Part 3
Tak ada yang berubah, aku masih berkutat dengan akvitasku yang membosankan. Bolak-balik menemui dosen pembimbing hanya untuk membahas mengenai sidang skripsiku sebentar lagi. Sejujurnya, aku selalu gelisah saat mengingat sidang skripsi yang sebentar lagi akan kulaksanakan. Seperti semacam momok yang menakutkan bagiku.
Rasanya, aku benar-benar ingin berteriak dan mengumumakan pada dunia, bahwa aku menyerah pada sidang skripsiku.
Tapi, kuingatkan hatiku tentang kata 'menyerah'. Seperti kata-kata itu adalah salah satu kata yang paling kuhindari, jika dengan cintanya Rendi saja aku tak pernah menyerah lantas mengapa pikiran picik tentang pernyataan 'menyerah' melintas begitu saja saat aku dihadapkan dengan skripsi? Miris sekali.
"Ngapain ngelamun? Ntar kesambet tau rasa!"
"Adit?"
"Nih."
Adit menyodorkan satu cup cokelat panas padaku, mungkin dari kafenya.
"Makasih."
"Lo ada masalah?"
Seperti inilah yang paling kuhindari, ketika seseorang bertanya kenapa dan mengapa padaku. Aku tak mungkin harus mengatakan yang sebenarnya dan mengumbar aib rumah tanggaku. Meski, aku manja begini, namun aku cukup tahu tata krama berumah tangga.
"Gue gak maksa elo buat cerita kok."
"Lo kok ada di kampus gue?" Aku bertanya, mengalihkan arah pembicaraan kami.
"Mau bawain cokelat panas ini buat lo, gue ingat lo suka banget sama minuman jenis itu dulu." Adit terkekeh kecil.
"Inget aja ya lo."
"Gue gak pernah lupa apapun tentang elo."
Pernyataan itu tak kusahuti, entah suatu kebenaran atau hanya perasaanku, Adit mungkin saja menyimpan rasa padaku. Sebagai seorang perempuan yang sedang menyimpan perasaan untuk seseorang, aku tahu apa maksud Adit.
"Dit ...."
"Hmm ...."
"Gue udah nikah."
Sepersekian menit, hanya keheningan yang kurasakan. Kami--aku dan Adit sama-sama membeku pada posisi kami. Setiap kata yang akan kulontarkan pun seolah enyah di pangkal tenggorokanku. Bahkan, aku tak berani melirik pada Adit saat ini. Mungkin ini akan melukainya, tapi aku tak ingin memberinya harapan.
"Selamat, Le."
"Maaf."
"Kenapa?" Adit memdangku sendu, kutarik napasku dalam. Mungkin, ini sangat berat bagiku juga dia, bagaimana pun, Adit adalah pria yang baik. Aku tak pernah ingin melukai seseorang, karena rasanya menyakitkan, aku tahu itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Perasaan tidak bisa dipaksa, sayangnya ... aku malah memaksa perasaanku pada Rendi.
"Kalau lo punya perasaan lebih dari temen, berhenti ya, Dit? Sebelum semuanya terlambat."
Hanya itu yang mampu kusuguhkan pada Adit, selepasnya lidahku kembali kelu.
"Gue terlambat ya, Le ... lo udah sama orang lain. Tapi yah bisa apa gue, kalau kenyataannya gue bukan jodoh lo."
"Sejak kapan, Dit?" Sebaris kalimat yang entah mengapa keluar dari mulutku, kulihat Adit tersenyum masam. Dan aku merutuki diriku sendiri.
"Udah lama, sejak kita masih sekolah."
"Lupain gue, Dit. Kita nggak akan pernah bertemu ujung yang sama, sekuat apapun lo sama gue lari. Bahkan kenyataannya jalan yang gue sama elo lewatin itu udah beda, Dit."
"Gue coba, Le. Gue tahu itu." Aku mendesah, tak sanggup menatap wajah Adit lebih lama. Aku merasa sangat jahat.
"Maaf, Dit. Maafkan gue."
"Jangan minta maaf Le, lo nggak salah dalam hal apa pun."
Aku pernah menyukai Adit, saat masih bocah ingusan. Ya, sebelum mengenal Rendi. Bagiku, memang dia adalah cinta monyetku, ketika pertama kali kami dipertemukan belasan tahun yang lalu. Cinta monyet dari bocah ingusan yang bahkan tak pernah paham arti dari cinta itu sendiri. Menyedihkan.
***
Setelah pertemuanku dengan Adit. Aku diantar pulang olehnya. Memang, hari ini aku tak membawa mobil ke kampus, bukan karena rusak atau mengirit harga BBM, lebih lagi, aku hanya ingin mencoba suasana baru. Mungkin, mencoba menikmati hidup seperti orang biasa, naik angkot atau bus kota, menurutku tidak buruk.
Kulihat, Rendi sedang membaca buku tebal di ruang kerjanya. Barangkali buku-buku tentang ilmu hukum yang tak kumengerti. Jam di dinding menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, tak heran priaku sudah pulang. Aku tersenyum kecil, meneliti wajah seriusnya dari balik pintu ruang kerjanya yang terbuka. Lalu, selintas ide menyembul untuk membuatkan secangkir kopi untuk Rendy.
Kubawa secangkir kopi yang baru saja kuracik itu di atas sebuah nampan. Semoga bukan hasil yang buruk.
Rendi masih di posisi awal seperti tadi, duduk di atas kursi lengkap dengan pakaian kerja yang telah kusut, rambutnya bahkan terlihat masai. Suamiku, sepertinya sedang berhadapan dengan kasus besar. Dan di mataku, ketampananya tak pernah berkurang.
"Kopi, Kak. Kamu minum dulu, habis itu mandi dan jangan lupa salat," ucapku di hadapannya. Dia mendongak sekilas, hanya mengangguk lalu menyesap kopi yang aku buat. Sejak, pertengkaran kami memang, tak banyak percakapan diantara aku dan dia. Seolah, ada sebuah tembok tinggi yang tercipta di antara kami.
"Ayo!" katanya.
"Kemana?"
Rendi menutup buku tebalnya dan meraih tangan kananku. Sesederhana ini, tapi aku merasa bahagia.
"Aku mau mandi, lalu kita sholat maghrib jamaah. Kamu mau 'kan?"tawarnya, membuat kedua pipiku memanas, kucubit lenganku untuk memastikan ini bukan mimpi. Tuhan, konyol sekali diriku.
"Ini bukan mimpi, Le." Dan dia terkekeh kecil, membuatku menunduk bisu, mengumpat segala kebodohan yang kuciptakan tadi. Apa yang terjadi padanya? Mengapa Rendi berubah secepat ini sejak pertengkaran kami beberapa waktu lalu?
***
Untuk pertama kalinya, semenjak aku menikah dengan Rendi. Kami, salat berjamaah, rasanya tak bisa kuutarakan. Dia terlihat tampan dalam balutan peci dan sarung berwarna cokelat itu.
"Aku minta maaf," ucapnya kemudian.
"Untuk?"
"Semua ... memaksamu menikahiku dan tak pernah berlaku seperti selayaknya suami. Dan, aku minta maaf sampai saat ini pun aku masih mencintai Shandy. Aku mau mencoba buat jujur sama kamu, Lea."
Hatiku tertohok, rasanya sakit sekali saat Rendi mengatakan bahwa ia masih mencintai Shandy, mendadak, langitku kembali mendung.
"Ya, a--aku memaafkanmu, Kak."
Rendi mengusap wajahnya kasar, pelbagai hal berkecamuk dalam kepalanya, aku tahu dan aku bisa membaca segalanya dari ruat wajah itu.
"Aku tak menjanjikan kebahagiaan padamu, Le. Aku nggak bisa, terlebih Shandy hadir lagi dalam hidupku. Maafkan aku Le, kalau kamu mau aku akan melepasmu."
"Begitu, Kak? Hah? Kamu yang menawariku sebuah pernikahan, kamu pula yang menawariku sebuah perceraian hahaha lucu sekali. Aku bodoh ya? Ternyata hanya aku yang menganggap pernikahan ini. Gila, kamu sebrengsek ini ternyata. Semudah itu?"
"Le, aku hanya tak ingin melukaimu lagi."
"Cukup, Kak. Cukup! Kumohon, bersikaplah layaknya suami, perlakukan aku sebagai isterimu, Kak. Lupakan masa lalu kamu. Aku juga ingin bahagia, aku ingin kamu menyayangiku, aku ingin kita selayaknya suami istri pada umumnya, kamu menyayangiku begitupun sebaliknya, aku juga ingin kita punya anak, masih banyak hal yang belum aku gapai di pernikahan kita, Kak. Kenapa bisa kamu ngomong kayak gitu?" Air mataku berhamburan, rasanya menyakitkan sekali.
"APA?"
"Kumohon, Kak. Aku ingin bahagia, sebentar saja."
"Aku nggak bisa, Le."
Kupandangi wajah Rendi. Tidak, aku harus bisa mendapatkannnya, sudah kukatakan cintaku ini egois. Aku tak ingin dia berkahir dengan Shandy sungguh, aku akan mempertahankannya. Aku akan mempertahankannya sekuat tenaga, bukankah dia yang memintaku untuk menikah dengannya dulu? Rendi ... tidak semudah itu.
"Sekali saja, Kak."
"Lea!"
"Kak, kumohon."
Lihatlah, betapa hinanya aku, tak ada beda dengan jalang di luar sana. Memohon pada laki-laki yang mencintai wanita lain, meski ia suamiku sendiri.
"Baiklah. Tapi, aku tak ingin kamu menyesal, Le."
"Nggak, aku nggak akan menyesal, Kak."
Rendi menghampiriku, menatap dalam pada bola mataku yang dipenuhi luka, ia memelukku. Pelukkan yang tidak mampu menenangkan. Rasanya, kehilangan itu semakin dekat, meski aku sangat ingin bertahan.
***
Kejadian itu tak memperbaiki hubunganku dengan Rendi. Masih, diantara kami hanya kebisuan yang ada. Aku, tetap bersikap selayaknya isteri bagi Rendi, sejak saat itu pun Rendi tak pernah menyentuhku lagi. Jujur, aku terluka meski tetap bersikap biasa saja. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Merayunya seperti jalang di luar sana? Aku tidak punya pengalaman untuk itu.
"Leaaaa Kak Rendiiii, yuhuuuuuu ...."
Aku memutar bola mataku, suara itu--tak salah lagi, pasti Ara. Sahabatku itu memang yang paling hobi membuyarkan lamunanku.
"Jangan toa kali, Ra. Gue nggak budek tau."
Ara tertawa geli, ia menghampiriku dan segera memelukku.
"Heiii, Kakak ipar yang cantiknya kayak Annasophia Robb, bantuin jagain anakku dong."
"Heh?"
"Aku harus nemenin Mas Deo ke Pesta perusahaan. Dan, as you know, kita nggak pakai baby sitter, ya yahhh ... mau dong pasti, okey byee...."
Aku masih melongo melihat Ara yang sudah menjauh meninggalkan Naola digendonganku, rasanya masih belum bisa sadar akan perlakuan ajaibnya. Heran, mengapa sikapnya begitu kontras dengan Rendi, dia lebih cocok menjadi saudara kandungnya Aldric ketimbang Rendi. Ara memang sulit ditebak, meski lebih tua satu tahun dariku, tapi sikapnya sungguh kekanakan.
"Mam ... mam," Naola merengek, menyadarkanku dari aksi tidak penting lagi.
"Ok Princess, ayo kita makan."
Gadis kecil berpipi tembem itu bersorak gembira, padahal di kedua tangannya sudah memegang satu batang cokelat dan satu bungkus biskuit. Mengapa anak ini tetap lapar?
Aku menyuapi Naola dengan telaten, dia makan begitu banyak, sesekali sambil berceloteh ini itu, atau kadangkala bertanya padaku tentang benda-benda yang ia lihat di dapur. Sungguh menggemaskan.
"Om ...." gumam Naola, suara khas bayi. Aku menyadari sesuatu, Rendi telah pulang dari kantor.
"Hai, princess Nao. Om kangen sama kamu."
Laki-laki itu langsung menggendong Naola dalam dekapannya, Ya Tuhan . . . andai saja yang berada di dekapannya itu puteri kami.
"Kenapa dia di sini?"
"Tadi Ara titipin Naola, ada acara sama Mas Deo katanya."
"Oh. Hi, princess ayo kita bermain."
"Ayo, Om. Ajak Nte Lea uga ya...." Rengek Naola.
"Yuk, Nte ... kita ain."
Aku hanya bisa mengangguk, menuruti permintaan Naola. Menampung gadis kecil ini sungguh menyenangkan.
***
Permainan anak kecil, tak akan jauh dari yang namanya boneka. Pun dengan Naola, gadis kecil ini sedang bermain dengan bonekanya sambil meminum dot susunya.
"Nte, Nte ... dek, yiiii."
"Adek bayi? Kenapa, Sayang?"
"Dek yiii .... Nte."
Rendi yang sedang meminum kopinya pun tersedak, mendengar celotehan Naola. Aku sendiri bingung dengan situasi ini, Naola memang masih cadel, omogannya juga tidak jelas. Maklum, dia belum genap berusia dua tahun.
"Nanti minta Mama buatkan adik ya, Nao," jawab Rendi.
"Ndak, dek ... Nte."
Aku menelan ludah susah payah. Apa yang diucapkan anak ini? Pasti Ara yang mengajarinya.
"Ya, nanti Naola punya adik dari Tante sama Om." Randi akhirnya menjawab. Omong kosong macam apa itu?
pria sejati tak akan menginkari janji, Rendi. Dan yang mengingkari janji, bukanlah pria yang patut dihargai. Aku bergumam dalam hati. Menyangsikan, apa dia akan menepati janjinya. Terlebih, dua bulan lagi aku wisuda, sebab minggu lalu aku baru saja lulus skripsi, dan ya dua bulan lagi, tepat 1 tahun perikahan kami. Terlalu cepat bukan? Ya, ku tahu, pernikahan yang kujalani dengan aku yang mencintai sendiri. Sudah selama itu ternyata, aku menahan sakit hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top