Bab 30. Acara

Rumah orang tua Alara terlihat sangat ramai bahkan abangnya sudah pulang mengingat besok adalah hari pernikahan mereka, namun Naka tetap tidak bisa bertemu dengan Clara karena mereka benar-benar diawasi untuk tidak bertemu satu sama lain sampai hari pernikahan.

Mega kini mendekat pada Alara yang sedang menata makan malam di meja. Gadis itu membantu adik sepupunya lalu bertanya. “Suami lo mana, Ra?”

Alara menoleh. “Kayaknya di depan sama para laki-laki yang lagi kumpul. Kenapa Kak?”

Mega menggeleng pelan kemudian tersenyum. “Kamu udah hamil?”

Haruskah Alara memberitahu? Ia berniat memberitahu ketika acara Naka dan sahabatnya selesai.

“Aku belum periksa sih.” Adalah jawaban normal saat ini menurut Alara.

“Clara dimana?”

“Aku juga belum ketemu Clara dari tadi.” Alara seketika mengernyit. “Setelah ini kita samperin Clara yuk?”

Mega mengangguk. “Boleh. Tapi, kakak mau tanya sama kamu.”

“Tanya aja, Kak?”

“Kamu yakin Clara sama Mas Naka nggak kenapa-napa? Tiba-tiba nikah aja.”

Alara mengangguk. Walaupun Mega adalah sepupunya, sudah janjinya pada Papanya untuk tidak membeberkan apapun mengenai aib keluarga mereka. Biarkan mereka tahu dengan sendirinya.

“Bang Naka udah lama suka sama Clara, jadi baru ketemu beberapa minggu ini. Nah, dia nggak mau Clara hilang lagi jadinya ya minta nikah.”

“Oh,” sahut Mega lalu mengangguk.

“Kalian sudah selesai?” tanya Ola yang merupakan ibu dari Mega.

“Sudah, Ma,” sahut Mega kemudian Ola segera menyuruh putrinya untuk memanggil para laki-laki agar makan terlebih dahulu.

Kini Ola menatap Alara. “Ra, kamu dipanggil Mama kamu.”

“Eh?”

Ola mengangguk. “Udah sana! Mama kamu ada di kamar. Biar Tante yang urus sisanya.”

Alara mengangguk lalu memilih ke kamar Ibunya. Disana, tidak hanya ada Ibunya melainkan semua sepupunya juga berada disana termasuk Clara sendiri.

“Mama,” gumam Alara membuat mereka menoleh.

Clara langsung tersenyum saat Alara masuk. Ia menarik tangan Alara kemudian mendudukkan Alara di sebelah calon mertuanya.

“Jadi, besok kita pakai dress code warna merah.” Gina lebih dulu membuka suaranya untuk memberitahu Alara. “Ini untuk Kakak. Coba dipakai.”

Alara menatap bajunya yang terbuka bagian leher sementara panjangnya sampai mata kaki, namun terbelah hingga lutut.

“Kak Yani ngebut satu minggu buat jahit semua baju kita.”

“Serius?” tanya Alara pada Kak Yani yang tak lain adalah sepupunya.

Yani mengangguk. “Iya, kakak dibantu sama asisten kok jadi nggak kerepotan kali. Tante Ratna yang udah ngebiayain semuanya karena ini pernikahan Mas Naka dan Mbak Clara.”

“Jadi nggak enak dipanggil Mbak,” sela Clara sambil meringis pelan terlihat segan pada saudaranya Alara.

“Kamu kan mau nikah sama Mas Naka, jadi aku tetap manggil mbak karena bakal jadi kakak aku,” jawab Yani membuat semuanya tersenyum.

Ratna kemudian menatap putrinya. “Dicoba dong sayang.”

Alara menatap ragu gaun tersebut lalu memilih ke kamar mandi untuk mencoba gaun yang kini sedang dipakai semua sepupunya.

Gaunnya terlihat pas dan cantik di kulit putih pualam Alara. Bagian pinggang ada belt yang dibentuk pita dan glitter bagian dada tubuh Alara. Ia segera keluar dari kamar mandi membuat para sepupunya terpana.

“Kan aku bilang bakalan cocok sama Alara!” seru Yani merasa puas hasil kerja kerasnya.

“Cantik, Ra. Ah, ini untuk suami kamu. Kakak jahit ukuran Mas Naka.”

Alara menerimanya dan mengucapkan terima kasih bahwa baju itu muat untuk suaminya. Kemudian kembali mengganti bajunya setelah dikiranya baju itu cocok untuk dipakai saat resepsi nanti.

***

“Papa!” Ara memanggil ayahnya yang sedang mengobrol dengan Leo, Naka, Rega, dan yang lainnya.

“Wah, cucu kakek dateng.” Leo langsung menyambut putri Adam dan memeluknya. “Udah makan sayang?”

Ara mengangguk. “Udah sama Wina tadi.”

Leo tersenyum sementara Adam memilih membawa putrinya dalam pangkuannya dan bertanya. “Kenapa manggil Papa?”

“Ara ngantuk, Pa.”

“Ngantuk?” tanya Adam saat putrinya kini memegang tangannya lalu memainkannya.

Leo tersenyum melihat tingkah cucunya. Naka segera menyela. “Tidur di kamar Om aja ya? Ajak Wina juga.”

“Ara nggak tahu kamar Om Naka.”

Adam mengelus kepala putrinya dengan lembut dan berkata. “Ajak Mama ya?”

“Ara nggak lihat Mama dari tadi.”

“Coba ke kamar nenek. Itu yang dekat tangga sebelah kiri.” Leo memberitahu Ara.

Ara mengangguk lalu mengusap matanya yang sudah berair karena mengantuk. Ia turun dari kursi yang diduduki oleh papanya kemudian beranjak ke dalam. Namun, Ara tidak jadi masuk ke kamar nenek tirinya karena malas sehingga memilih untuk duduk bersama Wina.

***

Malam ini terasa cukup panjang mengingat sudah jam 11 malam tapi rumah orang tua Alara masih sangat ramai. Nenek Alara sudah memilih tidur di kamar tamu dan beberapa adik ibunya memilih pulang namun tidak dengan para sepupunya yang akan menginap di rumah orang tua Alara.

Alara sendiri kini sibuk mencari Ara. Ia ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Alara berjalan ke ruang keluarga dan disana Wina dan Ara sedang menonton televisi kartun. Entah siapa yang sudah menghidupkan televisi itu, Alara bersyukur karena membuat dua anak gadis ini setidaknya sedikit lalai.

“Kalian belum tidur?”

“Mama!” Ara langsung memeluk Alara sementara Wina menggeleng.

“Wina belum ngantuk, Tante.”

Kini Alara memilih duduk ditengah-tengah keduanya. “Kenapa belum ngantuk?”

“Itu filmnya asik.”

Ara kini memilih tidur dengan kepalanya ada dipangkuan Alara. “Ara ngantuk, Ma. Tapi Ara bingung mau tidur dimana.” Ara bergumam pelan lalu tak lama ia menguap lebar. “Tadi Papa bilang, Ara disuruh tidur sama Mama, terus Om Naka suruh Ara dan Wina tidur di kamar Om Naka.”

Alara tersenyum lalu mengelus kepala Ara. “Maaf ya, Mama sibuk tadi.” Kini Alara menatap Wina dan Ara bergantian. “Ayo, sekarang kita tidur di kamar aja.”

Ara mengangguk dan Wina hanya menurut, kemudian keduanya mengikuti langkah Alara untuk masuk ke kamar abangnya. Kamar di rumah ini hanya ada 6 kamar. Tiga di atas dan tiga di bawah.

Ibunya juga sudah menitahkan Alara untuk menidurkan para anak-anak di kamar abangnya saja karena yakin abangnya tidak akan tidur malam ini untuk melepas masa lajangnya bersama teman-temannya.

Ara dan Wina kini berbaring di ranjang king size milik abangnya. Sementara Alara berbaring paling pinggir di sebelah Ara. Sehingga Ara kini berada di tengah, ia juga sudah meletakkan bantal guling di sebelah Wina walau tak yakin Wina akan menendangnya.

Alara mematikan lampu utama dan hanya menghidupkan lampu tidur. Kedua anak gadis itu mulai terlelap. Setelah benar-benar terlelap, Alara bangkit secara perlahan agar tidak mengganggu. Ia keluar dari kamar abangnya lalu mengelus dada ketika tiba-tiba abangnya sudah berdiri di depan kamar.

“Ngagetin Bang.”

Naka terkekeh pelan. “Siapa yang tidur di kamar abang?”

“Ara sama Wina, Abang yang suruh kan?”

Naka mengangguk lalu menarik adiknya sedikit menjauh. “Dek, bantu abang.”

“Apaan? Nggak usah macem-macem!” serunya sambil menyipit.

“Satu macem doang. Abang mau ketemu Clara! Pleaseee...”

Alara menggeleng sambil bersedekap dada. “No! Papa udah ngelarang lagian ini hampir jam dua belas, Clara pasti udah tidur karena dia harus bangun pagi besok buat dihias.”

“Hmm,” sahut abangnya seketika. “Pelit dek.”

“Biarin!” Alara segera meninggalkan abangnya dan menuju dapur untuk mengambil minuman sebelum ikut terlelap bersama Ara dan Wina.

***

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top