Bab 26. Pelajaran
Alara berdecak saat sekali lagi melihat mobil Naka yang hancur bagian depan karena sudah menabrak tiang listrik. Kini baik Alara, Adam, dan Naka sedang berada di bengkel.
Ia berdiri menopang pinggang menatap abangnya yang duduk sambil menutup wajahnya. Untung saja tidak ada luka yang serius pada wajah kakaknya. Adam sendiri memilih bersama montir melihat separah apa kerusakan mobil kakak iparnya ini.
“Jadi, kenapa bisa kecelakaan?” tanya Alara menatap abangnya serius.
Naka menghela napas pelan. “Abang kebablasan dek.”
“Remnya blong?” tanya Alara memastikan.
Naka menggeleng. “Berjanjilah nggak bilang sama Mama dan Papa.”
Alara menatap seksama abangnya sebelum mengangguk.
Menarik napas dalam-dalam Naka kembali bergumam. “Clara hamil, anak abang.”
“Apa?!” teriak Alara tidak percaya. “Abang gila, hah?!”
Tampaknya teriakan Alara yang di dengar Adam membuat pria itu mendekat.
“Kenapa? Ada apa?”
Naka menelan salivanya, terus terang saja dia malu tapi mau bagaimana lagi. “Gua hamilin Clara, Dam. Sahabat Alara.” Naka meremas kedua jemarinya yang saling bertautan. “Tadi dia ngasih kabar ke gua sambil nangis. Makanya gua nggak fokus, terus nabrak.”
Alara sendiri memilih duduk di sebelah abangnya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan abangnya.
“Terus, lo udah samperin Clara?” tanya Adam membuat Naka menggeleng.
Sementara Alara terlihat tidak percaya dengan sikap suaminya yang tampak santai menanggapi hal ini. Dilihatnya Adam mengeluarkan kunci mobil Alara dari kantung celana pendeknya lalu memberikannya pada Naka.
“Samperin dia sekarang. Dia butuh kepastian. Lo harus tanggung jawab! Biar gua sama Alara nunggu disini.”
Naka menerimanya lalu berdiri dan menatap iparnya itu tulus. “Makasih, Dam.” Lalu ia menatap Adam dan Alara bergantian. “Jangan kabarin nyokap dulu. Biar gua sendiri aja yang ngomong.”
Alara mengangguk sementara Adam hanya menepuk bahu Naka seakan memberikan semangat pada pria itu.
“Aku nggak tahu Bang Naka bakal kebablasan.”
Adam kini memilih duduk di sebelah istrinya. Mengambil tangan istrinya dan menggenggamnya erat. “Kita nggak boleh ngehakimi orang, Ra. Semoga saja Naka bisa menyelesaikan urusannya dengan segera.”
Alara menghela napas pelan dan mengangguk. “Semoga saja, Mas.”
***
Kini, Alara sudah sampai di rumahnya mengingat ia dan Adam akhirnya memilih meninggalkan mobil Naka karena hari sudah beranjak sore. Adam mendapat telepon dari mertuanya untuk segera pulang ke rumah mertuanya.
Pasti Mama dan Papa Alara sudah mengetahui perihal Bang Naka yang menghamili Clara di luar nikah.
Alara menjadi gugup seketika saat hendak memasuki rumahnya. Suasana tampak begitu hening lalu Adam masuk mengikutinya dan mengucapkan salam.
Jawaban salam terdengar di ruang keluarga. Disana ada kedua orang tuanya, Bang Naka, dan juga Clara yang duduk sambil terisak. Naka sendiri kini duduk memohon di depan ayahnya yang berdiri sambil memijit pelipisnya.
Alara mendekat dan duduk di sebelah Clara. Ia membawa sahabatnya itu dalam pelukannya, membiarkan Clara menangis di dadanya sementara Adam memilih duduk di sofa single dekat mertuanya.
Alara turut menangis melihat Clara juga terisak. Ia menatap abangnya dan melihat bahwa bibir abangnya terluka yang dipastikan sudah mendapatkan tamparan keras dari ayahnya.
“Maafin aku, Ra,” bisik Clara dalam pelukan Alara. “Aku udah malu-maluin keluarga kamu.”
Alara menggeleng. “Semua udah terjadi. Sudah, jangan nangis lagi.”
“Nikahi dia secepatnya, Naka!” titah Ayahnya dengan suara keras. “Aku tidak mau melihat anaknya lahir tanpa status yang jelas dari orang tuanya.”
Naka mengangguk. “Naka janji akan segera menikahi Clara, Pa.”
“Dan kamu Clara,” tegur Ayahnya pada Clara. “Sementara kamu tinggal disini saja karena kandungan kamu pasti masih rentan. Biarkan Naka keluar dari rumah ini, dia akan tinggal di apartemennya. Kalian tidak boleh bertemu satu sama lain sampai hari pernikahan!”
Putusan sang kepala keluarga itu tampaknya tidak bisa diganggu gugat. Pria berkepala empat itu segera duduk di sebelah istrinya yang masih terisak. Meraih istrinya dalam rangkulannya.
Naka memilih berdiri dan menatap Clara dengan senyuman tulusnya. “Aku akan siapin semuanya untuk pernikahan kita. Kamu dan anak kita jaga diri baik-baik.”
Clara mengangguk dalam isak tangis. Naka kemudian menatap adiknya yang duduk di sebelah Clara.
“Abang titip Clara, dek.”
Alara hanya mengangguk pelan. “Abang hati-hati, jangan sampai kecelakaan lagi.”
Naka mengangguk kemudian menepuk kepala adiknya dengan sayang. “Iya.”
“Pakai mobil aku aja dulu soalnya mobil abang siapnya besok.”
“Nggak perlu.” Naka meringis pelan karena sakit di sudut bibirnya, bahkan pipinya sekarang membiru. “Abang bisa naik grab.” Ia kembali menatap Clara. “Aku pergi dulu.”
“Hati-hati Mas.”
***
Leo menghela napas pelan saat Naka sudah pergi dari rumah untuk tinggal di apartemennya. Kini, hanya tinggal Adam, Ratna, dan juga Leo di ruang keluarga.
“Papa malu sama kamu, Dam.”
Adam menipiskan bibirnya kemudian menggeleng pelan. “Kita nggak bisa lawan takdir, Pa. Setiap cobaan akan ada hikmahnya untuk kita semua.”
Ratna yang masih terisak dalam pelukan suaminya memilih bergumam. “Naka sudah berjanji untuk nggak ngecewain aku, Mas.”
“Ssh, sudahlah. Lagi pula, bertambah satu orang keluarga disini tidak jadi masalah.” Leo mengelus bahu istrinya yang bergetar. “Clara anak yatim piatu dan sudah hidup keras sejak kecil. Jadi, mungkin kehadiran Naka sekarang bisa buat dia bahagia.”
Adam mengangguk membenarkan ucapan mertuanya. “Ada kalanya musibah menjadi berkah bagi orang tertentu, tergantung dari mana kita menilai.”
“Adam benar, Ma. Mama jangan nangis lagi. Sekarang, kita bantu Clara menghadapi kehamilannya dan setelah dia melahirkan, kita akan menikahkan ulang mereka untuk pernikahan yang sah di mata agama.”
Ratna sedikit mulai tenang. Ia mengangguk mendengar ucapan suaminya. Tak lama, Alara keluar dari kamarnya dan turut duduk bersama keluarganya.
“Clara sedang tidur di kamar aku,” gumamnya pelan. “Dia ngerasa tertekan banget, Ma, Pa.”
“Biarkan dia istirahat.” Leo menghela napas. “Untuk saat ini, masalah ini cukup sampai di kita saja. Jangan biarkan ada yang tahu.”
“Iya, Pa.” Alara menjawab patuh sementara Adam hanya mengangguk.
Ratna lalu menatap putri dan menantunya bergantian. “Kalian menginap disini ‘kan?”
Alara menatap Adam meminta persetujuan.
“Kami akan menginap disini,” jawab Adam pasti karena bagaimana pun mertuanya pasti masih membutuhkan dukungan dari mereka setelah melewati hari yang berat ini.
“Mama akan siapin kamar untuk kalian.”
“Aku ikut, Ma,” tambah Alara lalu mengikuti ibunya untuk menyiapkan kamar tamu di rumah mereka.
***
“Ma,” gumam Alara sambil memasang sarung untuk bantal tidurnya dan Mas Adam nanti.
“Ya?” tanya Ibunya yang baru saja selesai memasangkan seprai.
“Mama nggak marah sama Clara, ‘kan?” Karena Alara takut ibunya menjadi mertua yang kejam untuk Clara.
Ratna menghela napas pelan. “Mama nggak marah, Mama kecewa sama Abang kamu. Tapi mau gimana lagi, semua udah terjadi, Nak.”
“Clara udah hidup susah, Ma. Abang juga dulu pernah nyakiti Clara dan sekarang dia ngerasa bersalah sama keluarga kita.” Alara menarik napas dalam-dalam. “Dia merasa nggak enak harus tinggal disini karena segan sama Mama dan Papa.”
“Mama tahu Clara anak baik-baik. Mama nggak menyalahkan dia.” Kini Ratna memilih duduk di pinggiran kasur setelah mereka menyusun bantal tidur. “Kalau pun Naka meminta restu Mama dan Papa untuk menikahi Clara dengan baik-baik, Mama akan setuju, Ra karena Mama melihat Clara emang baik.”
“Sabar Ma.” Alara memilih mendekap ibunya. “Sekarang Mama istirahat, biar Alara nerusin ini. Mama jaga kesehatan Mama.”
Ratna menghapus air matanya lalu mengecup dahi putrinya. “Makasih, sayang. Kamu selalu ada buat Mama.”
“Aku yang makasih sama Mama. Mama udah ngelahirin aku, ngebesarin aku. Makasih banyak, Ma.”
Kini dua perempuan berbeda usia itu sedang berpelukan sambil mencurahkan kasih sayang yang tulus dari masing-masing individu dan pelajaran hari ini yang mereka dapat adalah untuk bisa lebih saling menghargai satu sama lain.
***
TbC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top