Bab 23. Kabur
Setelah jam terakhir Alara menyelesaikan ujiannya dan kali ini dengan jujur, ia segera memesan grab untuk pulang ke rumah ibunya. Alara benar-benar tidak ingin bertemu dengan suaminya saat ini.
Selama perjalanan pulang, Alara memainkan ponselnya sambil mengetikkan pesan untuk Clara dan berharap bahwa sahabatnya itu bisa bermain ke rumahnya karena saat ini ia benar-benar butuh teman curhat.
“Assalammualaikum,” seru Alara membuat Ibunya yang berada di ruang tamu langsung menyahut.
“Waalaikumsalam.”
Alara melebarkan matanya melihat ibu mertuanya ternyata juga disini bersama Ara. “Bunda, kenapa disini?”
Lena tersenyum kemudian menjawab. “Bunda jemput Ara, terus main kemari. Kamu sendirian? Adam mana?”
Alara mengendikkan bahunya tak peduli. “Nggak tau. Aku lagi kesel sama dia.”
“Lho kenapa?” tanya Ratna dan Lena berbarengan. “Sama suami nggak boleh kesel loh.”
“Gimana nggak kesel kalau dia udah ngoyakin lembar ujian aku di depan temen-temen aku. Terus, diusir keluar lokal lagi. Aku malu!” serunya lalu memeluk ibunya dan mengabaikan fakta bahwa ia telah berbuat curang. Alara hanya ingin setidaknya mendapat sedikit pembelaan dari orang tua mereka.
“Adam keterlaluan!” seru Lena. “Biar Bunda tegur nanti.”
“Jangan dulu. Adam bersikap seperti itu pasti ada alasannya.” Ratna menyela lalu menatap putrinya yang kini memeluknya dan bertanya. “Kamu berbuat curang ‘kan?”
Alara menghela napas pelan kemudian melepaskan pelukan ibunya. “Cuma dikit kok.”
“Adam keterlaluan sampai mengoyak lembar ujian dan mengusir Alara dari kelas,” gumam Lena yang diangguki oleh Alara.
Ratna menarik napas pelan. “Adam benar. Kamu seharusnya tidak boleh berbuat curang seperti itu! Pelajaran untuk kamu.”
Mata Alara membelalak lebar saat ibunya lebih memilih untuk membela suaminya. “Anak Mama siapa sih?” tanyanya lalu berdiri dan beranjak ke kamar sambil berteriak. “Aku nggak mau pulang ke rumah Mas Adam!”
***
Alara benar-benar bertekad menginap dirumahnya bahkan sampai pagi ini ia membuka ponselnya tak ada satupun pesan atau panggilan dari suaminya.
Pria itu tidak mencarinya!
Alara ingin menjerit seketika, tapi apalah daya menjeritpun tak berguna karena pada kenyataannya ia ingin Mas Adam datang mencarinya lalu memintanya untuk kembali.
Harapan hanya tinggal harapan. Bahkan semalam tidurnya sama sekali tidak nyenyak mengingat pria itu tidak menghubunginya sama sekali. Alara benar-benar kesal.
“Cinta? Prett!” sungut Alara berbicara pada dirinya sendiri. “Kalo cinta tuh buktiin! Ini malah nggak dicari. Dasar laki-laki nggak peka!”
Alara duduk seketika di ranjangnya. Sudah lama ia tidak tidur seorang diri seperti ini dan rasanya malah hampa. Seketika ia mengingat apa yang dilakukan suaminya semalaman?
Tak ingin berpikir panjang, Alara segera mandi untuk segera ke kampus. Untung saja masih banyak bajunya yang tertinggal disini. Setelah semua persiapannya selesai, Alara segera keluar kamar dan tidak menemukan ibu serta ayahnya.
Alara menuju dapur kemudian menatap sarapan pagi nasi goreng, telur dadar, jus jeruk yang sudah disediakan. Ia memakan dengan lahap sarapannya. Setelah menghabiskan sarapannya, Alara langsung ke kamar abangnya untuk minta diantar, namun sialnya abangnya tidak ada di kamar bahkan sejak kemarin. Kamarnya juga terlihat rapi seperti tidak ditiduri selama beberapa hari.
Apa abangnya sudah di lokasi lagi ya?
Cara terakhir adalah Alara memesan grab online. Yah, sudah menjadi langganannya dan tampaknya aplikasi itu harus memberikan Alara setidaknya apresiasi karena sudah menjadi pelanggan yang setia.
Butuh waktu hampir 30 menit untuk sampai di kampusnya. Alara segera turun setelah membayar dan beranjak ke lokalnya. Ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.
Saat ia berjalan di koridor fakultasnya, Alara melihat sosok suaminya sedang bercengkrama sambil tersenyum bersama Buk Yunita. Rasa kesal kian menjadi dan menggerogoti dadanya. Ia menarik napas dalam berusaha berjalan melewati dua manusia yang dibencinya saat ini dengan menunduk tanpa melihat kiri-kanan.
“Alara?”
Alara memejamkan matanya dan kenapa Buk Yunita harus memanggilnya saat seperti ini? Ia berhenti sambil memegang erat tali ransel kemudian berbalik dan tersenyum yang dibuat-buat.
“Eh, Buk. Maap, saya nggak lihat.” Bohongnya dengan jelas. Sementara Alara merasakan tatapan lelaki di sebelah Buk Yunita tampak menghunusnya tajam sehingga Alara tidak berani bahkan untuk sekedar meliriknya.
“Saya konsul hasil ujian kamu sama Pak Adam.”
Alara menaikkan sebelah alisnya. “Buk, hasil ujian saya lain kali kabari saya saja ya. Saya nggak mau soalnya merepotkan orang lain.”
“Lho, kok orang lain. Tapi kan—” Buk Yunita melirik Alara dan Pak Adam bergantian.
“Maaf Buk. Saya ada kelas pagi ini, permisi,” gumam Alara kemudian segera beranjak. Setelah dikiranya cukup jauh dari dua dosennya itu, ia langsung memukul kepalanya berulang kali akan perkataan bodohnya dan kekanakan barusan.
“Aduh, gue ngomong apaan sih barusan! Argh. Bodo amat! Lagian Mas Adam duluan yang cari gara-gara.” Alara segera masuk ke dalam kelasnya dan benar-benar harus berfokus pada ujiannya karena ia tidak akan lagi berbuat curang mengingat kejadian kejam suaminya sendiri kemarin.
***
“Aaaaargh... Gue nggak bakal lulus pelajaran Pak Adam sama Buk Yunita kayaknya,” gumamnya pelan sambil menatap Dita yang setia menemaninya di kantin setelah final terakhir dilakukan.
Ya, akhirnya ia sudah melewati semua finalnya dan dua mata kuliah itu kini membuatnya was-was takut tidak lulus.
Alara kembali memukulkan keningnya ke meja kantin. “Sial banget sih nasib gue.” Ia yakin bahwa Buk Yunita membahas hasil ujiannya bersama Pak Adam pasti karena hasilnya tidak memuaskan. Bagaimana ini?
“Lagian lo aneh-aneh sih. Kenapa nggak jujur aja coba? Pake acara curang lagi, kayak nggak kenal Pak Adam aja.”
Alara menghentikan kegiatan memukul keningnya yang sudah memerah. Ia menatap Dita sejenak. “Terus masa gue harus ngulang lagi sih? Gue nggak mau... Hwaaaa...” Kali ini Alara benar-benar mengeluarkan air matanya. “Gue nggak mau ngulang, Dit.”
“Makanya belajar!” tambah Reka yang tiba-tiba kini duduk di sebelahnya. “Ngapain coba lo curang?”
Alara menaikkan sebelah alisnya menatap laki-laki disebelahnya ini. “Tau darimana lo gue curang?”
“Yeee, seangkatan udah tau kali lo curang, kertas ujian lo dirobek sama Pak Adam.”
Mata Alara membelalak lebar. “Siapa yang ngasih tau?”
“Aqila. Dia koar-koar di grup. Lo nggak liat grup emang?”
Alara membuka ponselnya dan membuka isi grup yang chatnya sudah ribuan karena ia malas membuka grup yang isinya paling tidak penting. Sehingga Alara memilih untuk mengarsipkan grup tersebut.
“Aqila kampret! Bisa-bisanya dia gosipin gue.”
Dita terkekeh pelan. “Lo sama Aqila cocok banget.”
“Cocok apaan?” tanya Alara sambil menghapus air mata sisa di pipinya.
“Ibarat nih, kalian berdua kayak sama-sama nyari perhatian Pak Adam. Tapi, Aqila udah jelas sih menang.”
Mood Alara semakin buruk. “Bukan belain gue, malah bela si nenek sihir.”
Reka tertawa kemudian mengacak rambut Alara. “Lagian Dita bener. Dilihat darimana pun, Aqila memang lebih baik, Ra.” Ia lalu tertawa lebar membuat Alara semakin kesal.
“Udah minggat lo sana dari pada kuping dengerin Aqila Aqila Aqila mulu!”
“Yah ngambek!”
Alara berdiri, merapikan buku-bukunya. “Tau ah, gue cabut.”
“Mau kemana?” seru Reka saat Alara sudah jalan beberapa langkah.
“Mau pelet si Aqila.”
Dita dan Reka tertawa semakin lebar. “Dasar, dia yang nyuruh kita minggat malah dia sendiri yang minggat.”
Dita mengangguk membenarkan. "Dia bahkan tidak bisa membedakan pelet dan santet, ck ck ck."
Tawa keduanya semakin lebar sambil menatap punggung Alara yang menjauh.
***
Saat Alara berjalan menuju ke perpustakaan kampusnya yang terletak cukup jauh dari fakultasnya, ponselnya bergetar di saku celana jeans hitamnya. Alara menatap nomor Ara yang kini meneleponnya. Ia segera mengangkatnya.
“Mama?”
“Ya sayang, kenapa?”
“Ma, aku nanti pulang ke rumah Mama Fira ya?”
“Sama siapa?”
“Mama Fira udah jemput aku di sekolah.”
“Ya sudah, kamu hati-hati. Udah ngabarin Papa?”
“Udah, Ma. Papa udah izinin.”
“Baiklah. Kalau ada apa-apa hubungi Mama ya.”
“Iya, Ma. Bye.”
“Bye, Sayang.”
Alara kembali berjalan kaki menuju perpustakaan. Ia kesana bukan untuk membaca buku, tapi hanya untuk menyejukkan badannya sambil meminum kopi yang memang disediakan. Ya, hanya pustaka tempat pelariannya saat ini.
Butuh waktu 10 menit dari fakultasnya menuju perpustakaan yang terletak di depan. Ia masuk dan langsung merasakan surga dunia mengingat betapa sejuknya di perpustakaan ini karena ac ada dimana-mana.
Ia memberikan kartu mahasiswanya untuk masuk dan melewati sensor tubuh. Kemudian memilih untuk mengambil kopi di tempat yang sudah disediakan lalu memilih tempat duduk yang strategis.
Alara mendesah lega karena ia memilih duduk di lesehan dan bisa berselonjor sesukanya. Membuka ponselnya dan mematikan paket data yang ia beli hanya ketika diluar karena di rumah sudah ada wifi. Alara segera memasangkannya dengan wifi perpustakaan.
Ia menyandarkan tubuhnya, kakinya berselonjor, sementara tangannya bergerak membuka ponsel lalu memakai headsetnya kemudian membuka aplikasi youtube.
Ah, benar-benar surga dunia.
Setidaknya untuk saat ini saja ia ingin sendirian tanpa ada yang mengganggu. Alara melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul setengah sebelas. Masih terlalu dini dan ia akan pulang ketika perut sudah lapar.
Sebelum menikah, Alara memang sering menghabiskan waktunya di perpustakaan hanya untuk bersantai. Bedanya, dulu ia mengajak teman-temannya, namun semenjak menikah Alara lebih sering kemana-mana sendiri. Perubahan yang besar menurutnya karena ia sudah semakin mandiri.
***
TbC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top