang bisa membuatnya tidur nyenyak?
April akan wajar dengan kemarahan Rian setelah apa yang ia lakukan. Tetapi pilihan Rian untuk menghindar jelas mengganggunya. Terlebih setelah mendengar ucapan Erin di sekolah. Tidak, dia tidak akan menjadi mantan yang seperti disebutkan Erin tadi.
Mengeluarkan handphone, April mencoba untuk kembali menghubungi Rian. Rian tidak menjawabnya, lagi. Mendesah, April mendongakkan kepala untuk mencegah air mata keluar. Sebenarnya apa alasan Rian yang bahkan tidak mau untuk mengangkat panggilannya?
"Yan, lo dimana? Gue kangen."
Dengan tangan kiri April menghapus air mata yang tetap keluar. Saat itulah April merasakan kehadiran cincin yang pernah dibuangnya. Perlahan April menurunkan tangan lantas berlama-lama memandangi cincin itu. Haruskah semuanya berakhir seperti ini?
"Maaf, Yan. Gue tau gue salah, tapi tolong jangan kayak gini."
Sayangnya Rian tidak bisa mendengar permintaan April dan terus tidak ada kabar. Orang-orang di rumah sudah memberi saran agar melacak keberadaan Rian. Tetapi April menolaknya dengan tegas. Ia tidak mau membuat Rian semakin marah. Maka seperti sebelumnya, April kembali mengunjungi apartemen Rian sepulang sekolah.
Namun kali ini, April berjanji jika itu kedatangan terakhirnya jika Rian tidak juga muncul. April kembali mendudukkan dirinya di kasur dengan mata yang menyusuri kamar itu. Tidak bosan gadis itu melakukannya setiap datang.
Hari itu April berada lebih lama di sana. Memanfaatkan waktu untuk memindai ruangan yang pernah ditempatinya. Sebelum akhirnya berdiri dan menarik napas dalam. Perlahan tapi pasti, April melepaskan cincin yang bertengger di jari manisnya.
"Gue akan buat semuanya mudah, Yan." Diletakkannya cincin itu di nakas.
Terakhir April mengirimkan pesan suara kepada Rian sebelum meninggalkan kamar itu.
"Maaf, Yan. Cuma itu yang bisa gue bilang walaupun gue sama sekali enggak nyesel. Karena kalau gue kasih tahu lo dari awal, lo pasti akan begini dari dulu. Tapi sekarang lo bisa pulang, gue enggak akan ganggu kalian lagi."
***
Huh, akhirnya update lagi. Siapa yang masih nungguin cerita ini? Cusss yuk kalau udah dibaca langsung di vote sama komen. Baca juga ceritaku yang lainnya yuk. Samapi jumpa di part selanjutnya ya guys bye bye 👋👋😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top