Bab 3. Terbakar Emosi

Pagi ini Alara masuk ke dalam kamar abangnya. Ia sudah mengenakan kemeja dan celana jeans untuk segera ke kampus. Alara berdecak ketika melihat abangnya masih tidur bertelanjang dada di atas kasur.

“Bang!” panggil Alara berusaha untuk membangunkan Abangnya. Ia menarik tangan Abangnya lalu berteriak. “ABANG!”

“Apaan sih, dek!” sungut Bang Naka dengan mata terpejam. Pria itu menarik tangannya lalu kembali tertidur.

“Abang, anterin aku kuliah!” serunya lalu menarik selimut abangnya dengan kasar. “Bang, ihh buruan! Aku terlambat.”

“Berisik, Alara!”

Alara menghela napas kesal dan keluar kamar abangnya sambil membanting pintu membuat sang pemilik kamar terperanjat kaget lalu mengumpat kesal. Naka langsung ke kamar mandi hanya untuk mencuci muka dan menggosok giginya lalu meraih pakaiannya yang digantung dan memakainya untuk mengantar sang adik sebelum adik perempuannya itu mengadu pada ayah mereka.

Di meja makan, Alara melihat Papanya sedang membaca koran lalu berkata. “Pa, Abang—”

“Ayo, abang antar.”

Mata Alara melebar seketika melihat Abangnya yang lima menit lalu ia bangunkan kini sudah berdiri di sebelahnya.

“Gila!” seru Alara tidak percaya.

“Udah jangan bawel! Buruan!”

Alara mengangguk lalu salaman pada kedua orang tuanya untuk segera berangkat ke kampus. Naka membuka pintu mobil fortuner miliknya yang terkunci, membiarkan Alara masuk dan duduk si sebelahnya.

“Makanya belajar bawa mobil biar bisa pergi sendiri!” sungut Naka sambil melirik jengkel ke arah adiknya.

“Belajar sama Papa horor! Kena marah mulu, jantung gue dugun-dugun.”

Naka terkekeh pelan. “Namanya orang tua.”

“Abang juga nggak mau ajarin.”

“Abang kerja dek.” Naka lalu melirik kiri dan kanan sebelum benar-benar keluar dari gerbang rumah mereka. “Tapi, lusa minggu bisa Abang ajarin kamu bawa mobil.”

“Beneran?”

Naka mengangguk dan menambahkan. “Tapi, pakai mobil kamu aja ya. Lagian di garasi mulu, mau dijual nggak kamu kasih, giliran nggak dijual nggak pernah dibawa. Kalau mobil Abang sayang, nanti lecet.”

Alara memutar bola matanya. “Iya, pakai mobilku.”

“Seharusnya kamu minta beli matic aja sama Papa jangan mobil manual.”

“Ya mana aku tahu matic sama manual, namanya juga hadiah ulang tahun.”

“Cewek sih kebanyakan bawa matic, dek.” Naka lalu menghentikan mobilnya saat mereka sampai di lampu merah. “Tapi, untuk belajar sih enak manual. Jadi, sewaktu-waktu kamu lagi dadakan dan cuma ada mobil manual, kamu nggak kaku.”

“Ya udah, lusa kita ke lapangan. Awas bangun siang!” sungut Alara sambil menatap Abangnya tajam.

“Iya-iya.”

***

Alara menatap serius dosen yang sedang menerangkan pelajaran di depan lokal mereka. Ada sekitar dua puluh mahasiswa yang masuk pagi ini dan sayangnya Alara tidak satu kelas dengan Putri karena mereka mengambil kelas yang berbeda dan dosen yang berbeda pula.

Mata kuliah 2 sks ini cukup membuat kepala Alara seketika mengeluarkan asap. Ia sama sekali tidak mengerti walau sudah berusaha memahami. Dosen satu jni terkenal dengan penjelasan panjang dengan suara yang sangat kecil sehingga beberapa mahasiswa terlihat mengantuk.

“Ahh, ngantuk gue,” bisik Reka teman disebelahnya lalu menempelkan wajahnya ke meja sementara buku ia tegakkan untuk menutupi keseluruhan kepalanya agar tidak ketahuan. Mata Reka sesaat menyipit menatap Alara. “Lo~”

“Apa?” ketus Alara menatap Reka malas.

“Cantik juga kalau diperhatiin dari deket.”

Seketika reflek pulpen yang ada ditangannya langsung ia pukulkan ke kepala Reka membuat laki-laki itu mengaduh seketika.

“Siapa itu ribut-ribut?”

Alara dan Reka sama-sama diam.

“Kalau tidak suka pelajaran saya, kalian keluar saja.”

Alara melirik Reka malas dan berusaha mengabaikan laki-laki itu untuk kembali memperhatikan kuliah dosen yang usianya mungkin lebih dari 50 tahun.

***

Alara mencoba menelepon Sang Abang saat dia duduk di parkiran. Namun, pria itu tak kunjung mengangkatnya. Apa Alara harus memesan layanan antar lagi?
Ah, hidupnya benar-benar menyusahkan orang lain.

Sesaat Alara hendak membuka aplikasi layanan antar, tiba-tiba saja suara bariton itu terdengar ditelinganya.

“Ayo, pulang sama saya.”

“Eh?” Ia seketika menoleh ke belakang. Menatap Pak Adam kini menatapnya intens. “S-saya bisa pulang sendiri, Pak.” Lagi pula jika ada yang melihat bagaimana?

“Saya antar, tidak ada bantahan.”

Adam kemudian melangkahkan kakinya ke arah mobil pajeronya yang berwarna putih, namun saat dirasanya Alara tidak mengikutinya pria itu menoleh dan menaikkan alisnya. “Apa yang kamu tunggu? Ayo.”

Dengan terpaksa, Alara turut melangkahkan kakinya masuk ke dalam pajero milik dosennya. Ia merasa canggung dan kikuk seketika saat dilihatnya Pak Adam mulai menjalani mobilnya keluar dari pelataran kampus.

“Kita jemput Ara dulu ya, setelahnya saya antar kamu pulang.”

Alara hanya bisa mengangguk patuh tanpa membantah.

“Sabtu minggu ada acara kemana?” tanya Adam membuka obrolan.

“Besok kayaknya saya di rumah aja, Pak. Minggu saya mau pergi sama Abang saya.”

“Pergi kemana?”

Apakah Alara harus mengatakannya? Ia melirik Pak Adam yang fokus menyetir sambil menunggu jawabannya. “S-saya mau belajar menyetir.”

Dahinya seketika mengernyit. “Kamu belum bisa nyetir?”

Dengan rona merah, Alara menggeleng pelan. “Belum, Pak.”

“Ya sudah, biar saya saja yang ajarin kamu hari minggu. Nanti saya jemput ke rumah sama Ara.”

“Eh? Nggak perlu, Pak.” Alara menolak dengan gelengan. “S-saya bisa belajar sama Abang saya.”

“Percayalah, Abang kamu lebih memilih untuk tidur sampai siang pada hari minggu.”

Ya, sebagian dari omongan dosennya memang benar, tapi bukankah Abangnya sudah berjanji?

“Jadi, biar saya saja yang menjemput kamu sekalian pendekatan seperti yang kamu katakan tadi malam.”

Lagi-lagi Alara terjebak dengan kalimatnya sendiri. “Terserah bapak saja.” Akhirnya Alara hanya bisa memasrahkan diri.

Adam tersenyum kecil lalu ia memarkirkan mobilnya di dekat sekolah dasar dimana Ara bersekolah. Keduanya turun dari mobil dan memilih duduk di bangku yang memang tersedia.

“Pak Adam,” tegur suara lembut nan ramah yang dipastikan seorang guru. “Ah, menjemput Ara ya, Pak?”

“Buk Erika,” sapa Adam sopan pada guru anaknya ini.

Alara hanya memperhatikan lekat-lekat wajah dari Buk Erika yang mengenakan hijab dan bertutur dengan lemah lembut di depan Pak Adam.

“Berhubung Pak Adam disini, saya ingin menjelaskan mengenai keadaan Ara selama di sekolah.”

Pak Adam mengangguk lalu mulai mendengarkan.

“Ara cukup aktif di kelas, hanya saja dia sering terlihat murung belakangan ini. Mungkin jika diperlukan saya bisa membantu melihat kondisi psikis Ara. Apakah dia sedang mengalami masalah di rumah?”

Pak Adam menghela napas pelan. Apakah mungkin karena pernikahan yang akan diadakan olehnya sehingga membuat Ara bersedih seperti ini?

“Saya akan menikah, Buk Erika.”

Ekspresi Buk Erika yang terkejut tentu saja tidak Alara lewatkan sedikit pun. Ia jelas melihat bahwa wanita ini memiliki perasaan pada Pak Adam.

Tapi, apakah mungkin?

“Bapak ingin menikah?” tanyanya ulang untuk mendengar pernyataan lebih jelas.
Pak Adam mengangguk. “Ya, gadis ini akan menjadi istri saya.”

Mata Alara kembali melebar saat dengan gamblangnya Pak Adam memperkenalkan dirinya sebagai calon istri. Dilihatnya Buk Erika menatapnya tidak percaya namun wanita itu tetap mempertahankan senyumnya.

“Ah, saya mengerti.”

Jawaban Buk Erika membuat Alara mengernyitkan dahinya dan bertanya. “Apa yang Ibu mengerti?”

Pertanyaan Alara membuat Adam dan Buk Erika kini menatapnya.

“Permisi?”

Alara menghela napas pelan dan bertanya. “Maksud Ibu mengerti, mengerti dalam keadaan yang bagaimana? Mengerti Ara murung karena pernikahan Papanya dan saya? Mengerti Ara murung karena Papanya memilih saya yang masih muda ini sebagai istrinya atau mengerti yang bagaimana?”

“Anda salah paham,” gumam Buk Erika menatap sosok perempuan muda di depannya dengan malu karena saat ini beberapa guru yang hilir mudik turut memperhatikan mereka. “Maksud saya adalah Ara mungkin memerlukan kasih sayang kedua orang tua kandungnya.”

“Ah, jadi maksud Anda saya tidak cocok menjadi Mamanya Ara?”

“Alara,” panggil Adam pelan sambil meraih tangan Alara dan menggenggamnya erat untuk yang pertama kalinya. “Sudah ya, jangan diterusin.”

Alara menatap Buk Erika tidak suka lalu menatap Pak Adam dan berkata. “Saya tunggu di mobil saja Pak.”

Adam mengangguk dan memberikan kunci mobil pada Alara. “Jangan dibawa kabur, nanti kamu lecet sebelum pernikahan kita.”

Alara melebarkan matanya dan menyesal telah bercerita pada lelaki itu bahwasanya dia tidak pandai menyetir. Tapi, setidaknya dia masih tahu cara menghidupkan mobil agar tidak kepanasan di dalam sana.

Setelah Alara pergi, Adam menatap guru dari muridnya ini dengan serius. “Saya tidak membenarkan tindakan calon istri saya, tapi saya juga tidak membenarkan bahwa secara tidak langsung Anda merendahkannya.”

“M-maafkan saya Pak Adam, tapi saya tidak bermaksud merendahkan Buk Alara. Saya—”

“Papa!” seru suara mungil yang sangat dikenalnya membuat kedua orang dewasa itu menoleh.

“Halo sayang,” gumam Adam lalu mengulurkan tangan untuk disalami oleh putrinya. Tak lama, Ara mengecup kedua pipi ayahnya yang disaksikan langsung di depan Buk Erika. “kamu ke mobil duluan ya, Papa ingin bicara sama guru kamu.”

Ara mengangguk. “Kuncinya Pa?”

“Ada Kak Alara di mobil.”

Mata Ara seketika melebar antusias. “Kak Alara jemput Ara juga, Pa?”

Adam tersenyum dan mengangguk. “Iya, tadi Papa sama Kak Alara barengan kemari.”

Ara tersenyum lebar dan segera menuju parkir sekolahnya dimana mobil ayahnya diparkirkan.

“Anda lihat sendiri kan bahwa Ara antusias ketika saya menyebutkan nama Alara. Jadi, untuk ke depannya saya berharap untuk tidak merendahkan Alara lagi, saya permisi.” Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Buk Erika dengan perasaan yang sama sekali tidak nyaman.

***

Vomment guys 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top