Bab 32. Ketahuan

Acara pernikahan di gedung itu sedang dilakukan. Setelah acara bersama keluarga laki-laki dan perempuan selesai, Alara memilih untuk duduk di meja bundar bersama ayah dan ibunya. Di sebelah ibunya ada Ara yang sedang memakan nasinya.

“Ma,” gumam Alara pelan memanggil. Ia sebenarnya ingin mengatakan perihal kehamilannya pada ibunya.

Ratna menoleh. “Kenapa, Sayang?”

Alara menipiskan bibirnya. Apakah ini saat yang tepat? Ia mencoba mencari suaminya yang entah ada dimana saat ini. “Nggak jadi, Ma.”

“Lho, kenapa?”

Alara menggeleng pelan dan tak lama Adam sampai sambil membawakan buah untuk istrinya lalu duduk di sebelah Alara.

“Habiskan!” titahnya yang tidak ingin dibantah sama sekali.

Perhatian Adam mengundang senyum untuk kedua orang tua Alara. Mereka bersyukur dengan menjodohkan Alara dan Adam, kini mereka tidak perlu khawatir melepaskan Alara mengingat betapa tanggung jawabnya pria itu.

Alara mengangguk lalu mengambil garpu dan mulai menyuapkan buah ke dalam mulutnya satu persatu. Buah melon itu sudah dipotong dadu sehingga memudahkan Alara untuk memakannya.

“Ma, kami nggak bisa lama disini. Nanti Alara kelelahan.”

Ratna menaikkan sebelah alisnya curiga. “Alara—”

Adam mengangguk. “Hamil tiga minggu.”

Alara nyaris tersedak mendengar ucapan gamblang suaminya sementara ia masih berpikir bagaimana cara mengatakannya kepada orang tuanya.

“MasyaAllah, Nak!” seru Ratna sambil tersenyum penuh haru. Leo pun turut serta memberi ucapan selamat kepada keduanya.

“Ya sudah, pulang sana sekarang!” Ratna segera menyuruh keduanya pulang. “Lagi pula acaranya udah selesai kok.”

“Mama ngusir nih?” Alara berpura-pura merajuk. “Ya udah aku pulang deh.”

“Iya, pulang sana. Jaga pola makan, jangan kebanyakan makan micin, mie instan. Dam, tolong ingati dia.”

Adam menatap istrinya tajam karena Alara memang tidak bisa jauh dari makanan ringan berbau micin. Ia kemudian mengangguk pada ibu mertuanya. “Baik, Ma. Kami permisi dulu, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ayo sayang,” ajak Adam pada Ara yang juga sudah selesai makan.

***

“Kamu dengar kata Mama tadi kan?” tanya Adam memastikan bahwa istrinya benar-benar mendengar pernyataan orang tuanya.

Alara mengangguk malas. “Aku denger,” sahutnya lalu memilih untuk duduk di sofa ruang tamu sementara Ara sudah masuk kamarnya karena kelelahan. Tak lupa pula Alara menyuruh anak gadisnya itu mandi sebelum mengistirahatkan tubuhnya.

“Bagus!” Adam mengelus kepala istrinya. “Mas mandi dulu terus mau istirahat. Kamu juga harus istirahat kalau bisa besok nggak usah ke kampus, nggak ada acara makan bareng temen-temen lagi.”

Alara melebarkan matanya. “Tapi kan masih ada acara dies natalis!” serunya tidak terima. “Aku mau lihat acaranya. Besok juga ada lomba kan?”

“Cuma buat billingual school.” Pria itu lalu meletakkan kunci mobil di meja ruang tamu. “Lomba debat aja, nggak ada yang perlu dilihat.”

“Aku mau lihat, Mas!”

“Ck.” Adam berdecak melihat betapa keras kepala istrinya ini. “Kalau kamu benar-benar mau lihat, jangan jauh-jauh dari Mas, paham? Besok kita berangkat bersama, pulang bersama!”

“Emang Mas juga mau nonton debatnya?”

Adam menggeleng. “Mas jadi juri. Besok kamu duduk di belakang Mas aja.” Saat Alara hendak membantah, Adam kembali melanjutkan. “Atau tidak pergi sama sekali.” Ia langsung beranjak ke kamarnya karena tidak ingin mendengar protesan istrinya lebih lanjut.

***

Alara kini berjalan terpisah dengan suaminya ketika mereka sampai di kampus. Ia belum ingin menimbulkan gosip antara dirinya dan lelaki yang usianya terpaut jauh dengannya. Walau begitu, mereka tetap terlihat cocok karena mungkin sudah sering bersama.

Reka tiba-tiba saja menepuk pundaknya membuat Alara terperanjak kaget. “Mau kemana lo?”

“Aula. Mau nonton debat. Lo sendiri?”

“Sama.” Lelaki itu seketika menyipitkan mata curiga. “Lo tadi keluar dari mobil pajero putih kan?”

“Eh? Enggak. Salah lihat lo.”

“Gue yakin kok. Itu mobil Pak Adam!” Reka menatap Alara yang kini grogi dengan lamat-lamat. “Lo keluar dari mobil Pak Adam kayak orang ketahuan buat mesum tau nggak?”

“Kampret! Gue nggak buat mesum sama Pak Adam.” Seketika mata Alara melebar, ia kemudian menggigit bibir bawahnya karena keceplosan dilihatnya wajah Reka yang menyeringai lebar seakan memenangkan judi ratusan juta.

Lelaki itu langsung menarik tangan Alara untuk menjauh dan memilih tempat sedikit sepi agar leluasa berbicara. “Sekarang, jujur sama gue! Ada hubungan apa lo sama Pak Adam?”

“G-gue—”

“Gue udah curiga tau nggak sih?” Nada bicara lelaki itu menjadi setengah gemulai. “Lo emang ada sesuatu sama Pak Adam kan?” Kali ini pria itu memegang kedua bahu Alara. “Jujur sama gue dan gue janji nggak bakalan ada yang tahu.”

“Bener?” tanya Alara sambil menyipitkan matanya.

“Suer tekewer kewer.” Ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.

“Jadi, Pak Adam itu suami gue, Ka.”

Butuh beberapa saat untuk Reka mencerna semuanya, lalu matanya melebar dan tanpa sadar lelaki itu berteriak keras. “Apa?! Lo istrinya Pak Adam?”

Untung saja tempat ini sedikit sepi namun tetap saja jika ada yang mencuri dengar bagaimana?

“Gue lagi mimpi kayaknya apa memang kita berdua lagi mimpi dan gue ketemu lo terus dengan entengnya lo bilang, kalau lo istri Pak Adam? Iya kan, Ra?”

Dengan gemas Alara segera mencubit lengan Reka membuat lelaki itu meringis kesakitan.

“Anjir, gue nggak mimpi! Jadi, beneran? Kalau iya, kenapa Pak Adam ngerobek ujian lo?”

Alara menghela napas pelan. Ia memilih duduk di sebelah lelaki itu. “Ya karena emang gue curang. Pak Adam nggak pandang bulu kalau udah di kampus.”

“Wah, Ra! Seriously? Gue masih belum bisa percaya.”

“Lo udah janji kan nggak bakal bilang siapa-siapa?”

Reka terdiam seketika. “Sebelum gue tahu permasalahannya, gue bisa janji. Tapi, sekarang kayaknya gue nggak bisa.”

“Heh, lo udah janji yaa?!” sembur Alara sambil menarik telinga Reka membuat lelaki itu kesakitan.

“Iya-iya, maap.” Reka mengelus telinganya yang memerah. “Terus Vino gimana?”

“Kenapa dia?”

“Yaelah, Ra. Semut juga tahu kalau Vino tuh suka sama lo.”

“Nggak mungkin. Dia resek sama gue.”

Reka seketika menjitak kepala Alara. “Heh, Ibu-ibu muda denger ya! Itu modelan kayak Vino nggak bakal ngucapin kata cinta. Dia hanya akan menunjukkannya melalui perbuatan. Cowok kayak gitu nggak akan ngumbar-ngumbar kata cinta atau sekedar gombalan modus yang bikin cewek klepek-klepek kayak ayam baru disembelih.”

“Ya mau gimana dong, gue udah sama Pak Adam.”

Reka menghela napas pelan lalu mengangguk. “Udah, nanti biar jadi urusan gue itu.”

“Oke.” Alara hendak beranjak namun tarikan di kerah bajunya membuat ia lagi-lagi berhenti melangkah. “Apaan lagi sih?!”

“Lo mau kemana? Gue belum selesai ngomong!”

“Mau ke aula, nanti dicariin. Gue nggak boleh jauh-jauh sama Pak Adam.”

“Cih! Pengantin baru nggak boleh jauh-jauh. Pantes aja lo liburnya kemarin barengan sama Pak Adam, ternyata kalian nikah diem-diem.”

Alara mengangguk pelan dan tidak membantah. “Tapi, gue nggak boleh jauh-jauh karena sekarang lagi hamil, Ka.”

“Apa?! Lo hamil?”

“Ish suara lo kayak mesin las. Gede amat!”

Reka segera menutup mulutnya. “Mimpi apa ya gue semalam dapet kabar mengejutkan terus hari ini? Untung gue sering olahraga jadi kadar jantung gue itu masih baik-baik aja kalau nerima kabar nggak sehat kayak gini.”

“Nggak sehat apanya?!” sembur Alara galak.

“Lo bayangin aja kalau seangkatan tahu lo istri Pak Adam! Apalagi Aqila noh, astaga. Ternyata lo yang menang dapetin medali sementara Aqila hanya berharap pada harapan semu fatamorgana.”

“Bawel deh, Ka. Dah, gue mau ke aula. Lo ikut nggak?”

“Ayo deh, dari pada kena marah sama suami lo. Ntar dikira gue ngapa-ngapain lo lagi kan ngga asik. Apalagi tiba-tiba nilai di mata kuliah Pak Adam anjlok cuma karena ngajak lo ngobrol.” Reka tidak mampu membayangkan.

***

TBc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top