11. Lamaran resmi

April memandang malas kedua lelaki yang menyerangnya semalam. Wajah keduanya sudah berbeda sejak yang terakhir ia ingat. Kedua tangan dan kakinya diikat. Entah apa yang telah Andra lakukan pada mereka, ia tak peduli. Mengganggunya, maka mereka pantas mendapatkan hal itu. Tapi sial karena saat kondisi mereka sudah sekarat pun, mulut mereka tetap terkunci rapat. Sesekali terbuka hanya untuk meringis dan bernapas.

"Kalian tidak akan bicara kan? Jadi tidak perlu menunggu lebih lama, mereka hanya akan menghabiskan oksigen disini."

Perintah April jelas, jadi Andra tidak perlu menunggu lebih lama untuk menarik pelatuknya. Melesatkan dua peluru untuk mengakhiri hidup dua lelaki yang berani mengganggu nonanya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan mereka, apalagi sekedar untuk menghabisinya. Itu adalah hal yang paling diinginkan setiap orang dirumah ini. Dan ia merasa tersanjung karena diberi kesempatan untuk melakukan ini, meski ia khawatir akan jadi seperti mereka mengingat kelalaiannya.

Begitu kedua lelaki itu tumbang, April menghirup udara dengan dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Seolah menikmati oksigen yang tidak lagi dihirup oleh mereka. Kemudian ia mengajak Andra keluar dan memerintahkan orang lain untuk mengurus mayat mereka. 

Masih di green area, langkah keduanya terhenti tatkala Adrian menghadang. Ia menatap April kemudian beralih dengan Andra. "Kamu bisa pergi Pril, Papa ada urusan sama pengawal kamu ini."

Ayolah, April bukan gadis bodoh yang tak tahu maksud ucapan dari papanya ini. Tapi ia tidak akan membiarkan Andra menanggung akibat karena kecerobohannya. Jadi ia tak mungkin meninggalkan Andra disini.

"Aku juga punya urusan sama dia, jadi Papa harus antri. Jalan!"

Baru dua langkah, Adrian memanggil April membuat gadis itu terpaksa berhenti. April tahu hal ini tidak akan berjalan mudah.

"Papa boleh menghukumnya jika Andra ada disana dan tidak bisa melindungiku. Tapi aku yang memintanya pulang, dan aku terluka karena kebodohanku tidak bisa menangani kedua orang itu. Masalah selesai."

Adrian menggertakan gigi tapi tetap membiarkan keduanya melenggang pergi. Terlebih lagi jika ucapan April memang benar. Kalau April sendiri tidak melepaskan Andra maka dia juga tidak bisa menghukum lelaki itu. Meski sebenarnya tangannya sudah gatal dan butuh pelampiasan. Baginya saat ini Andra adalah pelampiasan yang paling tepat, berhubung Rian sudah pulang. Yah, pacar dari puterinya itu juga bersalah apapun alasannya. Tapi jika Andra saja dilindungi, apalagi Rian.

Tidak lagi ditahan, April berjalan cepat meninggalkan green area. Khawatir jika Adrian akan berubah pikiran dan menggunakan berbagai alasan hanya untuk melampiaskan rasa marahnya. Dalam hati juga bersyukur karena Rian mendengar nasihatnya untuk pulang. Karena jika tidak, dia tidak akan bisa melindungi lelaki itu.

"Seharusnya nona membiarkan saya dihukum."

April menghempaskan tubuhnya disofa begitu mereka tiba dirumah sebelum akhirnya menatap Andra yang berdiri didepannya. Keningnya mengkerut dalam seolah sedang berpikir keras sebelum mendengus malas.

"Sungguh Andra ... Jika kamu ada disana dan aku masih terluka, maka tidak perlu orang lain untuk menghukumu."

April serius dengan ucapannya. Dia tidak akan meminta orang lain, bahkan Adrian sekalipun untuk menghukum pengawalnya ini jika dirinya terluka karena ketidakmampuan Andra menjaganya. Tapi apa yang terjadi padanya semalam, tidak termasuk dalam jangkauan Andra untuk melindunginya. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Untungnya Andra mengerti dan segera pergi untuk kembali menyelidiki dalang dibalik penyerangan semalam.

Sepeninggal Andra, April merenung memikirkan beberapa kejadian yang terjadi dalam jangka waktu dua minggu ini. Hubungannya dengan Rian selalu terganggu belakangan, atau memang sebenarnya dari awal hubungan mereka terlalu memaksakan. Belum lagi bonus yang diterimanya semalam, membuatnya tidak akan bisa pergi berlibur. Selain karena waktu liburan yang akan segera berakhir, juga karena tujuan liburannya kali ini adalah pantai Gulpiyuri di Llanes, sebuah kota kecil di bagian Utara Spanyol. 

Rencanya ia akan mengajak Rian kesana, sebuah pantai yang unik karena tidak memiliki laut. April bahkan sudah menyiapkan bikini untuk ia pakai disana. Tapi dengan kondisi tubuhnya yang penuh luka, jelas tak akan memungkinkan. Tubuhnya tidak akan kelihatan cantik dengan semua luka-luka ini. 

Rencananya harus ditunda, tapi paling tidak April harus tetap berlibur. Kemanapun tempatnya. Dirinya butuh hiburan atas semua yang terjadi belakangan. Tanpa mau ada satu orangpun yang mengganggu. Jadi esoknya sesudah sarapan dan sedikit berdebat, meski kalian tahu sedikit disini tidak sesederhana itu. April diijinkan untuk pergi sendiri mengendarai mobil miliknya.

"Kau mau mendengarkan musik?" Suara simobil terdengar tak lama setelah April masuk.

"Berikan musik yang bagus."

Tepat dua detik setelah April menyetujui penawaran Iyan, sebuah musik terputar. Yah, hanya musik bukan lagu. Sebuah permainan musik piano yang terdengar menenangkan dipagi hari. Mengurangi sedikit rasa kesalnya karena terjebak macet. Dari awal ia tahu perjalanannya tidak akan mulus dikota bernama Jakarta ini. Tapi karena ini hari libur terakhir, maka April cukup menikmatinya alih-alih mengeluh.

Sekitar satu jam mengemudi tanpa tempat tujuan yang jelas, April menghentikan mobilnya disebuah taman. Memutuskan untuk duduk disalah satu kursi taman sambil memperhatikan keadaan sekitar. Beberapa orang terlihat sedang berlari pagi disekitar taman, ada juga yang datang hanya untuk bersantai dan menikmati pagi disini. Yang jelas tidak ada yang datang ketaman dengan tujuan liburan sepertinya. Sampai ada seseorang yang sepertinya pengangguran dan langsung duduk disebelahnya tanpa meminta persetujuan. Matanya hanya melirik sebentar untuk tahu kalau orang itu kemungkinan besar akan mengganggunya.

"Serius deh Pril, masa lo liburan ditaman?" Nah kan, perkiraannya tepat sasaran, lelaki ini memang berniat mengganggunya.

"Siapa yang ngutus lo kesini?" Mengabaikan pertanyaan yang penuh dengan sindiran, April justru balik bertanya kepada Farhan.

"Emangnya gue pengawal lo? Lo abis tawuran dimana?" Farhan mungkin bertanya dengan maksud mengejek, namun matanya menatap penuh khawatir ketika menyadari wajah April biru dibeberapa tempat. Belum lagi perban yang membalut lengan gadis itu menunjukan jika luka disana bukanlah luka lecet yang ringan.

"Ada insiden kemarin."

April menjawab singkat namun Farhan sangat mengerti arti insiden itu. Tidak perlu penjelasan panjang lebar karena April tidak akan mau melakukan hal merepotkan seperti itu. Jadi untuk beberapa saat keduanya hanya diam menikmati hangatnya sinar matahari yang menerpa. Sampai akhirnya Farhan bertanya mengenai kesiapan April untuk pertandingan duel untuk pemilihan kapten tim basket. Yang mana pelaksanaannya diundur karena untuk pertama kalinya April menggunakan kekuasaan Opanya sebagai pemilik sekolah. Dan pertandingan duel itu akan dilaksanakan pada hari sabtu diminggu pertama semester genap. Yang berarti tinggal enam hari lagi, tunggu kenapa cepat sekali. 

Terlalu sibuk memikirkan hubungannya dengan Rian, membuat April lupa dengan beberapa hal. Pertandingan duel itu contohnya. Dia ingat karena Farhan menanyakannya. Dalam kondisi normal jawabannya pasti siap. Tapi untuk sekarang mulutnya tidak bersuara dan kepalanya menggeleng ragu. Merasa tidak yakin mengingat apa yang menimpanya dua hari lalu.

Tidak mendapat jawaban yang pasti, Farhan kembali berucap, "Ada enam orang yang nyalonin diri tapi satu yang bikin gue penasaran, Kanin."

"Kenapa sama dia?"

"Dari namanya aja, gue baru tahu ada anak itu disekolah. Dia enggak pernah gabung ekskul basket atau apapun, tapi dia nyalonin diri jadi ketua. Menurut Lo wajar?"

"Selagi dia manusia yang bernapas, masih wajar kok."

"Pril ..."

Rengekan Farhan tak April pedulikan. Dia malah bangkit merenggangkan tubuh sebentar sebelum berlalu. Pura-pura tuli saat Farhan berteriak dan protes karena ditinggalkan. Toh lelaki itu pasti akan menyusulnya. Dugaannya kembali tepat sasaran, karena tak lama Farhan sudah berjalan disampingnya dan merangkul bahunya. Untung rangkulannya pelan karena jika kuat, tangan itu pasti sudah ditepis oleh April karena bahunya terluka.

Pintu mobil yang baru terbuka kembali ditutup oleh April. Dia menoleh kesamping tempat Farhan berdiri dengan posisi masih merangkulnya. Tanpa peduli tatapan heran yang lelaki itu tujukan padanya, bibirnya justru tersenyum manis. Merubah ekspresi Farhan saat itu juga yang langsung waspada. Tahu jika senyuman manis itu untuk tujuan pemanfaatan yang memaksa, yang sayangnya tidak akan pernah bisa ia tolak.

"Lo bawa motor kan, anterin gue ya?"

"Lah mobil lo?"

"Gue suruh pulang."

Farhan tidak mengerti ucapan April sampai gadis itu kemudian berbicara dengan si mobil. Setelah mengerti instruksi April mobil itu pergi meninggalkan mereka. 

"Wah, gue kira mobil begitu cuma ada di film."

"Mobil itu gak lebih baik dari mama yang suka ngomel, yuk."

Diamitnya lengan Farhan yang dengan terpaksa harus melangkah menuju motornya. Dihari menjelang siang mengendarai motor bukan hal tepat karena harus berpanas-panasan. Tapi jadi salah satu solusi untuk bisa menyelinap ditengah kemacetan seperti sekarang.

Mereka berkendara tak tentu arah. April hanya mengatakan ingin pergi tanpa tujuan yang jelas. Jadi Farhan hanya melajukan motornya secara tidak pasti di jalanan. Baru berhenti ketika gadis dibelakangnya mengeluh lapar. Setelah makan siang keduanya kembali melaju dijalan, tanpa banyak kata yang keluar. Seolah menikmati suasana berkeliling yang memang sudah menjadi tujuan utama April hari ini, liburannya. Dia hanya berharap guru bahasa Indonesia tidak akan memberikan tugas mengarang tentang pengalaman liburan, lalu berakhir dengan membacakannya didepan kelas. Ceritanya akan sangat-sangat membosankan untuk didengar. Juga hanya akan jadi bahan tertawaan dikelas, saat waktu dua minggu liburan hanya dipakainya untuk menikmati kemacetan kota Jakarta.

Motor yang sudah mengelilingi kemacetan itu berhenti dirumah April saat waktu menunjukan pukul delapan malam. Farhan mengantarkan April setelah mendapat persetujuan. Selain karena tubuhnya sudah terasa pegal, dia teringat belum mempersiapkan apapun untuk sekolah besok. Seperti sepatu, buku dan lain sebagainya yang tidak pernah ia sentuh selama dua minggu. Usai menolak tawaran untuk mampir, Farhan langsung melajukan motornya.

Pun dengan April yang langsung melangkahkan kaki kedalam rumah. Meski harus berpanas-panasan dan terjebak macet, setidaknya perasannya lebih baik. Apalagi tadi dia juga tidak memakai jaket-Ah! Teringat sesuatu, tangannya menyentuh pinggang yang ternyata masih dilingkari kemeja Farhan. Teringat kejadian saat akan menaiki motor besar lelaki itu yang langsung melepaskan kemeja panjangnya yang digulung sampai siku. Seperti biasa mulut lelaki itu protes pakaian April, terutama rok yang dikenakannya. Sebelum akhirnya membungkus pinggangnya dengan kemeja milik lelaki itu. Menyisakan Farhan dengan kaus putih tipis. Terkadang ia heran sendiri, mengapa banyak orang yang protes dengan cara berpakaiannya. Tidak keluarga, sahabat bahkan pacarnya. Senyum kecut terbit begitu saja ketika mengingat kata pacar. Masa bodoh! Sekarang perutnya lapar, jadi kakinya melangkah dengan pasti keruang makan. Tepat seperti dugaannya, semua orang sudah berada disana dan menunggunya. Kali ini tidak seperti saat pergi tadi pagi, dimana wajahnya mungkin sangat menyebalkan. April datang dengan senyuman, membuat mereka diam-diam menghela napas lega. Sebelum akhirnya menyantap makan malam ditemani atmosfer yang hangat.

***

Langkahnya ringan saat melewati koridor yang mulai ramai. Siulan dari adik kelas sama sekali tidak menghambat langkahnya, apalagi menoleh untuk meladeni mereka. Kadang kala merasa tidak percaya kenapa mereka terus melakukan hal merepotkan seperti itu, padahal selalu diabaikan. 

Tapi dari banyaknya siswa disekolah ini, juga luasnya sekolah ini, ada beberapa hal yang tidak ingin ditemuinya. Erin salah satunya yang sekarang justru berada tepat didepannya membuatnya mau tak mau, suka tidak suka harus berhenti kalau tidak mau menabrak adik dari pacarnya itu. Hah! Kenapa mereka berdua sama menyebalkannya. Padahal tempat ini luas, disisi kanan dan kirinya juga kosong. Jelas ada unsur kesengajaan Erin berhenti tepat didepannya, apalagi saat melihat senyum mengejek darinya.

"Minggir!" Hanya itu yang April katakan. Ia tidak mau membuat keributan dipagi hari dan dihari pertama sekolah. Ruangan BK jelas tidak ingin ia masuki dihari pertama setelah liburan. Tidak disaat pelajaran belum dimulai bahkan bel belum berbunyi. Lagi pula Erin yang menghalangi jalannya, jadi sudah seharusnya gadis itu yang menyingkir alih-alih dirinya yang memutar.

Mendapati ucapan dan ekspresi super datar dari April sama sekali tidak melunturkan senyum Erin. Kakinya bergeser satu langkah ke kanan, memberikan akses kepada calon mantan pacar kakaknya untuk lewat. Namun begitu April melangkah, ia berbisik pelan dan cukup untuk membuat ekspresi datar itu mengeras.

"Bukannya mereka serasi?"

Tidak mau meladeni ucapan Erin, April memilih melanjutkan langkah yang tertunda. Tapi entah apa yang terjadi dengan hari ini, setelah tadi adiknya kini kakaknya pun sengaja menghadangnya. Apa mereka berdua sepakat untuk merusak harinya. Karena jika iya, selamat! Mereka berhasil. Niatnya ingin mengusir Rian sama seperti Erin, tapi sadar sebuah kata tidak akan membuat pacar tampan menyebalkannya ini bergeser. Jadi dia diam, menunggu alasan apa yang akan diberikan lelaki itu karena telah menghadangnya seperti ini. Namun hingga beberapa saat, Rian tidak bicara atau melakukan apapun. Hanya menatapnya dengan dalam tanpa peduli keadaan sekitar. Awalnya ia merasa biasa saja, tapi lama-lama jengah juga apalagi mengingat ini area sekolah.

Yang tidak disangka oleh April adalah Rian yang kemudian tersenyum. Lalu ucapannya lebih tidak disangka lagi. "Kangen gue udah terobati."

Hampir saja April menunjukan ekspresi melongo yang akan tampak super bodoh jika saja tidak ada seseorang yang menabrak tubuhnya dari belakang. Ingin memaki tapi tertahan karena sadar dirinya memang berdiri ditengah jalan. Jelas ada orang lain yang harus disalahkan karena membuatnya tertahan disini.

"Lain kali hati-hati."

Bukan April yang bersuara, melainkan Rian. April hanya mengangguk saat siswa yang tidak sengaja menabraknya itu, mengucapkan maaf dan buru-buru pamit karena ada Rian disana. Sebenarnya itu juga yang ingin dilakukan oleh April sejak tadi, buru-buru pergi. Tapi ucapan Rian tadi masih belum bisa diterima akal sehatnya. Tadi bukan pertama kalinya Rian berkata manis, tapi barusan adalah perkataan paling receh yang pernah didengarnya.

"Lo kesambet." Akhirnya hanya itu yang mampu April katakan sebelum berlalu. Dari nadanya jelas ucapannya bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan.

Kelasnya sudah ramai ketika ia masuk dan duduk di bangku barunya. Yah mulai saat ini tempat duduknya tak lagi didepan dengan Resta yang sekarang duduk dengan Bayu. Melainkan dibarisan paling belakang bersama dengan Reno. Dirinya sudah tidak ada urusan dengan Bayu, jadi ia memberikan kesempatan kepada sepasang kekasih itu untuk duduk bersama. Bukankah dirinya terlalu baik.

"Muka lo kok kusut? Kurang liburan ya?"

Lihatlah teman sebangkunya yang baru ini. Dipagi hari setelah dua minggu tidak berjumpa, bukankah seharusnya Reno mengucapkan selamat pagi atau bertanya kabarnya.

"Kabar gue baik sebelumnya, bukan kurang, gue bahkan gak liburan."

"Lah, bukannya lo keliling Jakarta kemaren?" Reno bertanya dengan tampang mengejek setelah menunjukan postingan di Instagram milik Farhan. 

Ada fotonya yang sedang duduk diatas motor lelaki itu. Itu foto yang diambil Farhan saat mereka baru selesai makan siang. Di captionya tertulis dipaksa keliling Jakarta. April memang bukan orang yang suka terlibat dengan aplikasi media sosial, jadi wajar dia tidak tahu Farhan sudah menyebarkan liburannya kemarin. Padahal seharusnya itu menjadi rahasia mereka. 

"Gue terlalu miskin untuk keliling dunia." April membalas sarkas pertanyaan Reno sebelum mendaratkan pantat dikursinya.

Reno sebenarnya ingin kembali mengusili April, tapi bel berbunyi terpaksa menghentikan segala niatannya. Semua siswa langsung bersiap untuk upacara dihari pertama sekolah ini. Upacara dihari pertama setelah libur sekolah selalu lebih lama dibanding hari biasa. Pidato yang disampaikan pun jauh lebih panjang, beruntung matahari tidak terlalu terik jadi tidak ada acara siswi pingsan dadakan hanya untuk ngadem di UKS. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan, setiap hari pertama masuk sekolah, jam belajar belum dilaksanakan. Sehingga para siswa banyak yang menghabiskan waktu diluar kelas. Mereka yang ingin berkeringat berada di lapangan, bagi yang terlampau rajin sudah berkunjung ke perpustakaan. Ada juga yang jadi suporter dadakan dipinggir lapangan. Dan mereka yang lapar memilih kantin sebagai tujuan, seperti April dan teman-temannya.

Disaat yang lain bercerita tentang liburan mereka yang berbeda dan menarik tentu saja. April hanya menyeruput minumannya tanpa minat. Rahasia liburannya sudah tersebar luas dan itu karena orang yang duduk di depannya tanpa dosa. Ditambah lagi kehadiran Rian dimeja yang tidak jauh darinya. Mata lelaki itu loh selalu menatapnya tanpa kedip. Dari mana April tahu, karena sedari tadi ia pun terus membalas tatapannya.

"Kalian lagi ribut ya?"

Pertanyaan Nadia yang tiba-tiba itu membuat April tergagap. Tidak tahu harus menjawab apa ditambah lagi tatapan semua orang yang kini tertuju padanya. Menuntut penjelasan secara baik-baik darinya. Tentu mereka menyadari ada yang tidak beres antara keduanya mengingat aksi saling tatap mereka yang terpergok barusan.

"Bukan ribut, kita lagi perang." 

Begitu selesai dengan ucapannya, dan memastikan minumannya habis, April berdiri dan meninggalkan mereka dengan wajah bengong. Ayolah, mereka tahu April dan Rian bukan ribut biasa. Mungkin ungkapan "perang" yang digunakan April cocok untuk menggambarkan keadaan sikap keduanya saat ini. Apalagi mengingat Rian yang tingkat cemburunya di atas rata-rata itu hanya diam anteng ditempatnya saat April bersama dengan laki-laki. Meski mereka yakin dalam hati, Rian pasti sedang mengumpat, merutuk dan mengutuk sendiri. Tapi yang ingin mereka tahu itu alasan dibalik "peperangan" itu.

"Mereka pacaran gak sih, ribut mulu perasaan," ucap Mita entah kepada siapa.

"Ini baru dua minggu setelah mereka baikan, sekarang udah ribut lagi." Resta menimpali setelah menghitung jika April dan Rian baru berbaikan sehari sebelum pembagian rapot.

"Yah dan mereka ribut sejak liburan, gue enggak tahu tepatnya kapan," jelas Farhan yang selama seharian kemarin menemani April. Meski keduanya tidak banyak bicara kemarin, ia bisa tebak Rianlah penyebab April merana sendirian ditaman.

"Hubungan mereka emang se-aneh itu." Nadia menyahut.

"Kita harus siap-siap kalau gitu," ucap Hani tiba-tiba.

"Siap-siap ngapain?" Pertanyaan yang diucapkan Mita mewakili semua orang yang ada disana.

"Kan April sama Pak Rian mau perang," jawab Hani dengan tampang serius yang sangat ingin ditimpuk.

Seharusnya mereka sudah bisa menduga jawaban Hani tidak akan benar. Bodohnya mereka masih bertanya dan penasaran. Tolong katakan bagaimana seorang Hani bisa mengisi kertas ulangan dengan benar.

"Nyesel gue nanya." Mita berucap sebelum pergi.

"Gue lebih nyesel setelah denger jawabannya," timpal Nadia sebelum menyusul Mita.

Satu persatu orang mulai meninggalkan meja. Menyisakan Hani yang berpikir apa ada yang salah dengan ucapannya. Dan Farhan yang belum beranjak karena makanannya belum habis. Kalau bukan karena lapar, lelaki itu juga sudah angkat kaki. Ditinggal bersama Hani adalah keadaan yang tepat untuk belajar tentang sabar. Tapi Farhan sangat tidak membutuhkannya dihari yang cerah ini.

"Gue salah ngomong ya?" Hani bertanya sambil menggaruk kepalanya.

"Ya menurut lo aja?!"

Satu suapan terakhir, dan Farhan pun beranjak dengan mulut yang masih mengunyah. Bersama dengan Hani lebih lama lagi bisa membuatnya benar-benar jadi orang sabar se-sekolah. Sementara itu, Hani yang masih duduk mencebik kesal karena jawaban Farhan. Memang apa yang salah dari ucapannya. Bukankah mereka harus bersiap jika April dan Rian akan berperang. Seperti menyiapkan startegi dan tempat berlindung agar tidak menjadi korban, kan.

***

Seumur hidupnya, Rian tidak pernah segugup ini sebelumnya. Tidak saat ia menyatakan perasaannya kepada April beberapa bulan lalu. Yang kalau diingat-ingat saat itu hanya ada rasa marah dan cemburu, yang melingkupi Rian kalamemberitahu April perihal perasaannya dilapang basket. Yah, memang tidak romantis. 

Tapi bukan itu yang penting sekarang. Karena sedari tadi kedua tangannya yang berkeringat saling meremas padahal suhu diruangan ini tidaklah panas. AC jelas telah berperan penting membuat suhu ruangan tetap stabil meski diluar matahari masih bersinar. Tapi tatapan seorang Adrian seolah-olah bisa membakarnya. Salah satu orang yang paling berjasa menghadirkan April kedunia itu tampak tidak berkedip sejak tadi. Hanya memandang kearahnya yang secara kebetulan duduk didepannya. Padahal mereka baru duduk selama sepuluh menit, dan itupun Rian belum menyampaikan maksud kedatangannya. Jika Adrian tahu tujuannya datang kemari, wah! Sungguh dia sendiri pun tidak tahu apa yang akan terjadi.

Bahkan posisinya yang dihimpit kedua orang tuanya juga adiknya itu sama sekali tidak membuat perasaan gugup ini berkurang. Kehadiran Devina yang biasanya bisa membuat suaminya jinak itu, pun kini hanya bisa tersenyum prihatin kearahnya. Salahnya sebenarnya yang langsung datang tanpa persetujuan. Tapi kalau dia meminta ijin terlebih dahulu, pastilah Adrian tidak akan mengijinkannya. Keberadaan Pras sebagai sahabatnya pun tidak membantu sama sekali, tatapannya tak berbeda dari Adrian. Apalagi sosok Gio yang tampak menahan tawa karena melihat ekspresinya yang seperti ini. Hah! Apa mungkin rencananya bisa berjalan lancar.

"Kedatangan kami disini bermaksud untuk melamar puteri kalian April, untuk putera kami Rian."

Begitu Restu selesai dengan kalimatnya, suasana tak lebih baik, justru makin mencekam. Inilah tujuannya membawa kedua orang tuanya juga Erin kemari. Restu yang antusias, Melisa yang awalnya menolak karena sudah terlanjur menyukai Manda, dan Erin yang tidak berkomentar apapun. Meski mendapati reaksi berbeda dari ketiganya, Rian berhasil membawa orang terdekatnya untuk datang kemari melamar April. Bermodal tekad dan nekad yang jauh dari persiapan.

"Melamar gundulmu, April masih sekolah. Kalaupun April mau, saya enggak akan setuju."

"Lah kan yang saya lamar April, bukan Om. Lagian April mau kok saya lamar."

Mendapat pelototan dari Adrian, secara bersamaan juga mendapat injakan dari Restu dan cubitan dipinggang dari Melisa, membuat Rian segera menutup mulut. Sepasang orang tua ini tidak habis pikir anaknya bisa bertingkah seperti ini ketika sedang melamar. Yah, untuk pertama kalinya mereka tahu Rian punya sifat seperti ini. Terlebih Melisa yang baru sadar jika salah satu sifat Rasta yang menyebalkan turun kepada Rian. Bagaimana bisa ia melupakan jika buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.

Jika Adrian semakin geram mendengar ucapan Rian, maka berbeda dengan Devina. Sebisa mungkin ibu dua anak itu menahan tawanya. Sekarang makin terlihat kemiripan suami dan calon menantunya. Yah, dia tidak akan keberatan jika Rian yang akan menjadi suami April kelak. Menurutnya Rian sudah jauh di atas standar seorang menantu, terlepas dari beberapa hal yang mengganggu hubungannya dengan April.

"Begini Ad, kami melamar April bukan untuk dinikahi besok. Kami juga tidak akan setuju kalau begitu. Lewat lamaran ini, anak kami hanya ingin menunjukkan keseriusan terhadap April." Restu buru-buru menjelaskan sebelum Rian kembali bicara yang aneh-aneh. Bisa-bisa lamaran mereka ini ditolak betulan.

Adrian akan menanggapi ucapan Restu, namun matanya melebar sempurna kala orang yang menjadi objek pertemuan mereka datang dengan wajah bingung. Kepalanya langsung menoleh kesamping, tempat isterinya berada. Wanita yang paling ia cintai itu hanya tersenyum manis ketika dimintai penjelasan lewat tatapannya. Tadi Adrian meminta isterinya menghubungi Andra agar tidak langsung membawa April pulang. Tapi apa ini, mereka bahkan sudah ada dirumah. Hah! Bagaimana bisa ia lupa jika sang isteri salah satu orang yang mendukung Rian.

Sementara April diam ditempatnya berdiri, dengan wajah bingung menatap satu-persatu orang-orang yang ada diruang tamu. Tatapannya berakhir di mata Rian, menuntut penjelasan tentang apa yang terjadi. Menolak untuk menerima segala spekulasi yang melintas di otaknya. Meski kehadiran orang tua Rian dan adiknya, juga ekspresi Papa dan Abangnya agaknya sudah cukup untuk menjelaskan situasi. Tapi Rian yang ditatap hanya tersenyum tanpa dosa kemudian mengangguk, seolah menunjukan jika apapun yang ada dipikirannya benar.

"RIAN BRENGSEK!"

Usai mengumpati Rian dengan penuh perasaan, April berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Rian. Terlebih kondisinya yang mengenaskan karena seragam yang terkena tumpahan minuman akibat ulah adik kelasnya yang tidak hati-hati, ditambah rambutnya yang tidak karuan. Bagaimana bisa dia dilamar dengan kondisi yang lebih mirip gembel dan lagi mereka masih belum berdamai.

Sementara mereka yang ditinggalkan April, memasang ekspresi bingung tak terkecuali Rian. Dia tahu April tidak akan menerima lamarannya dengan mudah. Masih jelas di ingatannya, bagaimana April menonjok dan membuang cincin lamarannya tempo hari. Tapi tetap saja reaksi April barusan jauh dari perkiraannya. Mana ada perempuan yang dilamar malah mengumpati pacarnya.

Rian berdiri berniat untuk menyusul April, namun Devina melarangnya. Perempuan seusia Mamanya itu langsung beranjak menyusul April ke kamarnya. Entah apa yang dibicarakan Devina sehingga April kembali ketengah sumber pembicaraan. Duduk diapit oleh kedua orangtuanya tanpa banyak bicara. Meski begitu tatapan tajamnya tak pernah lepas dari Rian.

Dirasa keadaan kondusif, Restu mengulangi ucapannya untuk melamar April. Adrian yang sedari awal menolak pun, pada akhirnya menyerahkan keputusannya kepada puteri satu-satunya itu. Yang tanpa menunggu lama menyetujui lamaran Rian, membuat lelaki baru bertambah usia itu bingung dan senang disaat bersamaan.  April juga langsung mengeluarkan cincin pemberian Rian tempo hari yang memang sengaja dibawanya. Membiarkan Rian sekali lagi memakaikan cincin itu dijari manisnya.

Acara lamaran dadakan dan penuh drama itu akhirnya selesai. Rian meminta orang tua dan adiknya pulang terlebih dahulu sebab ada yang harus dibicarakan dengan April, juga Adrian. Maka sepeninggal orang tua dan adiknya, mereka duduk berhadapan.

"Kamu cari mati, hah?!" Ucapan dengan nada sarkas yang kental itu berasal dari Adrian. Sungguh jika bukan menghormati Restu sebagai temannya, Adrian sudah menghajar lelaki ini.

"Saya cari jodoh Om," jawab Rian pendek yang sudah jelas menyulut emosi Adrian. Beruntung Devina segera menenangkan suaminya.

"Mas, sebenarnya apa yang jadi permasalahan kamu? Kita sudah mengenal Rian sejak dia berteman dengan Pras. Dulu waktu pertama kali bertemu Rian, kamu langsung setuju Pras berteman dengannya. Kenapa? Karena kamu tahu Rian anak yang baik."

Ucapan sang isteri membuat Adrian terdiam. Mau tak mau, mengingat pertemuan pertamanya dengan remaja berumur 15 tahun saat dirinya datang ke sekolah Pras untuk mengambil rapot. Sebagai seorang ayah, sifat protektifnya tak hanya berlaku untuk April tapi juga terhadap Pras. Saat itu Adrian bisa menilai jika Rian bukan sekedar teman yang mendekat saat ada maunya. Rian juga satu-satunya teman yang pernah dibawa Pras kerumah. Dulu beberapa kali Rian datang kerumah ini sebagai teman anak lelakinya, sekarang Rian datang sebagai kekasih dari anak perempuannya. Terdengar lucu memang ketika dulu saat lelaki itu datang kerumah tak sekalipun mereka bertemu. Sekarang statusnya bukan sekedar teman Pras lagi.

"Bukannya selama ini kamu selalu khawatir siapa yang akan menjaga April disaat kamu tidak mampu? Jawaban dari kekhawatiran itu ada didepan kamu, dengan segala keseriusan yang sudah kamu uji selama beberapa bulan. Bertambah orang yang akan menjaga dan membahagiakannya Mas." 

"Maka bertambah pula orang yang bisa mengecewakannya." Adrian berucap membalas ucapan isterinya dengan mata yang memandang lurus kearah Rian. Setiap ayah termasuk dirinya, menginginkan kebahagiaan anak-anaknya. Tapi jauh dari itu, yang paling dia inginkan adalah menjauhkan anaknya dari kekecewaan juga kesakitan. Dan sejauh ini dia belum mampu melakukannya, lantas bagaimana bisa mempercayai orang lain untuk itu ketika dirinya sendiri pun tak mampu?

"Saya tidak bisa menjanjikan kebahagiaan selamanya untuk April ... Tapi membuatnya kecewa jelas bukan tujuan saya ketika melamarnya Om. Jadi ketika saya keliru, tolong tegur dan bimbing saya."

Tertegun, tak hanya Adrian, semua yang masih berada disana bisa melihat keseriusan dari Rian. Lelaki ini jelas tak berniat untuk bermain-main. Kata-katanya mampu membuat Adrian terenyuh. Tak hanya kali ini, tindakan Rian beberapa bulan lalu saat April dan Pras terlibat perseteruan, berhasil mempengaruhinya. Sebab sejak saat itu bahkan ketika keduanya belum menyadari perasaan masing-masing, Adrian sudah mulai mempercayai Rian meski tak pernah mengatakannya secara langsung. Mungkin ini saatnya berbagi tugas dengan Rian. 

Usai bergelung dengan segala pikiran yang melintas, Adrian menghela napas sebelum berdiri. Ditatapnya Rian yang memandangnya dengan wajah cemas. Adrian tak tahu saja, jika didalam hati Rian terus berkomat-kamit tidak jelas dengan jantung yang iramanya tak jelas pula. Harap cemas mencengkeram hatinya dengan erat sebab ayah dari kekasihnya ini tak juga merespon ucapannya. Malah berdiri dan-

"Mulai sekarang kamu bisa panggil saya Papa!"

Hah!

Adakah yang bisa menjelaskan apa maksud Adrian? Sebab Rian tak mengerti. Ekspresinya seperti orang bodoh, apalagi ketika jarinya mengorek kupingnya sendiri. Takut jika ada masalah dengan indera pendengarannya. Tapi pelukan Devina kepada April dan ucapan selamat dari Pras menyadarkannya. Adrian yang langsung pergi setelah mengucapkan kalimat yang lebih mirip perintah itu, telah menerimanya. 

"Kamu juga bisa panggil Tante Mama mulai sekarang," sambung Devina sebelum menyusul suaminya. Merasa senang juga lega sebab Adrian bisa menerima Rian.

Gio juga turut memberikan Rian ucapan selamat sebelum menarik Pras untuk memberikan ruang kepada sepasang kekasih yang masih bertengkar. Diruang tamu itu tersisa Rian dan April yang sedang sibuk memandangi cincin dijari manisnya. Menyadari jika statusnya tak lagi sama. Sebelum akhirnya menatap Rian yang entah sejak kapan berpindah duduk disampingnya.

"Gue mau peluk, boleh?"

Alis April terangkat membuat Rian was-was, "sejak kapan lo minta ijin, biasanya juga langsung nyosor."

Tak sampai dua detik usai April berucap, Rian menarik gadis itu kedalam pelukannya. Sungguh dia merindukan April, membayangkan jika hubungan mereka harus berakhir sungguh menyiksa dam membuatnya frustasi.

"Lo bener Pril, gue bahkan capek terus bilang maaf. Gimana sama lo yang selalu denger kata itu dari gue. Tapi cuma kata itu yang mewakili perasaan menyesal ini Pril. Cuma kata itu yang terpikir disaat gue ketakutan tentang hubungan kita. Jadi kasih gue kesempatan, bukan untuk ulang maaf lagi tapi untuk menghilangkan kekhawatiran orang tua lo."

Rian berucap tanpa jeda begitu pelukannya terlepas. Terlalu takut jika April tiba-tiba pergi dan tak mau mendengarkan.

"Well, gue mau liat hasil dari kesempatan yang udah lo terima itu."

Dengan itu April bangkit dan berlalu untuk berganti pakaian. Meninggalkan Rian yang tersenyum layaknya orang gila. Membuat dua orang yang sedang mengintip merasa ngeri sendiri.

"Apa lo bakal begitu bang kalo jatuh cinta?" Gio bertanya dengan volume pelan takut terdengar Rian.

"Yang jelas gue gak akan kayak orang gila macam dia." Pras berucap yakin, padahal dikemudian hari dia tak hanya menjadi gila tapi juga licik untuk mendapatkan perempuan yang dicintainya.

***

Yah seperti biasa, cuma bisa bilang maaf karena selalu update lama. Duh berasa kayak Rian beneran nih, maaf dan telat mulu. Semoga suka, jangan lupa vote dan comment oke😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top