Bab 4. Pengertian
"Kak Alara," panggil Ara yang kini duduk di belakang keduanya.
"Iya?" sahut Alara sambil menoleh ke belakang.
"Kakak main ke rumah Ara ya?"
Dahi Alara mengernyit seketika, belum sempat ia menjawab, Ara kembali memohon pada Papanya. "Boleh ya Pa kalau Kak Alara main ke rumah kita?"
"Boleh asal Kak Alara nggak keberatan." Adam melirik Alara sekilas dan bertanya. "Gimana Ra? Kamu mau? Nanti saya telepon orang tua kamu kalau kamu khawatir sama mereka."
"T-tapi, Pak-"
Sejujurnya ia sudah malu mengingat kejadian barusan yang dengan terang-terangan mengungkapkan rasa tidak sukanya pada Buk Erika. Alara rasanya ingin segera sampai di rumah lalu membenamkan diri di kasur empuknya dan menyesali perbuatannya.
"Nanti saya antar kamu."
"Bukan begitu...," gumamnya pelan lalu melirik Ara dengan mata penuh harap. Alara menghela napas pelan. "Ya sudah, tapi Kak Alara nggak janji lama ya?"
Ara mengangguk. "Iya, Kak."
***
Mereka sampai di rumah yang Adam dan juga Ara tempati selama ini berdua. Alara turun diikuti oleh Ara dan juga Papanya. Mereka berjalan terlebih dahulu kemudian Alara mengikuti.
"Ayo, masuk kak."
Alara mengangguk dan mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah milik Pak Adam yang sederhana namun elegan.
"Ini rumah saya dan setelah menikah kita akan tinggal disini yang berarti akan menjadi rumah kamu juga."
Alara menipiskan bibir lalu duduk di ruang tamu sementara Pak Adam menyuruh Ara untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu pun dengan lelaki itu.
"Saya ganti baju dulu."
Alara mengangguk dan tak lama ia berdiri lalu menatap sebuah bingkai foto yang ada di ruang keluarga. Alara meraih bingkai kecil yang terletak di atas nakas. Disana ia melihat Ara tertawa lebar sementara disisi kiri dan kanan ada Pak Adam serta mantan istrinya Pak Adam.
Mungkin usia Ara saat itu sekitar 3 tahun.
"Foto itu sengaja tidak saya buang untuk mengingatkan Ara bahwa dia punya masa lalu yang indah."
Jujur saja Alara terperanjat mendengar suara Pak Adam yang tiba-tiba menjelaskan. Ia kembali meletakkan foto tersebut dan menatap dosennya dengan pakaian santai. Ini kali pertama Alara melihat Pak Adam hanya memakai kaos biasa dan celana selutut.
"Saya mau minta maaf."
"Tentang?" tanya Adam kemudian duduk di hadapan Alara.
Alara memilih duduk dan berguman pelan sambil menatap dosen di depannya. "Tadi. Tidak seharusnya saya bersikap kurang sopan dengan gurunya Ara."
Dilihatnya Pak Adam mengangguk. "Saya paham."
"Saya masih belum bisa bersikap dewasa."
"Kamu bisa belajar."
"Saya merasa malu."
"Itu wajar."
Seketika mata bening Alara menatap Pak Adam dengan tatapan bingung. "Bapak memaklumi sikap saya?"
"Kenapa tidak? Perlahan kamu akan belajar."
"Belajar?"
Adam mengangguk. "Ya, belajar bersikap dewasa sebagaimana mestinya."
Tak lama, Ara keluar dan sudah menggunakan pakaian santainya. Gadis kecil itu terlihat bersemangat saat melihat Alara ada di rumahnya.
"Aku seneng Kak Alara main ke rumah. Sering-sering ya kak?"
Alara meringis dan mau tidak mau ia mengangguk kecil. "Iya, kalau kakak libur kuliah, kakak main ke rumah kamu."
Ara mengangguk antusias lalu menatap Ayahnya dan berkata. "Papa cepat-cepat nikahin Kak Alara biar bisa tinggal bersama kita."
"Tanya sama Kak Alara dong sayang. Papa selalu siap kapan pun ingin menikahi Kak Alara." Adam menatap Alara dengan intens membuat gadis itu kikuk seketika.
"Ayo, Kak. Nikah sama Papa!"
Alara meringis lalu tak lama Adam bersuara. "Papa masak dulu, kamu temenin Kak Alara disini ya?"
Ara mengangguk lalu dilihatnya Pak Adam segera ke dapur.
"Papa biasa masak ya?"
"Iya, Kak. Biasa ada Bu Ratih, tapi kalau Papa ada waktu, Papa yang masak."
Alara mengangguk-angguk mengerti lalu bertanya. "Emang kamu kalau ada waktu luang ngapain aja?"
"Kalau ada PR aku belajar, kalau nggak ada PR ya paling baca-baca buku cerita atau berenang."
"Berenang?"
Ara mengangguk.
"Kamu bisa berenang?"
"Bisa dong. Di belakang ada kolam renang. Kak Alara mau lihat?"
Setelah menimbang-nimbang Alara mengangguk. "Boleh deh."
Keduanya berjalan ke belakang karena letak kolam renang ada di belakang rumah ini, dan tentu saja harus melewati dapur.
"Kalian mau kemana?"
"Main di belakang, Pa. Papa masak apa?" tanya Ara sambil memperhatikan sang ayah.
"Masak sup. Nanti kalau sudah masak Papa panggil."
Ara mengangguk antusias lalu menarik tangan Alara. "Ayo, Kak."
Kedua gadis itu kini beranjak ke belakang dan benar saja, ada kolam renang disana yang dalamnya hanya sekitar lebih kurang 1 meter.
"Sejak masih kecil Papa udah ajarin aku berenang. Kak Alara bisa berenang?"
Alara terang saja menggeleng karena dia memang sama sekali tidak bisa berenang. Jangankan berenang, melihat kolam renang yang begini saja sudah membuatnya merinding.
"Masa Kak Alara nggak bisa berenang sih?"
"Iya, Kakak nggak bisa berenang." Alara menjawab jujur. "Emang kamu punya jadwal sendiri buat berenang?"
Ara menggeleng. "Enggak sih, Kak. Tapi, aku biasa berenang minggu pagi sama Papa."
"Oh." Alara mengangguk paham lalu melirik sekitar. Matanya menangkap beberapa tempat duduk santai yang tersedia di sana, ada pula pohon kecil yang sengaja di tanam untuk mempercantik taman belakang ini.
"Ra, kakak boleh tanya sesuatu?"
"Tanya aja, Kak." Ara lalu kembali menarik tangan Alara. "Kita duduk disana aja."
Alara menurut lalu keduanya duduk di tempat rindang di bawah pohon tersebut. Suasananya sangat nyaman dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah dan tubuh keduanya. Apalagi hari ini tidak terlalu cerah jadi membuat suasana semakin adem.
"Kakak mau tanya apa?"
"Kamu sama Mama sering bertemu?"
Ara mengangguk. "Dulu aku masih seminggu sekali bolak-balik ke rumah Mama dan Papa. Sekarang semenjak Mama mau nikah, aku udah jarang kesana. Papa nggak biarin aku kesana."
"Kenapa?"
"Kayak yang aku bilang waktu itu, Kak."
"Tapi, kamu masih sering ketemu Mama 'kan?"
Ara mengangguk. "Mama kadang ke rumah ini buat jenguk aku atau kadang kami ketemu diluar. Tapi, kalau Kak Alara nikah sama Papa nanti kemungkinan besar aku jarang ketemu Mama."
"Kenapa? Kak Alara nggak ngelarang kok kamu mau ketemu Mama. Lagian, bagaimana pun kamu tetap harus menjadi anak yang berbakti sama kedua orang tua kamu."
"Aku takut Kakak ngelarang." Ara menunduk membuat Alara tersenyum kecil lalu mengelus kepala Ara pelan.
"Kakak nggak akan ngelarang kok sayang. Kalau perlu Kakak bisa antar kamu buat ketemu Mama."
"Kenapa Kakak baik banget? Biasanya Ibu tiri pasti jahat."
"Nggak semua Ibu tiri itu jahat, Ra." Alara mencoba memberikan pengertian. "Kakak akan mencoba menyesuaikan diri dengan semua kepribadian dan juga jadwal kamu. Hubungan kita bisa dimulai dari kakak adik."
"Tidak bisa," sela suara bariton membuat kedua gadis itu menoleh. "Ara harus membiasakan diri bahwa kamu akan menjadi ibunya bukan kakaknya."
"P-pak Adam,"
"Papa bener, Kak." Ara menyela. "Hubungan kita tidak harus adik kakak, tapi Ibu dan anak."
"Jangan dipaksa-"
"Aku nggak terpaksa. Setelah menikah dengan Papa, aku bakal manggil Kak Alara dengan sebutan Mama. Aku yakin, Kak Alara akan bisa menjadi Mama yang baik untuk aku."
Alara tersenyum kecil lalu mengelus kepala Ara dengan kasih sayang. Ia bahkan tidak tahu apakah ini sudah benar? Keputusan menikahi Pak Adam apakah sudah benar?
"Kakak akan mencobanya."
"Apa itu artinya kamu setuju dengan pernikahan kita?" tanya Pak Adam yang kini sudah berdiri di depan keduanya.
Alara menengadah lalu berujar. "Saya tidak yakin. Tapi, kalau memang sudah ditakdirkan, saya akan melakukannya."
Pak Adam tersenyum tipis lalu berkata. "Ayo masuk, makanan sudah siap. Setelahnya, saya akan mengantar kamu pulang."
***
TBC
Tuberculosis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top