Bab 10. Hari Pertama

Alara kini berada di sebuah resort yang disewa oleh pihak keluarga sebagai hadiah pernikahan mereka. Setelah acara resepsi bersama keluarga besarnya serta para tamu bahkan beberapa dosen di kampusnya dan masih dengan pakaian pernikahannya, Adam membawa Alara ke sebuah resort yang berada di pinggiran pantai. Butuh waktu beberapa jam untuk sampai disana.

"Ra, bangun."

Alara yang tertidur pulas di dalam mobil seketika mengerjap saat merasakan tepukan lembut di pipinya. Matanya seketika melebar saat dilihat wajah Mas Adam terlalu dekat dengannya. Ia segera mendorong dada pria itu membuat Adam seketika mundur secara sukarela.

"Kamu ketiduran."

Alara meringis pelan. "Maaf."

"Kalau kamu nggak bangun juga, Mas akan menggunakan cara lain buat bangunin kamu," gumamnya misterius membuat Alara mengernyit lalu ia melihat keluar jendela mobil mereka. "Ayo, turun."

Alara menurut. Keduanya turun dari mobil dan Adam membuka bagasi mobilnya. Dua orang pelayan hotel datang dan menyambut mereka lalu membantu Adam membawakan barang keduanya menggunakan troli.

Adam tiba-tiba saja merangkul pinggang Alara membuat gadis itu tersipu malu namun tetap melanjutkan langkahnya. Sapaan demi sapaan datang memberikan ucapan selamat pada mereka dari pelayan hotel. "Kamu duduk disana dulu, Mas ambil kunci kamar."

Alara menurut. Ia duduk di kursi lobi hotel sementara Adam menuju resepsionis.

"Pak Adam?" tanya resepsionis dengan senyumannya.

Adam mengangguk.

Resepsionis itu tampak mengambil kunci lalu memberikannya pada Adam. "Ini kunci kamar bapak. Kami juga sudah menyiapkan semua keperluan kalian dan ada beberapa hadiah dari kami untuk pernikahan kalian di dalam kamar."

Adam tersenyum tipis dan berkata. "Terima kasih."

"Sama-sama Bapak. Pegawai kami akan mengantar Anda."

Adam mengangguk lalu seorang pegawai meminta izin pada Adam untuk melihat nomor kamar mereka di kunci yang Adam ambil. Adam memberikan kunci itu pada pelayan laki-laki tersebut.

"Nomor 219, mari Pak, ikuti saya."

Adam melangkah ke istrinya kemudian mengulurkan tangannya. "Ayo."

Alara menyambutnya. Keduanya berjalan mengikuti pelayan laki-laki yang menunjukkan kamar mereka. Mereka harus naik lift ke lantai 3. Lalu berjalan di koridor panjang yang dilapisi karpet merah tebal bermotif floral.

Seketika sang pelayan membuka pintu kamar mereka. Ia masuk dan menghidupi lampu setelah pamit keluar meninggalkan pengantin baru itu.

Alara masuk dan menatap kagum pada kamar yang sudah di dekorasi dengan indahnya. Di tempat tidur bahkan ada mawar asli berbentuk love serta dua angsa palsu dengan kepala menyatu. Pipinya merona seketika lalu Alara menuju balkon kamar dan melihat pemandangan langsung menuju pantai yang indah dengan ombak yang saling beradu.

"Ah, surga dunia. Kalau Putri dan yang lainnya lihat pasti mereka iri." Alara tertawa pelan lalu mengambil ponselnya dan memotret keindahan itu. Ia mengirimkannya ke grup khusus para sahabatnya.

Alara tidak menunggu balasan dan meletakkan ponselnya kembali ke nakas dekat dengan tempat tidur. Di samping tempat tidur, ia melihat ada beberapa kado besar dan kecil. Alara tidak berniat membukanya.

"Hadiah dari hotel." Adam bergumam tiba-tiba. "Mas mandi dulu."

Alara mengangguk. Lalu pria itu melangkah ke kamar mandi sementara Alara bingung hendak berbuat apa. Ia memilih membuka koper yang dipersiapkan oleh Ibunya mengingat ia tidak mempersiapkan apapun menjelang pernikahannya.

"Ya ampun!" serunya tidak percaya saat melihat isi koper hanya pakaian dalam bahkan beberapa lingerie. Ia meraih pakaian dalam itu dengan mulut menganga dan mata melebar lalu mengacak-acak koper untuk melihat baju layak pakai. Namun, sia-sia.

Ingin Alara menangis saja jika seperti ini! Ia terduduk lemas dengan pakaian pengantinnya. Memeluk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya disana. Apa yang harus dia lakukan? Sementara dia tidak mungkin keluar dengan pakaian pengantin ini untuk membeli baju, bukan? Tak lama pintu kamar mandi terbuka. Adam hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

Ia melihat istrinya yang terduduk di sebelah koper sambil mengernyitkan dahi. Adam mendekat lalu berjongkok dan menatap isi koper istrinya, tak lama pria itu tersenyum kecil. "Ulah Mama?" tanyanya yang diangguki Alara tanpa berniat menatap suaminya. Ia benar-benar malu. "Kamu tunggu disini, Mas ke bawah dulu."

Lagi-lagi Alara mengangguk, terdengar suara pintu tertutup. Alara langsung menutup koper sialan itu. Padahal tubuhnya sudah sangat gerah dan segera ingin mandi lalu tertidur. Alara benar-benar capek saat ini. Ia meraih ponselnya dan mengabaikan balasan pesan dari temannya, lalu menghubungi ibunya.

"Ma, apa-apaan sih?"

Terdengar suara Ratna terkekeh di ujung. "Apa-apaan apanya? Kamu baru telepon udah marah-marah."

Alara memutar bola matanya karena tahu bahwa ibunya saat ini sedang akting. "Isi koper aku kenapa baju kurang bahan semua?!"

"Lah, kamu kan nggak perlu pakai baju, Ra."

"Mama!" serunya tidak percaya lalu mematikan ponselnya. Ia benar-benar akan gila! Percuma berbicara dengan ibunya.

Ah, tahu seperti ini dia menyiapkan bajunya sendiri saja.

Tak lama, Alara melihat suaminya kembali dengan menenteng beberapa kantung tas yang berisi pakaian. "Pakai ini. Tadi Mas beli di toko sebelah."

Alara akhirnya bisa mendesah lega. "Makasih, Mas." Ia mengambil tas tersebut dan membuka isinya. Ada 3 dress selutut dan beberapa pakaian piyama untuk dikenakannya. Alara meraih piyama celana panjang dan baju lengan pendek, lalu meraih celana dalam dan behanya. Setelahnya ia langsung ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.

***

Alara mengerjapkan mata ketika matahari sudah hampir tenggelam. Ia benar-benar ketiduran sampai senja bahkan ini sudah mau maghrib. Gadis itu seketika duduk sejenak untuk menetralkan pikirannya yang masih kebingungan.

Tak lama ia mengingat bahwa kini dirinya ada di resort setelah pernikahan mereka pagi tadi. Tapi yang menjadi pertanyaannya adalah dimana suaminya?

Melirik ke kiri dan kanan, Alara tidak melihat siapapun. Ia lalu masuk ke kamar mandi untuk segera mandi karena matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Selesai mandi, Alara memilih mengenakan dress sederhana karena nanti malam ia berencana untuk jalan-jalan dipinggiran pantai.

Setelah memakai pakaiannya, ia mendengar pintu terbuka. Alara menoleh pada suaminya yang masuk. "Mas dari mana?"

"Bawah, kamu kapan bangun?"

"Beberapa menit yang lalu."

Adam mengangguk kemudian mendekati Alara yang duduk di meja rias. Ia memegang kedua bahu Alara kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Alara. "Sebelum kamu pakai bedak, kita shalat maghrib bareng yuk."

Alara mengangguk dan tersenyum. Ini adalah pertama kalinya ia shalat diimami langsung oleh suaminya. Alara mengambil air wudhu setelah Adam melakukannya. Ia berdiri di belakang pria itu sambil mengikuti gerakan sang Imam.

Di tahyat terakhir, setelah keduanya mengucapkan salam. Mereka berdua kembali mengerjakan shalat sunnah yang diperuntukkan pengantin baru. Siapa tahu saja Adam kebablasan dan lebih baik keduanya melakukan shalat itu terlebih dahulu.

***

"Ayo, kita turun." Adam mengajak Alara untuk turun dari ke loby. Ia merangkul pinggang ramping Alara untuk mengajak istrinya makan.

Baik Adam dan Alara mendapatkan sambutan hangat dari pegawai hotel. Alara berjalan di belakang lelaki itu untuk bergantian mengambil piring serta makanannya. Setelah memilih, Alara kemudian duduk dimana pria yang sudah menjadi suaminya itu duduk.

"Mas ambil air dulu."

Alara menggeleng. "Alara aja Mas."

Adam mengangguk dan membiarkan istrinya untuk mengambil air buat keduanya. Ia mendekati sebuah mesin yang di bertuliskan teh dan kopi. Lalu, disebelahnya ada air mineral. Alara mengernyit seketika, apakah Mas Adam mau kopi atau teh? Ia melirik suaminya yang tampak menunggu disana.

Ah, sebaiknya bawa air mineral saja dulu. Gumamnya dalam pikirannya sendiri.

Alara kembali dengan dua air mineral lalu bertanya. "Mas mau kopi?"

Adam menggeleng. "Nggak usah, makan dulu. Nanti Mas bisa ambil sendiri."

Alara mengangguk lalu keduanya makan dalam hening. Setelah menyelesaikan makan malam mereka, Alara mencoba berkata. "Mas, aku mau ke pantai. Boleh?"

"Sekarang?" Pria itu melirik jam tangannya yang mahal. "Jam delapan. Tapi nggak lama ya, soalnya angin malam nggak bagus buat kesehatan."

Alara mengangguk antusias. "Iya, nggak lama."

Dan keduanya memilih untuk berjalan-jalan di pinggiran pantai dengan Adam yang menggenggam tangan Alara tanpa membiarkannya lepas barang sedikitpun.

***

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top