Bab 7. Persiapan

Alara mengerjapkan matanya perlahan, seketika ia bingung ketika melihat ini bukanlah kamarnya. Otaknya bekerja keras mengingat apa yang terjadi sebelumnya sampai akhirnya ia tahu bahwa dia sedang berada di rumah calon mertuanya.

Meraih ponselnya, Alara melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Tidak ada yang membangunkannya atau abangnya memang belum menjemput mereka?

Ia keluar kamar dan melihat keadaan sudah sepi, bahkan barang-barang sebelumnya yang berserakan sudah dirapikan.

Dimana Mamanya?

"Kamu sudah bangun?"

Alara mengangguk. "Mama dimana?"

"Mama kamu sudah pulang sama abangmu."

"Lho, Alara kok ditinggal?" tanya Alara tidak percaya. "Alara pulang sama siapa dong?"

"Sama Adam. Tadi, Adam yang larang Mama kamu untuk bangunin kamu." Lena lalu tersenyum dan berkata. "Sini makan dulu sambil nunggu Adam selesai mandi."

"Tapi tante—"

"Nggak ada tapi-tapian. Panggil Bunda aja sekarang biar sama kayak Adam, jangan Tante lagi."

Alara hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah Lena ke meja makan. Alara melihat sudah ada beberapa menu makanan yang menggugah selera dan rasa laparnya seketika.

"Ayo, dimakan jangan malu-malu, Ra."

"Iya, Bunda."

Mendengar panggilan Alara, Lena tersenyum dan duduk di depan gadis itu. "Bunda mau tanya, Adam sudah mempertemukan kamu dengan Fira?"

Dahi Alara mengernyit. "Fira?"

"Mantan istrinya, Mamanya Kiara."

"Oh, Mamanya Ara." Alara menggeleng pelan. "Belum Bunda."

Lena menghela napas pelan. "Kalau suatu saat kamu ketemu sama Fira, Bunda cuma mau kamu jangan merasa terintimidasi sama dia ya."

"Fira memangnya kenapa Bunda?" tanya Alara tidak mengerti.

"Nggak kenapa-napa. Bunda cuma nggak mau aja nanti takutnya kamu dipanas-panasi sama Fira."

"Bunda tenang aja," Alara menyahut santai. "Aku nggak mudah terpengaruh kok."

"Bagus kalau begitu." Lena lalu melirik ke belakang Alara. "Itu calon suami kamu sudah selesai mandi."

Alara menoleh dan melihat tampilan Pak Adam lebih segar bahkan pakaiannya sudah berganti.

"Bunda tinggal ya."

Alara hendak menahan namun Lena lebih dulu pergi meninggalkannya dengan Adam berdua. Alara melanjutkan makannya seakan-akan Adam tidak disana.

"Kamu ngehindarin tatapan saya?"

"Ah- eh- enggak kok, Pak."

Adam menyipit lalu berkata. "Selesaikan makannya. Saya akan mengantarmu."

"Bapak ngusir saya?" tanya Alara gamblang. "Dari kemarin Bapak pengen antar saya terus dengan maksud ngusir saya?"

Seketika Adam membungkuk di depan Alara. Kedua tangannya memegang pegangan kursi tempat Alara duduk dan mengukung gadis itu. "Saya nggak pernah ngusir kamu. Tapi, kalau kamu berniat untuk tinggal dengan saya, maka kamu harus bersabar sampai kita menikah." Adam nyaris kehilangan kendali atau bisa-bisa dia mencium Alara dengan nafsunya yang kuat.

Pria itu memilih untuk melepaskan mangsanya kali ini. Tapi, ketika Alara sudah menjadi miliknya maka Adam tidak akan segan-segan bertindak sebagai predator.

"Habiskan makananmu. Aku tunggu di depan."

Aku? Tanya Alara dalam hati. Alara tidak salah mendengar, bukan?

Ia bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang menggila karena perbuatan lelaki itu sebelumnya. Menarik napas pendek-pendek, Alara mencoba menghabiskan makanannya walau terasa tidak selera lagi.

***

"Besok habis dari belajar mobil, kita ketemu Fira ya?"

Alara melirik Pak Adam yang sedang menyetir untuk mengantarnya ke rumah. "Harus besok?"

"Kenapa? Kamu nggak mau?"

Alara menghela napas pelan. "Nggak tahu, Pak." Ia melirik ke luar jendela dan raut wajahnya berubah tidak nyaman. Jelas saja Adam merasakan perubahan pada Alara.

"Kalau kamu nggak mau, aku nggak maksa."

"Apakah ada yang belum selesai diantara kalian?" tanya Alara karena dia ingin semuanya menjadi jelas sebelum terlanjur.

Seketika Adam menghentikan mobilnya di pinggir jalan membuat Alara bingung seketika.

"Tanyakan semua yang bikin kamu nggak nyaman. Supaya perasaan kamu lebih enakan." Ia menatap Alara intens sebelum kembali berkata. "Dan diantara kami nggak ada yang belum selesai, hanya saja Ara memang masihlah putri kandungnya. Aku nggak bisa ubah hal itu."

Alara menggeleng pelan. "Maksud saya—" Ia menelan salivanya. "M-mengenai perasaan Bapak sama mantan istri Bapak."

"Kami sudah bercerai selama 3 tahun, Alara. Tidak ada perasaan apapun yang tersisa untuk mantan istriku, lagi pula sebentar lagi dia akan menikah, begitu pun dengan kita." Adam meraih tangan Alara yang terletak di paha gadis itu. "Tenang saja, aku akan membuka perasaanku untukmu dan berusaha mencintaimu."

Alara menatap tangannya yang di genggam oleh lengan putih nan berurat biru yang terlihat jelas. Ia merasakan darahnya mendidih hingga meninggalkan semu merah di pipinya. "S-saya akan mencobanya."

"Mencoba apa?"

"Mencoba untuk membuka hati buat Bapak."

Adam mengangguk kemudian berkata. "Ah, berhenti panggil saya Bapak selain di jam kuliah."

***

"Bang!"

Naka hanya memainkan alisnya saja ketika adik satu-satunya ini memanggilnya. Sementara matanya fokus pada sebuah buku tebal berbahasa inggris yang Alara tidak tahu tentang apa itu.

Ya, Naka bekerja di sebuah perusahaan ternama milik Prancis yang merupakan perusahaan perminyakan terbesar di dunia. Pekerjaannya memang banyak menyita waktu diluar rumah dan terkadang dia menghabiskan waktu di lokasi kerja selama sebulan penuh.

Namun, semua pekerjaannya itu akan membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Penghasilannya perbulan bahkan bisa mencapai 50 juta dan itu semua tergantung dari posisi jabatan di perusahaan tersebut.

"BANG!" Alara kini memukul bahu sang abang karena kesal tidak diperdulikan.

Menghela napas pelan, Naka membuka kaca mata bacanya lalu menatap adiknya yang berwajah sebal. "Ada apa?"

Alara memilih duduk di depan abangnya dan berkata. "Abang buruan nikah gih! Masa aku duluan yang nikah."

Seperti inilah mereka, kadang jika akur atau menginginkan sesuatu, Alara akan menggunakan kata 'aku' bukan 'gue' seperti biasanya.

"Ya kenapa memangnya? Toh, si Adam juga udah mapan, tampan walau masih gantengan abang sih. Yah, lumayanlah."

Plak.

Alara memukul lengan abangnya dengan kuat membuat lelaki itu meringis. "Nggak usah kepedean. Jelas Pak Adam lebih tampan dari abang. Pak Adam tinggi, putih, tegap, perut nggak buncit kayak abang padahal udah nikah sekali tapi penampilannya masih jauh keren dia dari pada abang."

Naka seketika mencibir. "Iya, calon suami. Bela aja terus!" sungutnya dan hendak kembali membaca bukunya.

"Yeee, apaan! Lihat tuh perut abang mulai buncit, kebanyakan makan tengah malam sih."

"Buncit gini juga banyak yang suka sama abangmu dek. Kamu nggak tahu aja pesona abang kayak apa! Udah banyak cewek yang nangis gara-gara abang."

Alara hendak mencubit abangnya, namun abangnya lebih dulu tahu pergerakannya sehingga menangkap dan menahan tangannya.

"Bang, lu nggak inget sama gue apa? Gue cewek. Karma lo mainin cewek jatuhnya juga ke gue." Alara menarik tangannya dari genggaman abangnya.

Naka menyisir rambut ke belakang dengan jemarinya. "Iya abang tau. Makanya abang udah berhenti mainin cewek." Sejenak pria itu mengingat sosok teman adiknya yang bernama Clara. Dahinya mengernyit seketika kemudian bertanya. "Kamu masih punya kontak Clara?"

Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu membuat Alara menyipit seketika. "Ada apa nih abang tanya Clara tiba-tiba? Abang ada something sama dia?"

Naka berdecak lalu menjitak kepala Alara membuat gadis itu meringis pelan. "Udah jawab aja. Punya apa enggak?"

"Bentar, aku cari." Ia membuka ponselnya kemudian mencari kontak Clara. "Udah lama banget nggak pernah berhubungan sama Clara setelah aku tamat SMA. Nggak tahu deh, ini nomor masih aktif apa enggak," gumamnya lalu mengirimkan nomor ponsel Clara pada abangnya melalui wa.

Naka membuka ponselnya lalu melihat ada nomor Clara disana. Sejenak ia merasa ragu untuk menghubungi gadis itu.

"Iya kan? Abang ada something sama Clara?" Alara bertanya sarkas.

"Dulu Clara pernah nembak Abang." Naka menjawab jujur membuat mata bening Alara membulat lebar seketika. "Tapi, abang tolak karena waktu itu abang pacaran sama Nina." Naka menatap Adiknya dengan datar dan kembali berkata. "Nina teman kamu sama Clara."

"Heeeeh?! Abang gila!" sentak Alara tiba-tiba dengan wajah yang terkejut tidak percaya.

Alara, Nina, dan Clara merupakan sahabat saat mereka menginjak bangku SMA. Ketiganya akan selalu pergi kemana-mana sampai pada akhirnya ketika Alara mengajak dua sahabatnya itu ke rumahnya dan bertemu dengan sosok Naka yang baru saja masuk dan diterima bekerja di sebuah perusahaan ternama.

Alara tidak pernah tahu jika kedua sahabatnya itu menyimpan rasa pada sosok abangnya. "Kenapa abang nggak pernah bilang sama aku?"

Naka menyandarkan punggungnya di sofa berbantalkan lengannya sendiri. "Abang nggak mau mempermalukan teman kamu. Waktu itu jujur saja, Abang memang lebih tertarik pada Nina karena sifatnya yang lemah lembut sementara Clara orang yang ceria dan bar-bar." Ia mencoba mengenang masa lalu itu. "Tapi, semakin hari sifat lembut Nina justru membuat abang ilfeel karena dia terlalu manja dan menurut abang terlalu merepotkan. Semenjak saat itu abang merasa Clara justru lebih mandiri dengan sikap cerianya."

Alara menggeleng tidak percaya. "Jadi, abang nolak Clara karena memilih Nina? Jujur bang, kalau aku tahu aku lebih setuju sama Clara."

Alis Naka terangkat dan bertanya. "Kenapa?"

Alara menunduk dan bergumam sedih. "Clara sudah yatim piatu sejak kecil, Bang. Dia menghidupi dirinya sendiri dengan berjualan kesana kemari."

"Apa?"

Alara mengangguk. "Aku kadang suka kagum sama Clara. Dia bertahan hidup tanpa kedua orang tua disisinya." Alara tersenyum mengingat sosok Clara. "Dan dia selalu menutupi kesedihannya itu dengan tawa tanpa tahu bahwa itu hanyalah topengnya." Mata Alara seketika memanas mengingat sosok sahabatnya. "Sampai kami tamat SMA dan di hari perpisahan itu dia benar-benar murung dan nggak ada yang tahu penyebabnya." Alara menarik napas dalam-dalam dan berkata. "Aku ingat terakhir kali dia berkata, 'sukses selalu buat kalian, jangan kayak aku yang mungkin tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya.'. Setelah itu dia pergi dan kami nggak pernah bisa menghubunginya lagi."

Mendengar cerita adiknya membuat Naka seketika merasakan penyesalan yang amat dalam di hatinya karena sudah menolak Clara. "Di hari perpisahan kalian, Clara nembak abang, dek. Mungkin itu sebabnya dia terlihat murung." Pria itu mengusap wajahnya kasar. "Abang benar-benar menyesal sekarang." Naka melirik ponselnya. "Ini nomor telepon Clara kamu dapet darimana?"

"Sekitar sebulan lalu aku ke rumah Clara, tapi tetangganya bilang Clara udah nggak tinggal disana lagi. Rumahnya udah dijual. Ya udah aku coba minta nomor Clara sama tetangganya tapi sampai sekarang aku nggak berani hubungin dia."

Naka mengangguk mengerti dan menepuk kepala adiknya. "Semoga saja masih aktif. Abang bakal cari dia sampai ketemu."

"Beneran bang?" tanya Alara dengan antusias dan berharap bahwa mereka akan bertemu lagi.

Naka mengangguk pasti. Dia bersumpah akan menemukan gadis itu dan menjadikannya miliknya. Ya, semoga saja Clara belum menikah dengan siapapun.

***

Vomment!

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top