15. Serangan

"Tapi gue akan coba untuk percaya sama lo, lagi," ucap April setelah beberapa saat berlalu dan Rian tidak merespons ucapannya. "Jadi lo temui dia sendiri."

Tatapan Rian yang sedari tadi menghindari April, kini fokus pada gadist itu. "Kenapa?"

Lebih dulu menyilangkan kaki, April lantas menjawab. "Lo bilang, gak mau gue melibatkan diri."

Helaan napas Rian terdengar berat. "Lo enggak akan nurut semudah itu, Pril."

Sebagai balasan April menggendikan bahu dengan acuh. "Gue cuma mau liat dan terima beres."

Menyadari kebingungan Rian, ia kembali melanjutkan. "Karena kalau dipikir-pikir lagi, itu masalah kalian. Dan yah, gue enggak seharusnya repot. Makanya gue biarin lo urus masalah itu sendiri. Gue enggak akan nyerang kalau dia diam."

"Apa Lo bisa pakai bahasa yang lebih halus dari menyerang, Pril?" tanya Rian. "Gue berasa kalian ini lagi perang senjata, dan gue jamin Manda akan kalah kalau iya."

"Pemenangnya masih belum ditentukan, Yan."

Tatapan Rian berubah ngeri. "Lo enggak akan macam-macam sama dia, kan?"

"Lo masih khawatir sama dia?"

"Bukan gitu," sanggah Rian cepat. Sungguh bukan itu yang dia khawatirkan. "Dia cuma perempuan biasa Pril. Maksud gue, kalau lo mau bertindak gak usah berlebihan."

Kepala April naik-turun, tampak berpikir. "Jadi apa yang gue lakuin di kolam itu berlebihan ya?"

"Ya, sedikit sih," jawab Rian sambil menempelkan ibu jari dan jari telunjuknya.

"Oke," ucap April tampak paham. "Tapi kalau seandainya, Bayu yang minta gue dari lo, lo mau ngapain dia?" tanyanya kemudian.

Ditanya seperti itu Rian kontan mengatupkan bibir. Enggan membalas senyum April yang sangat jelas sedang menggodanya. Sibuk memikirkan tindakan apa yang akan ia ambil. Jika April yang perempuan saja menendang Manda ke kolam renang. Maka dirinya bisa melakukan hal yang lebih dari itu kalau Bayu– yang notabenenya mantan April– meminta gadis itu darinya. Mungkin inilah alasan jika hendak bicara harus dipikirkan dulu. Efek ke depannya akan sangat berpengaruh.

"Tindakan lo enggak berlebihan sama sekali," ucap Rian kemudian dengan lantang.

Di belakang April, Andra yang menemani Nonanya itu berdehem untuk meredam tawa. Lain dengan April yang tertawa keras. Padahal baru saja Rian mengatakan tindakannya berlebihan, walaupun sedikit. Tapi ketika disuruh membayangkan sendiri, Rian dengan cepat mengubah jawaban.

"Oh ya? Tapi bukan–"

"Pril ..."

"Oke, oke." Pada akhirnya April berhenti menggoda Rian. Wajah lelaki itu saat merengek benar-benar lucu. "Tapi gue serius, Yan. Gue gak akan nyerang kalau dia diam."

"Setelah kejadian di kolam, gue yakin Manda enggak berani bahkan untuk sekedar deket-deket sama lo. Lagian dia mau nyerang lo gimana coba? Berantem atau pegang senjata aja enggak bisa dia," ucap Rian tak habis pikir.

"Siapa yang tahu," ucap April dengan senyuman penuh arti. Namun Rian yang melihatnya, sama sekali tidak bisa mengartikan senyum itu. Lelaki itu pamit pulang tak lama kemudian. Meninggalkan April yang masih betah duduk sambil menyilangkan kaki. Tidak memedulikan Andra yang saat ini sedang membereskan papan catur. Pandangannya tampak menerawang, pertanyaan Rian tadi tergiang di dalam kepalanya.

"Dia punya hal yang lebih kuat dari senjata," gumam April seolah menjawab pertanyaan Rian yang sudah pergi.

"Jadi kamu benar-benar akan diam saja?" tanya Andra tiba-tiba.

Mengeryitkan kening, April balas menatap Andra. "Siapa yang bilang?"

"Bukannya kamu bilang tidak akan menyerang kal–"

"Ya," sela April cepat tanpa membiarkan Andra menyelesaikan ucapannya. "Masalahnya, dia sama sekali tidak peduli dengan peringatanku. Dan permintaan pertemuannya dengan Rian merupakan serangan pertama."

"Jadi kamu akan membiarkan mereka bertemu?"

April berdecak sebelum bangkit dari posisinya. Kakinya melangkah meninggalkan green area diikuti Andra. Sampai di depan pintu keluar, April berbalik menghadap Andra. Jari telunjuknya mengetuk di dagu beberapa kali, tampak berpikir keras.

"Baiknya, aku blokir serangannya, atau aku balas?"

Mendapati senyum mengerikan di wajah April, rasanya Andra tidak perlu menjawab. Namun karena nantinya dia juga akan terlibat, ada baiknya menanyakan apa yang ingin April lakukan demi menghindari kekeliruan. "Jadi apa yang akan Nona lakukan untuk melakukan keduanya?"

Senyum kembali tersungging di bibir April, Andra sudah paham rupanya. "Masih aku pikirkan. Cari tahu kapan pertemuan mereka."

Usai memberikan instruksi itu, April kembali membalikkan badannya. Melakukan serangkaian pemeriksaan keamanan untuk bisa keluar dari green area. Lalu menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Namun niatnya tidak langsung terealisasi saat menemukan Leo melangkah menuruni tangga. Penampilan sepupunya itu tampak rapih untuk berada di rumah. Kunci mobil yang berada di tangan kirinya, cukup menjelaskan jika lelaki itu akan keluar.

"Hubungan lo langgeng juga ya sama Gista?"

Mata Leo terpejam karena April mulai lagi. Entah mengapa April masih tidak menyukai Gista. Padahal walaupun Gista teman Erin, dia tidak pernah memusuhi April. Selama mereka berpacaran dan tahu jika April sepupunya, Gista juga tidak berkomentar banyak. Yang ia lihat, Gista juga tidak berbuat kesalahan terhadap April. Jadi sebenarnya apa yang membuat April sampai seperti ini?

"Apa salah Gista sih sampe lo segitu gak sukanya sama dia?"

"Dia belum punya salah sih," jawab April dengan ringan.

Sontak saja Leo kesal dibuatnya. "Resta yang udah bohongin lo selama bertahun-tahun aja bisa lo maafin. Kenapa Gista enggak?"

"Justru itu Le, gue maafin Resta karena dia punya salah sama gue. Tapi Gista?" April menggelengkan kepala beberapa kali. "Gue enggak bisa maafin dia karena dia belum buat salah."

"Gue gak ngerti tujuan lo apa, tapi tolong jangan ganggu Gista kayak lo ganggu Erin."

"Ya ya ya, terserah."

April kembali melanjutkan langkah menuju kamarnya. Sampai di anak tangga teratas ia tertegun. Tak lama kemudian tubuhnya berbalik dan menatap ke bawah. Tepatnya ke anak tangga terbawah tempat Leo tadi berdiri. Sebab kini, sepupunya itu sudah menghilang entah kemana. Memikirkan kemungkinan kemana Leo pergi, menimbulkan gertakan pelan dari giginya.

"Kayaknya dia udah mulai buat salah," desisnya tajam. Urusan Manda belum terkondisikan, kini Gista juga sudah mulai bergerak. Huh! Kakak beradik itu benar-benar menyusahkan.

***

Sudah sepuluh menit sejak Rian tiba di kafe yang dipilih Manda. Duduk ditemani segelas minuman yang tadi dipesannya, Rian tengah menunggu kedatangan Manda. Ingin segera menyelesaikan apa pun pembicaraan di antara mereka. Dan setelah pertemuan ini usai, ia akan segera memberitahukannya kepada April. Dia tidak mau April harus menduga-duga apa yang mereka bicarakan. Tepatnya, tidak ingin kehilangan kepercayaan gadis itu lagi.

Namun hingga seperempat jam kemudian, orang yang ditunggunya tak kunjung menampakkan diri. Cukup jengah dan bosan karena sedari tadi otaknya terus menyusun kata perihal permintaan Manda kepada April. Tidakkah perempuan itu keterlaluan? Memintanya seolah ia ini barang yang bisa dipindahkan. Padahal dulu perempuan itu yang meninggalkannya. Dan kalau mengingat dulu dirinya yang mencari dan menunggu, rasanya waktunya terbuang percuma.

Merasa sudah terlalu lama menunggu, Rian memutuskan untuk menghubungi Manda. Dalam dua kali percobaan panggilannya tak juga dijawab. Maka Rian tidak lagi menghubungi Manda. Ia menyerah dengan mudah, toh Manda bukan lagi prioritasnya seperti dulu. Dia akan bangkit ketika sebuah panggilan masuk ke handphone-nya. Manda meneleponnya balik.

"Halo," ucap Rian begitu handphone menempel di telinga. Namun selama beberapa saat tidak ada jawaban dari Manda.

"Kamu dimana?" kembali Rian bersuara. Dan kembali tidak ada sahutan.

"Manda," panggil Rian setengah menggeram. Manda harus tahu jika dia tidak sesabar dulu ketika menghadapinya. "Kamu dimana?"

"Maaf."

"Maaf?" ulang Rian seakan tidak percaya dengan pendengarannya. Salahkan suara Manda yang kelewat pelan. Rian menunggu Manda kembali bersuara sampai kemudian, terdengar deheman dari perempuan itu.

"Ma-maaf, a-aku enggak bisa ketemu sama kamu."

Dengusan Rian terdengar kasar sebelum berujar. "Kenapa? Kamu yang maksa untuk ketemu, dan sekarang kamu enggak bisa."

"Maaf, Yan."

"Seandainya masalah kita cuma selesai dengan maaf, aku enggak akan repot-repot untuk ketemu sama kamu."

"Yan, hari ini aku–"

"Kalau hari ini kamu enggak datang, maka jangan harap akan ada pertemuan selanjutnya," sela Rian dengan tegas. "Saat ini, ada perempuan yang hatinya harus aku jaga. Perempuan yang memberikan kepercayaannya untuk aku ketemu sama kamu. Dan aku enggak mau, kalau harus memanfaatkan kepercayaannya lebih jauh hanya untuk kamu."

Tanpa membiarkan Manda membalas satu kata pun, panggilan diputuskan sepihak oleh Rian. Tidak akan ada pertemuan lain kali. Manda tidak tidak bisa memenuhi janjinya, seperti dulu. Rian pun segera memanggil pelayan, membayar pesanan lalu pergi meninggalkan kafe. Tanpa tahu jika Manda sedang memegang handphone sambil menahan menangis.

Mata perempuan itu basah, memandang alasan yang membuatnya tidak bisa menemui Rian. Perempuan yang tadi dibicarakan Rian ada di sini, di apartemennya. Mendengarkan apa yang baru saja dia dan Rian bicarakan. April duduk pongah dan tersenyum puas di atas sofa tunggal.

"Bukannya Rian itu romantis?" tanya April tanpa benar-benar butuh jawaban. Matanya melihat Manda, lebih tepatnya belakang Manda. "Kamu bisa lepaskan dia, Andra."

Andra tentu saja langsung menuruti perintah April. Ia menarik pisau yang sedari tadi singgah di leher mulus Manda. Jika saja tadi Manda memutuskan berteriak, atau tidak menuruti perintah April, bisa dipastikan pisau itu tak hanya sekedar menggores. Kemungkinan besar pisau itu akan memotong leher Manda tanpa perempuan itu sempat berteriak.

Begitu benda tajam berkilat itu di enyahkan, Manda beringsut mundur. Menatap tidak percaya kepada dua orang yang baru saja bermain-main dengan nyawanya dan nyawa putrinya. Ya, saat ini putrinya tertidur di sofa panjang tidak jauh dari April. Namun putrinya bukan tertidur karena rasa kantuk, melainkan karena obat bius yang Andra suntikan.

"Kalian keterlaluan!" serunya setengah berteriak. Lebih tidak menyangka, jika perempuan yang begitu dipuja oleh Rian tadi begitu mengerikan. Sejak kejadian di kolam, ia tahu April bukan gadis biasa. Tetapi ia tidak tahu jika April begitu kejam. Bagaimana bisa remaja perempuan itu bermain-main dengan nyawa.

"Ssstt, nanti dia bangun," desis April sambil membawa jari telunjuknya ke depan bibir. Tubuhnya bangkit dari sofa lalu melangkah pasti mendekati anak perempuan yang kini tertidur pulas.

"Mau apa kamu! Aku sudah menuruti keinginan kamu, jadi tinggalkan kami," ucap Manda penuh permohonan.

"Hari ini iya, tapi besok?" bahu April terangkat ringan. "Enggak ada yang jamin lo bakal tetap nurut."

"Jangan sakiti dia, tolong," ucap Manda putus asa. Tidak masalah kalau dirinya terluka, asal jangan Riana–putrinya.

Tidak merespons Manda, April berjongkok di depan Riana. Cih, Manda memberikan nama Rian dan tambahan inisial namanya, terdengar menggelikan. Tangannya lantas bergerak pelan untuk mengelus rambut Riana. Anak malang ini tidak bersalah. Namun mengingat siapa ayah dan ibunya, memaksa April untuk mengorbankanya.

Puas memandangi bocah perempuan itu, April bangkit. Berjalan mendekati Manda yang semakin menempelkan punggung pada dinding. Seandainya bisa, sudah sejak tadi dia menembus dinding ini.

"Ini peringatan terakhir, jangan sampai Rian tahu tentang anak itu."

"Tapi Rian berhak tahu tentang Riana, begitu pula sebaliknya."

Sebuah kesalahan karena Manda mengatakan kebenaran itu. Tidak kurang dari dua detik, telapak tangan April menggantikan posisi pisau yang tadi di pegang Andra. Menimbulkan kesiap kaget dari Manda. Kalau mau, dengan sekali gerakan, jemari rampingnya bisa meremukan leher Manda. Sayang, April belum menginginkan kematian perempuan itu.

"Tetap diam, atau lo enggak akan pernah punya kesempatan untuk merawat, apa lagi membesarkannya," desis April tepat di depan wajah Manda.

Selepas memberikan ancaman, April melepaskan cengkeramannya pada leher Manda. Ia berbalik lalu melenggang menuju pintu. Kemudian Andra dengan setia mengikuti. Mereka meninggalkan Manda yang tampak begitu ketakutan. Tiba di basement, dengan sigap Andra membukakan pintu mobil, lantas menutupnya begitu April sudah duduk. Ia segera menyusul April masuk ke dalam mobil.

"Tapi Nona, sampai kapan kamu mau menyembunyikan fakta ini dari Rian?" tanya Andra begitu mobil yang dikemudikannya bergabung dengan mobil lain di jalanan.

Tak langsung menjawab, April lebih dulu melirik Andra. Selain fakta bahwa sikap Andra tidak terlalu kaku, keingintahuan lelaki itu benar-benar menyebalkan.

"Sampai waktunya tepat."

***

Hayo siapa yang seneng waktu dapet notif? Kalau lagi waras ya gini, bisa update paling enggak seminggu sekali ok. Tapi, kok vote sama komennya mana ya? Nanti aku ngambek kalau kalian lupa loh. Eh, enggak becanda deh ...

Okelah semoga suka sama part ini. Dan masih ada misteri-misteri lain dari cerita ini. Jadi tunggu kejutannya. Bye bye 👋👋😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top