Bab 1. Pertemuan
"Minggu depan kalian presentasi." Setelah Adam memutuskan untuk menyuruh setiap mahasiswa diwajibkan presentasi dengan tugas yang dia berikan, lelaki itu keluar dari lokalnya dan menuju kantor ruangannya.
Alara mendesah pelan. "Gue paling benci sama presentasi!"
"Ya mau gimana lagi." Putri teman seperjuangannya mengendikkan bahu. "Pak Adam kan memang suka menyusahkan mahasiswa."
"Eh, presentasi individu atau kelompok?" tanya Alara terlihat bahwa dia tidak begitu memperhatikan pelajaran Pak Adam.
"Individu!" sahut Vino yang merupakan komisaris di kelas mereka. "Mampus lo pada."
"Individu?!" seru Alara tidak percaya. "Nggak masuk deh gue minggu depan."
"Nggak ada alasan," sela Vino cepat pada gadis bermata bening yang memiliki rambut hitam lebat di depannya. "Gue laporin Pak Adam lu."
"Jahat banget sih lo sama gue!" Alara memukul Vino dengan buku yang di pegangnya. "Awas lo ya! Gue doain jomblo seumur hidup."
Vino mengelus bahunya lalu menggelengkan kepala dan kembali memasang headset yang menjadi temannya sehari-hari kemudian memilih untuk keluar dari ruang kelas mereka.
"Si Vino sama lo kayaknya akrab banget, Ra. Tapi, sama anak lain dia dingin gitu."
Alara mengendikkan bahunya. "Bodo amat. Paling resek dia."
Putri menggeleng tegas. "Dia bahkan diejek robot berjalan sama Martin. Lo tahu nggak, si Vino itu kemana-mana suka sendiri, nggak pernah berkumpul sama anak-anak lainnya. Dia itu anak kelas A yang paling dingin dan cuek sama cewek maupun cowok dan yang paling parah, IPK-nya nggak pernah turun selalu 4,00 dari awal semester."
"Masa sih?" tanya Alara tidak yakin. Sejujurnya, dia mengenal Vino juga baru-baru ini di semester kelima dan tidak begitu akrab sebelum mereka disuruh untuk berkelompok lalu Alara mendapatkan kelompok bersama Vino. Disitulah awal mereka akrab.
"Iya, anak kelas A yang paling pinter ya dia. Kita kelas C dari awal matrikulasi juga kelihatan bobroknya."
Alaran mendengus sebelum berkata. "Bobrok tapi kelas kita terkenal paling cantik-cantik dan ganteng. Bahkan mahasiswi tercantik angkatan kita aja ada di kelas C."
"Yee, orang cantik atau ganteng kalau otak kosong ya sama aja. Tapi, gue lebih milih kayak si Vino sih, pendiem, dingin, nggak banyak ngomong, tapi IPK selalu tinggi."
Alara tidak setuju dengan kata pendiem. "Dia rese nggak pendiem."
"Cuma sama lo doang. Jangan-jangan dia suka sama lo kali!"
Mata bening Alara seketika melebar. "Apaan! Nggak usah aneh-aneh."
Putri mengendikkan bahunya. "Terserah lo aja."
***
"Alara, Papa sama Mama memutuskan untuk menikahkan kamu."
Alara yang sedang memakan keripik singkong buatan ibunya seketika melebarkan matanya pada kedua orang tuanya yang kini menatapnya serius. "Apa? Alara nggak salah denger?"
"Kamu belum budeg kan?" sela sang kakak yang usianya terpaut 8 tahun lebih tua.
Alara langsung melemparkan keripik singkong itu pada abangnya. "Lagian abang juga belum nikah, kenapa harus Alara dulu yang menikah? Alara nggak mau! Alara juga masih kuliah Ma, Pa!"
"Kamu bisa kuliah juga setelah menikah. Memang apa salahnya menikah?" tanya Ayahnya dengan nada otoriter yang kental.
Alara menunduk ingin meminta pembelaan dari ibunya, namun terlihat ibunya pun selalu menurut dengan apa yang ayahnya inginkan. "Siapa laki-laki itu?"
"Dosen kamu."
"Hah?" tanya Alara tidak percaya. "D-Dosen aku? Siapa?" Karena setahunya dosennya sudah tua semua dan tidak ada yang muda. Ah, ada yang muda dan belum menikah namanya Pak Faisal. Jadi, apakah Pak Faisal dengan segala nilai horor yang selalu diberikan kepada mahasiswa yang tidak sesuai dengan kriterianya? Karena setahu Alara, Pak Faisal akan menyukai mahasiswa dengan nilai cemerlang dan gagasan-gagasan ide yang luar biasa.
"M-maksud Papa Pak Faisal?" tanya Alara membuat bulu kuduknya merinding seketika mengingat dia selalu mendapatkan nilai B di pelajaran Pak Faisal.
Sang ayah terlihat melirik ibunya dan menjawab dengan tegas. "Bukan, tapi Pak Adam."
Alara kini tersedak salivanya sendiri sampai terbatuk-batuk yang tidak dibuat-buat. Ia segera meraih air mineral yang selalu memang tersedia di ruangan keluarga mereka. Namun, tak kunjung membaik. Alara segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua makanan akibat tersedak tadi. Air matanya bahkan keluar dari sudut-sudut matanya membuat semuanya terasa menyakitkan.
Ternyata tersedak itu sangat tidak mengenakkan.
"Sayang, kamu nggak pa-pa?" tanya sang ibu khawatir yang menyusulnya hingga ke kamar mandi.
Alaran mengangguk lalu berkumur-kumur dan mencuci keseluruhan wajahnya sambil mengambil tisu yang tersedia di dekat wastafel kamar mandi miliknya. Ia menarik napas pelan-pelan untuk menetralkan tenggorokannya yang terasa tidak nyaman sebelum keluar dari kamar mandi dan menatap ibunya dengan tidak percaya.
"Mama sama Papa jodohin aku sama Pak Adam?" tanyanya sekali lagi pada ibunya yang masih menunjukkan raut khawatir.
Tak melihat jawaban ibunya, Alara menggeleng tidak percaya dan kembali ke ruang keluarga dimana ayah dan abangnya masih duduk sambil menonton berita televisi. Ia berdiri sambil menatap ayahnya dengan mata beningnya.
"Papa jodohin aku sama Pak Adam?" tanya Alara tidak percaya membuat kedua pria itu menoleh. "Papa tahu kan Pak Adam itu—"
"Duda?" sahut ayahnya santai membuat Alara mengangguk antusias.
"Iya, duda! Masa iya Papa mau kasih putri Papa yang masih ting-ting gini sama duda."
"Jaga mulut kamu, Alara!" tegur Ayahnya dengan tatapan tajam. "Papa menjodohkan kamu bukan dengan sembarang laki-laki. Dia memang seorang duda, tapi bukan berarti kamu bisa menilainya hanya karena statusnya."
"Pa, Pak Adam udah punya anak loh! Udah besar juga."
"Papa tahu."
Alara nyaris menjatuhkan rahang di depan ayahnya saat melihat reaksi ayahnya biasa saja. Ia kembali duduk, menjatuhkan pantatnya di sofa tepat disebelah abangnya. "A-apa Pak Adam tahu ten—"
"Dia sudah tahu dan setuju."
"Apa?"
Alara benar-benar tidak habis pikir lagi pula misalkan memang Pak Adam tahu lebih dulu dan setuju kenapa reaksi pria itu tadi ketika memasuki kelasnya seperti biasa saja? "Sejak kapan Papa sama Pak Adam mutusin perjodohan ini?"
"Sudah sekitar seminggu yang lalu."
Alara memejamkan matanya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan orang tuanya yang menjodohkannya dengan seorang dosen duda.
"Dek, memang nasib lo itu nikah sama duda-duda. Udah, terima aja!" sahut sang kakak membuat Alara semakin jengkel dan memukul bahu kakaknya dengan kuat.
"Kamu pikirkan dulu," sela suara ayahnya diantara pertengkaran kecil mereka. "Untuk selanjutnya serahkan sama Papa. Nanti malam keluarga mereka mau datang untuk makan malam bersama disini."
Alara benar-benar akan mati kutu sepertinya karena jangankan bertegur sapa, berbicara dengan Pak Adam saja dia tidak pernah kecuali jika di dalam kelas sedang mengadakan tanya jawab.
Ah, entah bagaimana dia harus menghadapi Pak dosennya itu.
***
Alara memastikan penampilannya yang hanya menggunakan dress sederhana selutut tanpa lengan sementara rambutnya ia ikat menjadi satu ke belakang. Sejujurnya, ini adalah hal teraneh yang ia lakukan karena selama ini dirinya bermimpi akan menikah setelah kuliah dan membangun keluarga bahagia dengan sosok suaminya.
Tapi, ini?
Dia bahkan akan menikahi dosennya sendiri yang ternyata adalah seorang duda? Alara menepuk kedua pipinya sambil menatap kaca untuk yang terakhir kalinya sebelum memilih keluar karena panggilan ibunya. Ia menuruni tangga dengan jantung berdebar mengingat akan bertemu dengan Pak Adam yang tak lain adalah dosennya sendiri.
"Ayo, kita tunggu mereka di ruang tamu," pinta Ibunya saat Alara sudah sampai di anak tangga terakhir.
"Maaa—" rengek Alara bermaksud untuk tidak ikut dalam cara aneh ini. "Itu dosenku loh, Ma. Geli aja masa aku nikah sama Pak dosen duda sih!" sungutnya pada sang ibu yang terus menariknya ke ruang tamu.
"Ketemu dulu!" titah ibunya membuat Alara berdecak malas dan dengan terpaksa mengikuti langkah sang ibu.
"Mah!" seru Alara sampai mereka di ruang tamu dan Alara melihat abangnya sedang merapikan rambutnya yang sudah diberi pomade. "Abang aja gih nikah duluan!" gumam Alara sambil memukul lengan abangnya.
Abangnya yang bernama Naka menggeleng. "Takdir itu sudah digariskan, dek. Jadi, takdir keluarga kita itu lo nikah duluan."
"Aku balik kamar aja deh." Alara hendak kembali ke kamar namun suara ayahnya yang baru saja keluar kamar menghentikan langkahnya.
"Tidak, Alara! Keluarga mereka sudah di depan."
Alara rasanya ingin pingsan saja, apalagi saat suara bel rumah mereka berbunyi, sang ayah menatap ibunya dan berkata. "Semua sudah siap kan, Ma?"
"Sudah, Pa."
"Ayo, kita sambut mereka." Ayahnya dengan romantis mengulurkan tangan pada istrinya sementara Naka dan Alara mengikuti dari belakang.
"Selamat malam," suara sapaan itu terdengar di telinga Alara dan ia sama sekali tidak ingin mengintip apa yang ada di depan pintu dan memilih untuk berdiri di belakang kedua orang tuanya.
"Alara, ayo di salam dulu tamunya." Ibunya menarik Alara untuk berdiri di samping mereka.
Seketika Alara menengadahkan kepalanya menatap kedua orang tua paruh baya yang hampir seusia orang tuanya, lalu menyalaminya. Tak lama, sosok dosennya masuk diikuti oleh anak kecil yang usianya sekitar 7-8 tahun. Alara melihat sosok dosennya menyalami dengan sopan kedua orang tuanya. Lalu, saat dia berdiri tepat dihadapan Alara, Alara meraih tangannya yang terulur dan menyalaminya.
Bulu kuduknya seketika meremang seakan tatapan itu menusuk kuduknya yang kini tertunduk. Alara langsung melepaskan tangan dosennya.
"Ayo, silakan duduk."
Kini, mereka berjalan menuju ruang tamu untuk bercerita-cerita. Alara menarik napas dalam-dalam dan memilih duduk di sebelah kakaknya tanpa banyak kata. Pikirannya terus saja melayang bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan duda anak 1 ini? Ia menatap lekat sosok Ara yang terus berada di sebelah ayahnya. Alara memang sengaja tidak melirik sedikitpun ke arah dosennya karena tahu akan menjadi canggung setelahnya.
"Alara semester berapa sekarang?"
"Semester 6, Tante," jawabnya seadanya membuat ibunya Pak Adam tersenyum dan membalas,
"Wah, sebentar lagi sudah KKN ya, terus skripsi."
Alara hanya mengangguk segan lalu mencoba melirik Pak dosennya yang kini sedang ikut nimbrung pembicaraan kedua orang tua mereka.
Haruskah ini terjadi? Kenapa tidak dengan Pak Faisal saja yang sudah tentu masih single? Bisik batinnya frustasi.
***
Yuk vommentnya :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top