Bab 8. Bertemu Fira
Alara memilih mengenakan rok berwarna pink selutut dengan cardigan sebagai luaran tanktop yang ia kenakan. Saat ini ia sudah siap dibangku kemudi sementara Adam di sebelahnya menatapnya dan menunggu dia untuk menjalankan mobilnya.
"Kamu masih mau belum jalan?" tanya Adam membuat Alara menoleh gugup.
"Saya takut mati, Pak- Mas."
Adam berdecak tidak percaya. "Ini di lapangan dan lagi ada aku di samping kamu, jadi insyaAllah nggak akan kenapa-napa."
"B-bukan itu yang Alara maksud."
"Lalu apa?"
"Mobilnya. Nanti mati lagi."
Adam menggeleng tidak percaya dengan gadis di sebelahnya ini. "Sudah, coba bawa saja dulu."
Menarik napas dalam-dalam, Alara mencoba menurunkan rem tangan lalu memasukkan gigi 1 setelah kopling benar-benar terinjak. Ia perlahan mencoba menginjak gas dan menaikkan koplingnya dengan pelan-pelan pula.
"Bisa kan?" tanya Adam yang dijawab anggukan saja oleh Alara karena Alara benar-benar gugup serta tangannya yang terlihat begitu kaku dan menyetir. "Sekarang masukkan gigi dua."
Alara menurut ia kembali menginjak kopling lalu memasukkan gigi 2. Kali ini ia sudah mulai terlihat santai dan ternyata memasukkan gigi tidak serumit itu. Hanya mengimbangkan kopling dan gas saja yang sulit.
"Masukkan gigi 3, naikkan kecepatannya sedikit."
Alara kembali menurut dan memasukkan gigi 3, namun yang terjadi mobil malah seakan terbatuk-batuk dan tak lama mati. "Loh, Mas? Kok mati?"
"Itu gigi 5, Alara bukan gigi 3. Gimana nggak mati."
Alara menatap kenop mobil dan menggigit bibir bawahnya merasa malu. Ia lalu mengembalikan kenop ke posisi netral. Lalu menyandarkan kepalanya di kursi. "Alara nyerah aja deh. Malas nggak bisa-bisa."
"Baru dua kali latihan kamu udah nyerah. Belum juga belajar cara mundurin mobil, masuk gang sempit dan lain-lain."
"Ya habisnya nggak pernah berhasil."
"Mas akan ngajarin kamu sampai lancar. Nggak ada kata nyerah."
Alara menatap Adam dengan kesal lalu kembali menghidupkan mobilnya dan mencobanya ulang sampai dia benar-benar lancar. Hampir dua jam Alara menghabiskan waktu dengan belajar memasukkan gigi serta mengimbangkan kopling dan juga gas.
"Cukup untuk hari ini," gumam Adam membuat Alara akhirnya bisa mendesah lega.
Alara melepaskan seatbelt lalu turun untuk menukar posisi dengan Adam, membiarkan pria itu mengambil alih kemudi.
"Kita ketemu Fira ya?"
Gumaman Adam membuat Alara melebarkan matanya. "Masa penampilan Alara kayak gini mau ketemu Mba Fira sih?"
"Ya kenapa memangnya penampilan kamu? Nggak ada yang salah. Saya juga cuma pakai celana pendek baju kaos."
Alara memutar bola matanya, setidaknya ia tahu harga dari baju dan celana yang dikenakan Adam pastilah mahal.
"Terserah Mas aja."
Adam tersenyum lalu mengacak rambut Alara dan mulai menjalankan mobilnya menuju restoran tempat mereka bertemu. "Ara juga sudah disana sama mamanya. Sekalian kita makan siang."
"Iya." Alara menjawab singkat. Ia benar-benar tidak ingin bertemu namun Adam memaksanya untuk berkenalan karena bagaimana pun ke depannya mereka akan lebih sering bertemu mengingat Ara yang pasti ingin bertemu ibu kandungnya.
"Mas janji nggak lama." Adam mencoba mencairkan suasana hati Alara. "Kita juga harus mempersiapkan pernikahan kita, kan? Setelah ini kamu langsung istirahat dan tidur."
"Iya."
Adam hanya melirik Alara sekilas namun dia tidak berkata apapun lagi sampai keduanya tiba di restoran yang mereka janjikan. Alara turun dari mobil dengan jantung yang berpacu cepat. Ia bahkan bingung harus berkata apa nanti dengan mantan istri calon suaminya itu. seumur hidup tidak pernah Alara menyangka akan berada di posisi ini.
Tiba-tiba saja tangannya terasa hangat. Alara melirik tangan kanannya yang digenggam oleh tangan putih milik Mas Adam. Alara menengadahkan kepalanya menatap Mas Adam yang kini menatapnya intens.
"Kamu takut?"
Alara mengangguk pelan yang membuat Adam melihatnya semakin gemas saja.
"Kamu cukup diam saja kalau nggak ditanya."
Lagi-lagi Alara mengangguk.
Adam mengelus kepalanya dan kemudian berkata. "Ayo kita masuk." Ia menggenggam erat tangan mungil Alara dan membawanya masuk ke dalam restoran. Adam seketika mengedarkan pandangannya, berusaha mencari-cari mantan istri atau anaknya dan ternyata mereka memilih duduk di pojokan. "Itu mereka."
Alara seketika menatap sosok yang bernama Fira dengan penampilan elegan yang jelas kalah jauh dari Alara. Wanita itu juga terlihat sangat cantik, membuat Alara minder sehingga menelan salivanya gugup. Ia ingin segera kabur, namun genggaman tangan Mas Adam terlalu erat.
"Kamu sampai, Mas." Fira menyambut mereka dengan senyuman lalu matanya melirik ke sosok perempuan di samping mantan suaminya.
"Papa! Kak Alara!" seru Ara girang membuat Alara tersenyum kecil.
"Alara ya?" tanya Fira sambil mengulurkan tangannya.
Alara mengangguk lalu melepaskan genggaman tangannya untuk menyalami Fira. Setidaknya ia masih tahu tata krama.
Fira jelas melihat bagaimana Mas Adam menggenggam tangannya. Ada terbesit rasa cemburu yang seharusnya tidak ia rasakan.
"Silakan duduk."
Alara duduk di sebelah Mas Adam karena dia benar-benar tidak ingin jauh dari pria itu walau hanya sebentar karena takut adegan-adegan yang berputar di kepalanya tidak terjadi. Misalnya, adegan saling menjambak antara mantan dan calon istri. Tidak mungkin, bukan? Alara sampai bergidik ngeri membayangkannya.
"Kamu masih muda ya."
"Iya, Mbak."
Fira tersenyum lalu mengelus rambut Ara dengan sayang. "Ara banyak cerita tentang kamu. Ah, silakan pesan dulu." Fira memanggil pelayan lalu menyebutkan makanan kesukaan mantan suaminya. "Mas Adam alergi seafood," gumam Fira sambil menatap Alara dengan senyuman cantik di wajahnya. Lalu, wanita itu melirik Mas Adam dan tersenyum menggoda. "Iya kan, Mas?"
Adam mengabaikannya lalu melirik Alara dan berkata. "Kamu pesan apa?"
"Samain aja, Mas."
Pria itu tersenyum lalu mengelus kepala Alara dengan sayang sambil menatap pelayan. "Untuk kekasih saya samain aja, Mas."
"Baik, Mas." Si pelayan lalu mencatatnya setelahnya dia permisi untuk menyiapkan makanannya.
"Jadi, kapan kamu menikah sama Andre?"
Fira menggeleng. "Aku nggak tahu, Andre masih belum bisa nerima Ara." Mata Fira kini tertuju pada Alara. "Dan semoga Alara mau terima Ara ya, bagaimana pun Ara tetaplah darah daging aku dan Mas Adam."
Alara lagi-lagi menelan salivanya. Inikah maksud perkataan Bunda saat itu? Fira memang wanita penuh intimidasi. Alara bahkan sama sekali tidak berkutik padahal dia sudah menguatkan diri tapi tetap saja, ada rasa tidak nyaman dari cara Fira melihatnya, seakan wanita itu sedang menilainya.
"Alara tahu apa yang akan dilakukannya. Ya kan sayang?" tanya Adam pada Alara sambil menggenggam tangan gadis itu. "Aku yakin juga Ara nyaman sama Alara, jadi kamu hanya perlu memikirkan supaya Andre menerima Ara." Adam menatap Fira dengan tajam.
Melihat tatapan itu Fira menghela napas pelan. Dia selalu merasa terintimidasi dengan mantan suaminya ini berbeda dengan Andre yang selalu ramah dan menyenangkan. Namun, kekurangannya dia masih tidak bisa menerima Ara, sementara Mas Adam lebih kaku tapi sangat penyayang dan juga pengertian.
Fira menghela napas pelan, "Kalau begitu aku pergi dulu. Masih ada kerjaan." Fira menatap putrinya kemudian mencium kedua pipi putrinya dengan sayang. "Mama pergi dulu ya sayang."
Ara mengangguk sambil tersenyum lebar. "Bye bye, Ma."
"Bye sayang."
Sepeninggal Fira, Alara kini mampu menarik napas dalam-dalam. Ia memijit pelipisnya yang terasa tegang sejak awal.
"Kamu nggak pa-pa?"
Alara menggeleng pelan. "Nggak pa-pa kok."
Pelayan tak lama sampai menghantarkan makanan keduanya. Lalu, mengambil piring kosong yang sudah dipesan dan dimakan lebih dulu oleh Fira dan juga Ara.
"Ara mau makan lagi?"
Ara menggeleng pelan sambil memasangkan pakaian pada boneka yang sejak tadi ia mainkan. "Ara sudah makan, Pa. Nanti Ara gendut kalau makan banyak."
Mendengar celotehan Ara membuat Alara tersenyum. "Kenapa memangnya kalau gendut?"
Pipi Ara merah seketika lalu menjawab dengan malu-malu. "Nanti nggak ada yang suka sama Ara."
Adam mengernyitkan dahinya hendak menjawab, namun Alara menyela dan bertanya. "Ra, Ara suka sama seseorang?"
Pertanyaan Alara membuat Adam meliriknya. Namun, Alara mengabaikannya, ia menatap Ara yang kini malu-malu dan tentu saja itu menjawab pertanyaan Alara.
"Sayang, suka sama orang itu nggak pa-pa. Tapi, Ara sekarang kan lagi belajar, jadi Ara fokus belajar dulu, dan suatu hari kalau Ara sudah sukses seperti Papa, pasti banyak yang suka sama Ara."
Ara menunduk dan mengangguk.
"Mmm," Alara seperti berpikir lalu bertanya. "Cita-cita Ara ingin jadi apa?"
"Dokter."
"Bagus!" sahut Alara antusias dengan cita-cita perempuan kecil di depannya ini. "Kenapa Ara pengin jadi dokter?"
Ara menatap Alara sejenak lalu menjawab. "Kemarin di sekolah ada anak kucing kecelakaan. Kakinya nggak bisa digerakkin kak. Ara sedih karena Ara nggak bisa tolong."
"Wah, Ara pengin jadi dokter hewan ya?"
"Dokter hewan?" tanya Ara bingung.
Alara mengangguk. "Iya, dokter hewan. Dokter hewan itu yang mengobati semua binatang terluka tanpa kecuali."
"Wah," seru Ara takjub. "Iya, Ara mau jadi dokter hewan, Kak." Ia kini melirik Papanya antusias. "Ara boleh jadi dokter hewan 'kan, Pa?"
"Apapun itu sesuai minat kamu."
Jawaban itu membuat semangat Ara semakin jadi. "Yeay, Ara mau jadi dokter hewan!"
"Kalau Ara mau jadi dokter hewan, Ara harus belajar yang rajin, biar nggak salah kasih obat untuk hewan yang terluka." Alara memilih bahasa sederhana agar dimengerti oleh gadis kecil itu. "Maka dari itu, Ara suka-sukaannya nanti saja ketika sudah besar."
Ara mengangguk antusias. "Iya, Kak. Ara nggak mau suka-sukaan dulu. Ara akan belajar yang rajin untuk jadi dokter hewan."
***
TBC.
Alara lg ngeluluhin anak si duda 🤧😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top