Bab 6. Gosip

Alara mendesah pelan mengingat dirinya akan menikah dalam dua minggu ke depan. Saat ini ia berada di kantin kampus bersama Putri dan Tania.

"Gue denger Pak Adam mau nikah." Tania membuka suara lebih dulu membuat Alara mencoba mencuri dengar ucapan kedua temannya.

Putri yang menyeruput teh dingin langsung mengernyit. "Ck, Pak Faisal yang masih single aja belum nikah masa Pak Adam udah dua kali." Lalu mata Putri menatap Tania bingung. "Lo tau dari mana?"

"Gosip lah. Lagian, udah tersebar beritanya seantero jurusan."

"Serius lo? Kok gue nggak tahu ya?" tanya Putri pada dirinya sendiri.

"Lo kan emang kudet," sahut Tania seadanya. "Tapi nih katanya calon istrinya mahasiswinya sendiri."

"Hah?" tanya Putri tidak percaya sementara Alara memilih menempelkan pipi pada meja kantin lalu memejamkan mata. "Serius lo? Jangan ngada-ngada deh."

"Yeee, siapa yang ngada-ngada!" Tania memutar bola matanya. "Gosipnya udah tersebar karena katanya kemarin salah satu dosen kita yang dulu kita gosipkan dekat dengan Pak Adam ternyata bilang kalau Pak Adam mau menikah dengan salah satu mahasiswi jurusan kita."

"Wah, Bu Yunita cemburu kali ya." Putri menggeleng tidak percaya kemudian bertanya. "Emang siapa sih mahasiswinya?

"Nah kalau itu gue kurang tau!"

"Gue!" sahut Alara singkat.

"Apa?" tanya Putri lalu melirik Alara yang masih memejamkan mata tanpa minat.

"Lo nanya kan siapa mahasiswi yang jadi calon istri Pak Adam?"

Putri dan Tania kompak mengangguk.

"Ya itu gue."

Seketika Tania yang duduk di sebelah Alara langsung meletakkan tangan di dahi gadis itu. "Nggak demam, tapi ngehalu tinggi banget nih anak."

"Gue nggak ngehalu." Alara kini membuka matanya dan kembali menegakkan punggung tanpa minat. "Lagian darimana sih gosip itu tersebar?" tanyanya ketus.

Putri seketika terbatuk-batuk karena tersedak teh dingin yang di minumnya.

Tania sendiri melebarkan matanya dan bertanya. "Lo becanda? Pak Adam? Nikah sama lo?"

Alara memutar bola matanya malas. "Nggak percaya ya sudah. Iya, gue bercanda! Puas!"

"Yeee, kirain serius, dasar!" sungut Tania sambil menjitak kepala Alara.

Alara sendiri tidak habis pikir, sudah dijawab serius dianggap bercanda, giliran bercanda dianggap serius. Memang temannya adalah orang yang paling sulit mendeteksi kejujuran karena ketidak pekaan mereka sudah sangat kental menempel erat di otak keduanya.

"Gue sampe keselek pipet." Putri menggeleng tidak percaya. "Lagian mana mau Pak Adam sama cewek kayak lo. Selera Pak Adam gue yakin cantik, tinggi, modis, pintar. Aqila adalah kandidat tercocok mengingat betapa akrabnya dia sama Pak Adam."

Tania mengangguk setuju.

"Terserah!" Alara berdiri dan berkata. "Bayarin minuman gue." Setelahnya dia pergi meninggalkan kedua temannya.

"Yah, malah ngambek." Putri menggeleng lalu kembali menatap Tania dan melanjutkan gosip mereka. "Jadi, menurut lo,  selain Aqila siapa kandidat yang cocok dengan Pak Adam?"

***

Alara menuju tempat parkir dimana Abangnya sudah menunggu menjemputnya. Ia melihat mobil fortuner hitam abangnya dan segera masuk ke dalam.

"Mama nyuruh gue anter lo ke rumah orang tua si Adam."

"Hah? Buat apaan?"

Naka mengendikkan bahunya. "Ada yang mau di coba kayaknya."

Alara memutar bola matanya. "Ya udah, kita kesana aja dulu."

Butuh hampir setengah jam dari kampus untuk sampai ke rumah Pak Adam dan disinilah Alara dan Naka. Keduanya masuk ke dalam rumah tak bertingkat namun cukup mewah mengingat rumah ini di design khusus oleh seorang arsitek.

"Ra, sini deh." Ibunya melambaikan tangan membiarkan Alara mendekat. "Ini ada beberapa gaun untuk hantaran. Semoga muat ya di kamu."

"Hantaran?"

Kini Lena mengangguk. "Iya, Ra. Mama kamu sama Tante belanja untuk hantaran kalian tadi. Selebihnya, kamu bisa pergi belanja sendiri sama Adam."

Alara memilih duduk di sebelah ibunya dan berkata. "Acaranya nggak usah gede-gede deh."

"Lho, kenapa? Ini kan acara pertama kamu."

"Tapi kan Pak Adam sudah pernah menikah Ma, nggak enak aja kalau acaranya dibikin besar."

Lena menggeleng tanda tidak setuju dengan calon menantunya itu. "Enggak, acaranya tetap harus digelar sebagaimana mestinya."

Wajah Alara semakin merengut. Dipastikan para sepupunya dan keluarga lainnya akan menertawakannya karena sudah menikahi seorang duda anak satu.

"Lagian Adam juga masih terlihat muda kok."

Mata Alara melebar ketika mendengar pujian tentang Pak Adam dari bibir Ibunya. "Muda, Ma?"

Ratna mengangguk. "Iya dong. Kamu nggak lihat perutnya aja masih rata nggak kayak Papa kamu."

Mendengar hal itu, Lena tersenyum kecil. "Adam memang masih suka nge-gym sampai sekarang. Dia juga selalu lari pagi dan olahraga lainnya ketika ada waktu luang."

"Oh, pantas saja. Tuh kamu dengar Alara, kalau kamu sudah menjadi istri Adam, kamu harus bangun lebih pagi dari suami kamu. Jangan bikin malu."

Tawa terdengar dari sang kakak yang kini sibuk memakan cemilan. Alara menatap sinis kakaknya dan berseru. "Diem lo jomblo."

"Sorry ya dek, gini-gini abangmu banyak yang naksir."

Alara hanya memutar bola mata lalu melihat satu persatu hantaran bahkan ada pula beberapa dalaman yang membuat pipinya merah seketika.

***

Adam siang ini menjemput putrinya sebelum pulang ke rumah orang tuanya untuk melihat hantaran yang dibelanjakan oleh Ibunya. Ia melihat Ara yang sudah menunggunya di depan. "Sayang," panggil Adam pada putrinya membuat Ara menoleh dan melebarkan senyumnya. Ara langsung menghampiri ayahnya lalu memeluknya erat.

"Papa lama!" gumamnya lalu melepaskan pelukannya.

"Papa tadi masih mengajar. Maaf ya." Adam mengelus kepala putrinya dengan sayang.

"Pak Adam,"

Baik Adam dan juga Ara menoleh. Keduanya melihat Buk Erika yang sedang menghampiri mereka.

Buk Erika tersenyum manis pada Ara, lalu menoleh pada ayah dari gadis itu. "Saya ingin minta maaf atas tempo hari, Pak Adam. Saya juga ingin mengucapkan selamat untuk pernikahan Anda, mohon disampaikan pada Alara."

Adam mengangguk, lagi pula masalah itu sudah berlalu dan dia tidak harus mempermasalahkannya lagi. "Tidak apa-apa, Buk. Nanti insyaAllah saya sampaikan ucapan selamat Ibu pada calon istri saya."

"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu."

Adam mengangguk dan membiarkan Buk Erika pergi lalu setelahnya ia merangkul bahu putrinya dan berkata. "Ayo, kita ke rumah Oma."

"Ayo, Pa."

***

Alara menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat dia mencoba begitu banyak pakaian, heels, dan segala tetek bengek lainnya. Dia benar-benar pusing akan kedua wanita paruh baya yang memaksanya untuk mencoba segala hal.

"Ra, dalaman ini muat nggak ya sama kamu?"

Bahkan dalaman pun harus dicobanya. Alara menggeleng tidak percaya. "Udah, cukup! Alara capek. Tante, Alara mau ke toilet dulu."

Lena tersenyum lalu menunjukkan arah toilet. Setidaknya hanya untuk sesaat ia berhasil kabur dari kedua orang tua itu.

Tak lama setelah Alara ke toilet, Adam dan Ara masuk ke dalam rumah. Ara menatap kagum akan banyaknya barang yang omanya belanjakan.

"Wah!" seru Ara tidak percaya. "Oma ini semua untuk apa?"

"Untuk calon Mama kamu." Lena menjawab sambil tersenyum lalu melirik putranya yang kini duduk di sofa sambil melihat semua barang.

"Mana Alara?" tanya Adam melihat gadis itu tidak disana.

"Lagi ke toilet, kabur." Kini Ratna yang menyahut membuat kedua wanita paruh baya itu tersenyum kecil.

"Kabur?" tanya Adam tidak mengerti.

"Dia kelelahan mencoba semuanya."

Adam kembali meraih 1 dalaman yang tergeletak begitu saja disebelahnya. Ia menyipitkan mata saat melihat dalaman berwarna merah terang tersebut. Namun, tiba-tiba saja dalaman itu berpindah tangan karena Alara segera merebutnya dengan wajah merah padam.

"Bapak ngapain disini? Pegang-pegang lagi." Ia menyembunyikan dalaman itu ke balik punggungnya.

Adam menaikkan sebelah alisnya dan menatap Alara yang sudah merona dengan wajah datar. "Memangnya kenapa kalau saya pegang? Saya cuma melihat."

"Aduh, kalian sudah mau menjadi suami-istri tapi bicaranya masih formal. Diubah dong." Lena memprotes, menyela keduanya.

Alara menipiskan bibir kemudian memilih duduk yang agak jauh dari Pak Adam karena dia masih benar-benar malu. Ia melipat celana dalam yang tidak mau dia coba itu lalu memasukkannya kembali ke keranjang. "Aku mau pulang."

"Pulang? Tapi, abang kamu sudah pergi duluan. Sore dia baru jemput kita."

"Alara pengen tidur, Ma. Capek!"

Lena menyela dan berkata. "Kamu tidur di kamar Ara aja dulu sementara. Nanti dibangunin kalau Abang kamu sudah sampai."

Ara mengangguk. "Ayo Kak, Ara antar."

"Ayo." Alara lalu mengikuti Ara untuk segera masuk ke dalam kamar gadis kecil itu. Ia akhirnya bisa merebahkan dirinya untuk sementara waktu.

"Ara diluar ya kak. Ini remote ac-nya kalau kakak kepanasan."

"Makasih ya dek."

"Iya, Kak."

***

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top