Bab 27. Dies Natalis
Pembukaan acara dies natalis membuat Alara, Tania, Dita, dan Putri ikut duduk di aula yang terbuka untuk siapapun yang ingin menyaksikan. Mereka berempat memilih duduk paling belakang mengingat bangku depan sudah penuh diisi oleh mahasiswa lainnya.
Para dosen fakultas ekonomi disediakan sofa paling depan untuk melihat beberapa acara pembukaan seperti tarian dan beberapa drama nantinya yang akan dimainkan.
“Wah, Aqila cantik banget!” seru Tania dengan kagum.
Alara akui memang Aqila yang sedang berdiri di podium memakai baju kebaya serta sanggulan rambutnya yang bagus membuat penampilannya semakin memukau. Belum lagi make-up di wajah gadis itu yang memperindah dirinya sehingga menjadi sosok yang sempurna untuk hari ini sebagai pembawa acara pembukaan dies natalis yang akan diadakan selama seminggu penuh.
“Berapa lama pembukaan resminya?” tanya Alara pada Dita yang duduk di sebelahnya.
“Sampai siang, terus disambung habis dzuhur. Kenapa?”
Alara menggeleng pelan dan melirik jam tangannya yang menunjukkan jam sepuluh lewat. Ia harus bertemu dengan suaminya setelah acara pembukaan resmi selesai. Tak lama alunan musik yang lumayan memekakkan telinga terdengar. Semua orang bertepuk tangan pada performance tarian dari adik kelas sebagai pembukaan resmi dies natalis untuk seminggu ke depan.
Alara menatap setiap penari itu dengan rasa kagum. Gerakan mereka dengan musik begitu sesuai. Tarian yang mereka bawakan juga tarian modern membuat setiap orang bisa menikmati tarian dan musik sekaligus.
Alara mencoba melihat barisan dosen paling depan tapi dia kesulitan mengingat ramainya mahasiswa saat ini di aula utama yang mungkin berjumlah ratusan orang. Setelah tarian pembukaan selesai, dekan fakultas ekonomi maju guna untuk membuka acara dies natalis.
Memberikan sepatah dua patah kata lalu mendapatkan kembali tepuk tangan yang meriah dari para mahasiswa bahkan ada yang sampai bersiul saking semangatnya di minggu-minggu tenang setelah mereka menyelesaikan finalnya.
“Gue ke toilet dulu,” gumam Alara pamit pada temannya. Tanpa menunggu teman-temannya, ia segera ke toilet karena memang hasratnya sudah diujung.
Alara menyelesaikan buang air kecil lalu mencuci tangannya dengan sabun dan memilih keluar toilet. Ia merasakan ponselnya bergetar. Alara segera membuka pesan yang ternyata dari suaminya.
‘Ke ruangan Mas sekarang.’
Acara padahal belum selesai, namun Alara segera melangkah ke ruangan suaminya. Saat di koridor, ia melihat suaminya yang berjalan di depannya, tampaknya pria itu juga baru saja keluar dari aula menuju ke ruangannya.
“Pak Adam!” panggilnya geli lalu menghampiri pria itu yang kini menatapnya kaget. Bahkan beberapa mahasiswa tampak memperhatikannya ketika memanggil santai dosen yang terkenal killer itu.
Lagi pula, Alara tidak mungkin memanggil ‘Mas Adam’ karena ada banyak mahasiswa dan dosen yang berkeliaran diluar saat ini.
“Kamu nggak lihat acara pembukaan tadi?”
“Lihat kok, Pak. Tapi, nggak lama karena saya langsung ke toilet, terus Bapak kirim pesan, ya udah saya langsung kesini.” Seketika dahi Alara mengernyit. “Bapak kok cepet keluar? Bukannya belum selesai?”
Adam membuka pintu ruangannya kemudian masuk yang diikuti Alara. Bahkan suara musik dari aula masih terdengar sampai kemari.
“Hanya sampai kata sambutan Pak Dekan aja. Selebihnya tidak penting.” Pria itu duduk di kursinya sementara Alara duduk di depannya. “Keluarin portofolio kamu.”
Untung saja Alara sudah menyiapkannya dan mengeluarkannya. Ia menarik asal buku yang ada di meja suaminya sebagai alas untuk menulis. “Pinjam bukunya, Pak.”
Adam hanya menggeleng pelan, lalu membuka laptopnya dan mengeprint sebuah soal yang berbeda dari sebelumnya. Setelah di print, ia langsung memberikannya pada Alara. “Kerjakan ini.” Pria itu melirik jam tangan mahalnya yang saat ini sudah pukul sebelas kurang lima belas. “Waktu kamu sampai jam 12.45.”
“Berarti sejam, Pak?”
Adam mengangguk. “Setelah itu kita pulang dan makan siang bersama.”
“Eh, tapi saya mau lihat acaranya, Pak. Bapak pulang aja dulu.”
“Mas bukan Bapak kamu, Ra.” Telinganya terasa sakit mendengar Alara sedari tadi memanggilnya dengan sebutan Bapak.
Alara terkekeh pelan. “Kita kan di kampus, Mas. Jadi, aku juga harus profesional. Emang Mas aja bisa profesional.”
“Sekarang nggak ada orang dan kalau pun Mas mau, kita bisa bercinta disini.”
Penuturan vulgar suaminya membuat pipi Alara memerah seketika. “Udah ah Mas, jangan godain aku. Lagi serius nih.”
“Iya.” Adam kembali melihat laptopnya sementara Alara mengerjakan soalnya tanpa banyak bertanya. Ia bahkan benar-benar terlihat berpikir keras dalam mengerjakan soal yang diberikan oleh suaminya sendiri.
Sesekali Adam akan melihat Alara yang tampak serius, lalu mengernyit. Kadang wanita di depannya ini berdecak karena tidak bisa menjawab.
Tak lama, seseorang masuk ke ruangan mereka membuat Adam mengalihkan perhatiannya, namun Alara tetap fokus pada ujiannya karena waktunya hanya tersisa 30 menit.
“Pak Adam, saya mengira bapak langsung pulang.”
Adam menggeleng pelan. “Saya hanya memberikan kesempatan Alara supaya ujian ulang.”
Buk Yunita mengangguk lalu tersenyum, “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.”
“Iya, Buk. Silakan.”
Adam kembali melirik istrinya yang tampak tidak terpengaruh ucapan mereka. Ia kemudian mengetikkan sebuah pesan pada seseorang.
Tak sampai 10 menit, seseorang laki-laki muda mengetuk pintu kemudian membawakan dua gelas teh dingin. “Ini pesanannya, Pak.”
“Makasih, Mas.”
“Sama-sama, Pak.”
Adam memberikan teh dingin itu ke hadapan istrinya. “Diminum, jangan tegang begitu, nanti aku ikutan tegang.”
“Eh?” tanya Alara bingung lalu menerima teh dingin dan menyesapnya pelan. Seketika tenggorokannya sedikit lega. “Berapa menit lagi, Mas?”
“Sudah selesai?”
Alara menggeleng. “Belum, masih ada 5 soal lagi.”
“Ya sudah, kerjakan sampai selesai. Mas tunggu.”
Alara kembali mengerjakan soalnya. Adam tahu bahwa semalaman istrinya belajar di dapur karena tidak ingin mengganggunya tidur. Gadis ini menghidupkan lampu dapur untuk belajar agar tidak diketahui olehnya karena sekitar jam 2 malam, Adam terbangun dan menyadari bahwa Alara tidak disana. Sehingga ia memilih untuk mencari dan menemui istrinya di dapur sedang belajar dan menghafal.
Adam bisa saja memberikan nilai lebih pada istrinya, tapi dia tidak akan melakukannya. Sudah kewajibannya sebagai seorang pendidik untuk bersikap adil maka di kampus Alara tetaplah mahasiswanya yang harus disama ratakan dengan mahasiswa lainnya. Namun, di rumah Alara adalah istrinya, wanita yang dicintainya dan ibu dari anak-anaknya. Itu adalah prinsip Adam yang tidak bisa diganggu gugat.
“Ahh, selesai!” seru Alara membuyarkan lamunannya. Alara terlihat meregangkan otot-otot di punggung dan tangannya. “Kalau jawabannya nggak memuaskan, inget kerja keras saya selama satu semester ini ya Pak.” Alara berkata sambil terkekeh pelan lalu kembali menghabiskan teh yang dipesan oleh suaminya.
Adam mengangguk mengiyakan. Dia akan menghargai siapapun yang sudah bekerja keras apapun hasilnya nanti. Mengambil jawaban Alara, Adam langsung memeriksanya.
Ponsel Alara bergetar, dia seketika menatap sang dialler Putri.
“Kenapa?” tanya Alara pada temannya itu.
Putri terdengar berdecak. “Lo di toilet ngapain sih? Mandi kembang? Lama amat.”
Alara tergelak. “Ya maap. Gue lagi ikut ujian ulang nih di ruangan Pak Adam.”
“Ujian ulang? Kok nggak bilang lo ada ujian ulang?”
“Yeee, ngapain bilang-bilang. Udah ya, nanti gue kesana deh. Bye.” Tanpa menunggu jawaban temannya, Alara segera mematikan panggilannya. Menatap suaminya yang masih membaca jawaban istrinya. “Jadi, gimana? Apakah memuaskan?”
“Lumayan,” sahut Adam membuat Alara setidaknya kembali tersenyum. “Tapi, tenang aja, kamu selalu bisa puasin Mas setiap malam, Ra.”
“Mas!” pekik Alara karena sedari tadi yang dilakukan suaminya adalah terus menggodanya.
***
TbContinue.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top